Kamis, 15 Januari 2015

50.000 Babinsa Turun Ke Sawah

Pembangunan pertanian dinilai masih memosisikan petani sebagai objek.

Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengerahkan 50.000 Babinsa

sebagai penyuluh pertanian, memberikan indikasi bahwa pemerintah masih

menganggap petani sebagi obyek dan perlu diberikan

pendampingantop-down. Hal itu disampaikan oleh ahli pertanian

Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa yang juga anggota

tim transisi Jokowi.

Ia mengkritik keterlibatan Babinsa dalam pembangunan pertanian.

Menurut Andreas, banyak hal melenceng yang dilakukan Presiden Jokowi

dari konsep pembangunan pertanian, yang dulu disusun bersama dengan

pokja pangan tim transisi.

Misalnya, sebut Andreas, banyak target-target yang muncul belakangan,

diduganya mengakomodir para 'pembisik'. Ketika dikonfirmasi mengenai,

para 'pembisik' tersebut, Andreas hanya menyebut banyak pihak yang

berkepentingan dengan program pertanian.

"Saya khawatir pemerintah terjebak dalam target dari si pembisik yang

terlalu bombastis sehingga melakukan segalanya 'at all cost'. Apalagi

dengan target surplus 20 juta ton beras," kata dia kepada

Kompas.com,Jumat (16/1/2015).

Selain target produksi 20 juta ton beras, Andreas menuturkan, target

seperti swasembada pangan pada 2017 juga dinilai sangat sulit

direalisasikan.

Tim transisi, kata Andreas, tidak pernah sama sekali menyebut bahkan

menaksir swasembada pangan bisa dicapai pada 2017. Ia khawatir, cara

apapun akan ditempuh, termasuk mengundang lebih banyak investor asing

untuk menggarap lahan pertanian di Indonesia – demi mengejar target

swasembada pangan.

Padahal, lanjut Andreas, hakikat kedaulatan pangan adalahland

reform,dimana tanah pertanian benar-benar digarap oleh petani

Indonesia. Begitu pula dengan keterlibatan babinsa yang dia anggap

justru jauh dari konsep menuju kedaulatan pangan.

Menurut Andreas, jika persoalannya adalah kurangnya tenaga penyuluh,

sebetulnya pokja pangan tim transisi sudah menyusun konsep untuk

melibatkan petani pelopor, para dosen pertanian, serta peneliti.

"Kalau hanya kurang 20.000, jumlah petani pelopor kita ada jutaan.

Sangat cukup untuk diberdayakan untuk membantu petani lain. Di

negara-negara maju, yang namanya penyuluh pertanian itu, seperti di

Amerika Serikat, bahkan adalah para profesor," ucap Andreas.

Tentu, Andreas menyadari, peningkatan produksi pertanian pangan

khususnya padi harus dilakukan untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan

konsumsi. Hanya saja, dia kembali menegaskan, produksi pertanian

dengan sendirinya akan meningkat, jika pemerintah fokus pada

kesejahteraan petani, bukan kebalikannya.

"Kalau orientasinya target produksi, swasembada saya yakin gagal.

Kalau petani sejahtera, mereka akan bergairah dan produksi pun

otomatis akan mengikuti. Kalau dengan ini (mengerahkan Babinsa) sama

saja petani dijadikan obyek, pokoknya petani nurut. Yang terjadi

sekarang ini seperti itu," ujar Andreas.

Kemarin, Rabu (15/1/2015) Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman

mengatakan, saat ini Indonesia defisit 20.000 penyuluh pertanian.

Beruntung, kata dia, ada bala bantuan dari TNI Angkatan Darat sebanyak

50.000 personel sebagai tenaga penyuluh pertanian.

"Akhirnya, salam hormat kepada KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), kita

kerjasama, jangan ada egosektoral," kata Amran, di Desa Glagahwangi,

Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Amran dalam kesempatan yang dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar

Pranowo itu juga menyebutkan, soal ketahanan pangan adalah persoalan

bersama. Terlebih lagi, Indonesia akan menghadapi perdagangan bebas

Masyarakat Ekonomi ASEAN. Amran sendiri mempertanyakan kesiapan

Indonesia dalam menghadapi MEA.



Sumber : Kompas.com