Kamis, 08 Januari 2015

Naiknya "harga" Dosen

Dunia akademik memasuki babak baru. Kalau tak ada rintangan, maka ini

kabar gembira bagi para dosen berdedikasi, namun sekaligus "kabar

menarik" bagi para rektor PTN-BH (Badan Hukum) dan tentu saja

pengelola yayasan PTS (Perguruan Tinggi Swasta).

Kabar gembira bagi para dosen, karena "peta pasar" tenaga akademik

memasuki babak awal perubahan. Dosen akan menjadi rebutan, "harganya"

akan naik, kualifikasi wajib ditingkatkan. Namun ini tentu hanya

berlaku bagi dosen yang punya karya dan panggilan yang pas sebagai

akademisi yang bersungguh-sungguh menjalankan Tri Dharma perguruan

tinggi.

"Kabar menarik" bagi para rektor PTN-BH adalah karena dosen-dosen PTN

yang tak diberi imbalan layak akan sangat mungkin pindah. Ini berarti

para rektor harus bekerja lebih keras mencari dana-dana baru di luar

uang kuliah yang dibayar para mahasiswa. Artinya para rektor harus

lebih entreprenerial. Bila tidak, maka kampusnya akan ketinggalan

zaman, biaya riset, perawatan dan kegiatan mahasiswa bisa dikorbankan,

dan reputasinya menjadi pertaruhan besar.

Karakter Lama

Untuk jelasnya, saya mulai dulu dengan analisis From-To dari geliat

perubahan ini. Kita mulai dari "From"-nya, yaitu tenaga akademik di

masa lalu.

Begini, dulu, lulusan S1 boleh mengajar di program studi S1, bahkan

boleh diklaim sebagai dosen untuk berbagai program studi di satu

kampus. Ia diberi honor per SKS, di samping ada yang terima gaji

tetap, walau jumlahnya tak seberapa.

Saya ingat, dulu saya memulai karir sebagai asisten dengan honor Rp

15.000,- per bulan. Itupun dirapel enam bulan sekali. Padahal saat

itu gaji pegawai lulusan S1 sudah mencapai sekitar Rp 750.000-Rp

1.250.000 per bulan.

Kalau sudah senior, lumayanlah. Bisa mencicil kendaraan roda empat

yang paling murah. Tetapi dosen harus bekerja keras cari sekolah

lanjutan sendiri. Akibatnya, banyak yang nyambi di sana-sini dan tak

menulis karya ilmiah. Satu orang bisa mengajar di tiga hingga lima

kampus, antara lima hingga dua belas mata kuliah supaya bisa hidup

layak.

Tambahan pula, dulu usia berapa saja bisa menjadi dosen. Bahkan

pensiunan PNS pun bisa. Pegawai BUMN atau anggota TNI/Polri pun tak

masalah. Status dosen tak tetap sudah cukup menggiurkan.

Lantas Bagaimana Sekarang?

Coba bukalah Permendikbud No 84/2013 yang dikeluarkan Mendikbud 12

Juli 2013. Ini adalah turunan dari UU No 12/2012 tentang Pendidikan

Tinggi. Di sana Anda akan menemukan konsep penataan Perguruan Tinggi

yang memberivalueyang lebih baik bagi para dosen. Namun

ingatimplicitly, saya melihat ini juga sekaligus menantang bagi para

rektor.

Bagaimana penjelasannya? Inilah "To" nya (dan analisis"From-To" tadi).

Di perguruan tinggi negeri, ada dosen-dosen tetap berstatus PNS, dan

non PNS. Lalu di PTS, dosen-dosen lebih diarahkan pula menjadi dosen

tetap. Nah, dosen-dosen tetap ini tidak bisa lagi mendaftar di

beberapa kampus. Mengapa begitu?

Dosen-dosen itu akan memperoleh NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional,

untuk yang sudah S2) atau NIPN (Nomor Induk Pengajar Nasional, untuk

dosen- dosen yunior). Nah nomor induk itu bersifat eksklusif, hanya

bisa dipakai untuk satu kampus saja sehingga memberikan dorongan

kampus untuk merekrut dosen tetap.

Nah jumlah dosen tetap ber NIDN ini kelak akan sangat menentukan

penilaian akreditasi yang mencerminkan reputasi dan kualifikasi

akademis dan manajemen program studi.

Lalu apa yang akan terjadi?

Karena semua dosen yang memiliki NIDN dan NIPN (sebagai jaminan

kariernya) akan terdaftar dalamdata basePDPT (Pusat Data Perguruan

Tinggi), maka mereka tidak bisa diklaim di universitas lain, atau

bahkan program studi lainnya dalam universitas yang sama. NIDN ini

bisa dipindah, walaupun biasanya dihambat oleh kampushomebased-nya,

kecuali jika si dosen memang tak diinginkan lagi. Jadi mungkin saja

kelak akan muncul masalah hukum yang panjang,

Tambahan pula menurut peraturan baru itu, untuk mengurus NIDN,

seseorang tak bisa lagi melakukannya bila sudah lewat usia 50 tahun

(kecuali anda mempunyai kualifikasi/kompetensi khusus). Padahal, dulu

banyak PNS yang baru mengambil program doktor menjelang pensiun dan

menjadi dosen setelah pensiun (diatas 55 tahun).

Jadi anda harus berkarier sebagai dosen sedari muda, jangan tunggu

kalau sudah bergelar doktor atau menjelang pensiun. Ingat, dosen itu

ada jenjang jabatannya. Dan semua ada nilai ekonomi dan reputasinya.

Ini belum cukup. Dosen-dosen yang mengurus NIDN pun harus mempunyai

kemampuan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan

Inggris (TOEFL minimal 510, PBT). Bayangkan bila sudah uzur baru ikut

ujian TOEFL, dijamin sulit lulus.

Lalu orang-orang yang mempunyai status sebagai pegawai BUMN, PNS pada

kementerian /pemerintahan kota/ kabupaten, pegawai/anggota Polri/ TNI,

anggota aktif parpol dan legislatif, konsultan hukum, pengacara,

notaris dan apoteker pun tak bisa mendapatkan NIDN. Mereka harus

fokus.

Ini berarti, akan terjadimarket shrinking. Populasi pasar tenaga

akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih

selektif, mengerucut. Menjadi lebih muda, berpendidikan, tertata,

kariernya lebih jelas, lebih fokus, dan jenjang akademisnya lebih

dihargai. Dan tentu harganya akan lebih mahal.

Kampus-kampus PTS yang ingin mengejar reputasi dan akreditasi yang

tinggi, tentu akan mengejar status dosen tetap. Memperebutkannya dari

"pasar" tenaga akademik yang akan lebih terbatas. Itu pun mereka

memilih yang lebih melayani, punya panggilan Tridharma perguruan

tinggi yang kuat, dan disiplin.

Artinya, perpindahan dosen antar kampus, sekalipun akan dihambat, tak

lagi dapat dihindarkan. Semua terpulang siapa yang bersedia memberi

"tempat yang lebih layak", lebih kompetitif, lebih manusiawi, lebih

punya reputasi, dengan mahasiswa yang berkualitas, dan memberi ruang

bagi kebebasan mimbar akademik.

Dalam pengurusan NIDN pun, ada ketentuan bahwa dosen harus menunjukkan

surat pengangkatan yang mencerminkan bahwa ia diberi imbalan yang

layak (di atas KHM), jaminan hari tua dan kesehatan. Bahkan hak untuk

mendapatkan promosi dan penghargaan, dan kesempatan untuk meningkatkan

kompetensinya, serta kebebasan berserikat dinyatakan dalam ketentuan

itu.

Tantangan Bagi Rektor dan Konglomerat

Badan pengelola PTS (yayasan) tentu perlu berpikir lebih keras untuk

menyediakan sumber sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen

berkualitas. Demikian juga bagi PTNBH perlu bekerja lebih cerdas

menggali dana-dana baru di luar BOP (Biaya Operasional Pendidikan)

yang dibayar mahasiswa.

Kalau semua beban dialihkan pada peserta didik, maka universitas akan

kesulitan mendapatkan bibit –bibit unggul. Dan tentu saja akan

bertentangan dengan semangat keadilan, dan akses yang lebih luas bagi

masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kalau tidak,

dana-dana penelitian dan perawatan, fasilitas laboratorium dan

kegiatan kemahasiswaan bisa terancam dialihkan. Ini tentu bukan

pilihan tepat.

Kebijakan ini, di satu pihak, adalah baik bagi para akademisi dan

dunia akademik, sekaligus bisa menumbuhkan budaya ilmiah. Dosen juga

akan jauh lebih dihargai. Tekanan ini sesungguhnya baik untuk

melahirkan kehebatan baru bagi organisasi universitas. Namun di lain

pihak ini juga menandakan era baruleadershipperguruan tinggi yang

lebih menantang.

Dan tentu saja, hal ini menjadi tantangan bagi para taipan dan

konglomerat yang belakangan begitu bergairah membuka kampus dengan

namanya sendiri. Bukankah lebih baik bekerjasama dengan PTN saja,

dengan dana-dana CSR yang lebih "gres". Di sana Anda pun dapat menaruh

nama Anda pada berbagai event atau bahkan gedung seperti yang sudah

dilakukan di berbagai kampus bereputasi tinggi di negara-negara maju.

Mengelola sendiri PTS, akan menjadi jauh lebih mahal, boros, dan belum

tentu dapat mencapai visi-misi pribadi. Apalagi bila gagal menempatkan

orang-orang yang tepat dalam yayasan. Inilah kasus yang tengah terjadi

di banyak yayasan milik para taipan, yang maaf, organisasinya

"dibajak" oleh orang-orang yang bukan pendidik. Coba deh periksa lagi.

Prof Rhenald Kasaliadalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia. Selain itu, pria bergelar Ph. D. dari

University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam

memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4

kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan,

yang menjadi role modelsocial businessdi kalangan para akademisi dan

penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian.

Terakhir, buku yang ditulis berjudul"Self Driving": Merubah mental

passengers menjadi drivers.



Sumber : Kompas.com