Kamis, 21 Desember 2006

BUAT SEEKOR BERUANG DI KAMPUS MERAH

Saat aku masuk ke kampus merah tahun 2001, ada yang membuat aku terpana dengan kehidupan perkuliahan disana yang penuh dengan dinamika dan gairah-gairah sexualitas intelektual, tak lama setelah menjadi mahasiswa baru, aku beranikan diri untuk bergabung ke dalam suatu organisasi kepecintaalaman di kampus ku. Ini lah awal dari semua kehidupan berorganisasiku di bangku kuliah.
Sejak masuk kedalam organisasi, aku banyak sekali menemukan karakter-karakter intelektual yang berbeda-beda. Ada yang idealisme nasionalis, ada yang primordialis modern, dan ada juga kaum penggembira sebuah gerakan. Macam-macam sekali kehidupan di kampus ini. Bahkan ada juga sekelompok mahasiswa yang bergaya tak ubahnya seperti selebriti kampungan. 

Tapi yang menarik bagiku adalah aktivis-aktivis yang keberadaannya di kampus merah ini sangat idealisme sekali, mereka juga turut menjadi saksi dalam perubahan nasib bangsa ini di tahun 1998. dan mereka juga menjadi motor penggerak reformasi di bulan Mei tahun itu.

Aku beruntung bisa kenal dengan sosok Beruang (nama hutan yang diberikan kepada anggota muda di organisasiku), beliau dalam kacamata sosialku sangat dekat sekali dengan perubahan pemikiran yang aku alami di awal-awal studiku. Beruang ini masuk ke kampus merah pada tahun 1995, tahun dimana Indonesia sedang merayakan Kemerdekaannya yang ke 50 tahun. 

Melalui pendekatan secara personal aku mencoba menyelami pemikiran beliau dalam kehidupan berorganisasi (secara tidak langsung aku mencuri ilmu beliau). Banyak hal dan cerita-cerita menarik yang dapat aku terima sebagai bahan renunganku. Tak jarang beliau menasehatiku dengan cara-cara tak lazim. Cerita pendakian gunung yang tak habis-habisnya, pengalaman-pengalaman menjadi instruktur di Pendidikan Dasar, serta perjuangan beliau di tahun 1998 yang berbuah cedera pada organ tubuh beliau. Tapi itu tak menyurutkan semangat beruang ini untuk terus menyusuri sungai-sungai kalimantan, gunung-gunung borneo, pantai-pantai yang ladai di belahan  barat provinsi ini serta tebing-tebing yang cadas untuk di terus di jelajah dan di eksplorasi. Ada satu kemiripan antara aku dan dia, kami sama-sama mempunyai mimpi untuk mencapai Puncak Cartzen Pyramide, entah kapan itu kami bisa wujudkan bersama. 

Diskusi-diskusi yang sering kami lakukan di base camp, membuat aku semakin memahami makna sebenarnya kehidupan berorganisasi tersebut. Baik organisasi yang ada di kampus maupun di luar. Dengan melewati dinding-dinding yang tinggi sehingga aku bisa memanjat dan mencapai tujuan yang aku inginkan.

Beruang ini tak ubahnya seperti Che Guevara di negeri cerutu. Walaupun dalam ruang lingkup yang sempit, kejujuran yang beliau jalani dalam kehidupan berorganisasi di kampus telah mengilhami para pemberontak di organisasi, di fakultas dan di universitas besar di Kalimantan Barat ini. Nama besar beliau saat ini semakin redup oleh perubahan gaya hidup mahasiswa yang berorganisasi di kampusku. Semakin hari sinar yang sempat menyala pada masa-masa yang lalu telah semakin kecil, tapi semangat beliau dalam membawa perubahan dan melahirkan pemberontak-pemberontak intelektual di kampus merah ini telah dibuktikan dengan nyata.

Di saat usiaku semakin senja di bangku perkuliahan aku juga ingin mengucapkan terima kasih pada Sang Beruang. Dengan beliau aku jadi mengerti akan kecilnya peran manusia dalam kehidupan semesta raya ini. Tapi aku yakin suatu saat akan lahir beruang-beruang lain yang pemberani, berdedikasi, dan bersuara lantang tanpa membawa tendensi apapun kecuali kepentingan masyarakat umum di kampus ini. Dan tempat kelahiran tak hanya di rimba belantara yang  merah, tapi juga di hutan-hutan yang hijau, laut-laut yang biru, sungai-sungai yang jernih dan tempat-tempat lain yang bisa melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang besar dikemudian hari.

(Tulisan ini dibuat menjelang 8 tahun jatuhnya Rezim Tirani Soeharto, dan di dedikasikan buat aktivis 1998 yang saat ini masih kuliah, sudah sarjana, dan aktivis-aktivis kampus yang masih mampu berteriak lantang dalam idealisme yang tak terkikis)

Pengirim  : M. Fajrin (Ular Sawa Kadut)
    Mahasiswa Hukum Pecinta Alam Universitas Tanjungpura
    rien_adrenalin@yahoo.com

(Tulisan Ini Pernah Di Muat di Majalah Mimbar Untan)

Kamis, 07 Desember 2006

Pendidikan Dasar Makumpala Untan

Pendidikan Dasar Merupakan suatu rangkaian dalam penerimaan anggota baru didalam organisasi MAKUMPALA UNTAN. Proses ini menjadikan mahasiswa sebagai Calon Anggota (CAANG) ke Anggota Muda MAKUMPALA UNTAN. Dalam rangkaian ini, umumnya dimulai dari Pengenalan Organisasi ke Mahasiswa baru dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Bentuk pengenalan organisasi ini bermacam-macam cara, salah satunya kegiatan One Day With MAKUMPALA UNTAN atau Back to Nature. Kegiatan ini semacam pengenalan kegiatan kampus dengan cara yang cukup bersahabat, seperti Presentasi Kelas dan Praktek Jelajah Alam. 

Tak cukup sampai disitu, kegiatan lainnya untuk mempublikasikan organisasi juga berupa Publikasi di dinding-dinding kampus (kesannya mengotorkan, tapi apa boleh buat tatkala Dinding Kampus lebih banyak Iklan Layanan Pembuatan Makalah, Skripsi atau Iklan Laundry bagi mahasiswa kos-kosan). Di dalam tahapan awal ini tak jarang juga face to face mengenalkan organisasi, baik dari mulut ke mulut maupun dari kos ke kos (militansi yang gak pernah luntur buat mencari anggota baru) bahkan ada yang cenderung memotivasi dengan mendeskreditkan kemampuan fisik mahasiswa baru (metode yang menyimpang namun ampuh ketika yang bersangkutan merasa tertantang menerima “tawaran” atas nama sebuah slayer). Begitulah suasana yang tak pernah berubah dari tahun ke tahun di MAKUMPALA UNTAN (tradisi yang terus dilestarikan, bahkan ketika para pelopor dan perintisnya mengembara entah kemana).

Setelah Mahasiswa mendaftarkan diri menjadi CAANG, maka episode baru di MAKUMPALA UNTAN pun dimulai, para pengurus, senior dan instruktur mulai menyiapkan segala sesuatu demi kesempurnaan kelahiran adik-adiknya. Rasa letih dan emosi  bercampur menjadi satu. Dari malam ketemu malam, dari briefing ke briefing, bahkan dari piring  ke piring para abang dan kakak-kakak ini rela menunggui kelahiran sang adik, kontraksi-kontraksi pun muncul tiap saat. Stressing (masih rancu juga sih pengertiannya, membuat stress untuk sang adik atau menstresskan diri akibat terlalu lama duduk dikelas kena doktrin dosen, masih perlu dikaji lebih dalam untuk hal yang satu ini) demi stressing pun dilakukan, tak heran tiap senior atau instruktur selalu kelihatan keningnya berkerut-kerut akibat terlalu banyak pikiran, tak jarang juga ada yang ubanan memikirkan Pendidikan Dasar ini. Berangkat dari hal tersebutlah maka Pendidikan Dasar juga menjadi Project Character Building Organization kedepan. Kualitas Sumber Daya Manusia dipertaruhkan antara simpul-simpul pada bivak. Pendidikan Dasar juga menjadi ajang bagi para junior untuk melatih diri dalam menjadi Instruktur yang bener.

Ketika Pendidikan Dasar dimulai dengan Upacara Pembukaan maka materi dan kurikulum yang disampaikan sudah disiapkan sejak beberapa hari sebelumnya. Para Instruktur memulai Pendidikan Dasar dengan memberi materi di kelas sesuai perintah dari Kepala Suku (sesuai garis komando, Kepala Suku biasanya mendelegasikan Proses ini ke Datok Panglima, biar kualitas prajurit tetap terjaga). Proses Pendidikan Dasar kelas merupakan Tahapan Pertama dari detik-detik kelahiran. Jarang yang teraborsi, tapi tak sedikit yang harus menyerah pada proses alam. Disini hanya satu yang dibutuhkan untuk menang, kekuatan dari dalam. Kerasnya proses Pendidikan Dasar Kelas juga menjadi salah satu factor utama dari upaya menjaga kualitas SDM di organisasi. Walaupun dengan mulut manis mengatakan bahwa Diksar Kelas merupakan Proses yang elegan dan berdemokrasi, namun dalam kenyataannya??? Tak ada yang mudah Jenderal… Antara butir-butir keringat yang jatuh membasahi slayer hijau, semuanya menjadi saksi bahwa mengabadikan diri sebagai Anggota Abadi MAKUMPALA UNTAN bukanlah hal yang gampang, tiap butir beras yang dimasak atas api yang hidup dari turunan ilmu para leluhur melebur pada darah dan daging tiap anggota Makumpala, melewati batas suku, agama, keyakinan dan kasta-kasta ekonomi, tak ada anak pejabat, petani atau penggembala domba disini.. Semua itu telah dipersembahkan pada kertas-kertas syarat administrasi pendidikan. Lezatnya mie goreng telur hasil masakan dirumah jauh berbeda rasa tatkala adukan bumbu, cabai, bawang goreng, indomie, beras setengah masak dan beberapa tetes peluh yang tak sengaja melebur menjadi satu dalam piring seng. Tak lupa air minum dari botol aqua yang entah dimasak atau tidak menjadi pelengkap dari menu ke menu anak camp makumpala. Sedikit mewah campuran sarden dengan tulang yang belum gurih juga menjadi santapan yang tak terlupakan di simpang sirih. Iya, menikmati gemericik alam di simpang sirih lokasi diksar lapangan nun jauh dari dinding-dinding kayu camp makum yang hangat. Tak ada nama kami disini, tak ada satupun.. hanya pernah tertera nama-nama hewan hasil julukan yang telah dibahas dan di rapatkan oleh para abang dan kakak-kakak tercinta.

Salah satu kebiasaan atau tradisi turun temurun dari organisasi Makumpala  Untan adalah memberi nama “kesayangan” ke adik yang baru, nama tersebut bukanlah diambil dari nama-nama bayi di eropa atau di rusia sana. Nama-nama tersebut diambil dari nama hewan yang hidup dan dikenal oleh manusia. Tak ada yang bernama Panda atau Kucing Rusia, yang ada salah satunya seperti : Berok (Sejenis orang utan, satu ordo dengan bekantan, monyet, kera, cucunya Gorilla atau Kingkong di Zaman Purbakala, menurut Charles Darwin, Berok ini merupakan cikal bakal manusia), ada juga yang bernama Kalkun (kalo yang ini sejenis unggas, biasanya di jadikan santapan pada hari Thanksgiving di Amerika dan Eropa, tapi penyandang nama gelar ini asli ber KTP Pontianak Utara), yang lain seperti Gegat, Tembakol, Cecak, Keledai, Tapir, Kodok dan sebagainya. Yup, Kodok (bentuknya yang bulat dan dipercaya dapat memanggil hujan, berkah bagi umat manusia, kalo kelamaan hujannya menjadi musibah karena banjir akan datang). Kesemuanya merupakan nama-nama hewan yang berada dalam piramida kehidupan, ada dalam suatu ekosistem. Bahkan ada yang bernama Ular Sawa Kadut, (hewan melata, kalo kenyang perutnya buncit dan malas, cenderung berganti kulit tiap beberapa musim, seperti jenis ular pada umumnya, kalo lagi mencari mangsa maka liarnya gak bisa ditahan, bahkan lilitannya dapat mematikan). Nama gelaran ini merupakan wujud dari upaya character building yang diinginkan organisasi, tapi jangan berharap menemukannya di nomenklatur yang tersistematis. Semuanya hanya bisa dirasakan dan dijalani ketika hari-hari berada di bawah panji-panji makumpala.

Membangun Karakter di Makumpala bukan hanya tuntas di Pendidikan Dasar maupun di Ekspedisi Pengembangan saja. Banyak batu asah yang dapat digunakan untuk mempertajam kualitas diri. Organisasi hanya menemukan kita diantara semak belukar, untuk menjadi pribadi yang layak menyandang slayer orange tercinta. Singkatnya waktu untuk mengabdikan diri di Organisasi, menjadikan para anggota baru “tersadar” setelah tak lagi menjadi Anggota Biasa. Waktu membuat seorang anggota mau gak mau menjadi anggota lanjutan. Sedikit banyak menyesalkan atas sedikitnya perbuatan yang dipersembahkan ke organisasi. Tapi seorang Ibu tetap berdiri kokoh, melihat keberhasilan anak-anaknya dalam membangun komunitas-komunitas kecil yang dibangun atas keringatnya sendiri. Sang Ibu tak meminta Pamrih hal itu, walaupun kerinduan sang anak tatkala harus berpisah jauh dari pangkuan sang Ibu. Bivak-bivak pun tersebar di seluruh nusantara, Abang dan Kakak-kakak tercinta menunggu dengan setia untuk bisa bercengkerama bersama adik2nya, entah diutus sang Ibu untuk menjelajah rimba tetangga sang kakak atau hanya sekedar menyapa ala kadarnya. Sang Ibu tak pernah lupa dengan anak-anaknya, kapan pun mereka kembali Sang Ibu tetap merangkulnya.

Seperti itulah Pendidikan Dasar Makumpala, Abang (Kelak kau akan mengerti mengapa kami tak membiasakanmu dengan hanya menyebut nama, karena kami menginginkan adik-adikmu yang akan datang menghormatimu seperti yang diajarkan oleh adat-adat timur kita, tak terkikis waktu dan ruang untuk mempertahankan hal itu) dan Para Penjelajah dari tebing bunga ke dinding makamok lainnya akan tetap terus menjagamu, walaupun jarak yang sedemikian jauh untuk kita saling melindungi dan melengkapi. Karena tiap benang yang terajut dalam satu buah slayer saling terkait dengan slayer lainnya.. tetaplah terus melangkah,  lewati tapak-tapak rimba, rasakan angin pada kaki gunung disela-sela kantukmu, diselingi cipratan air dari puncak yang tetesan-tetesannya jatuh satu persatu  membentuk riam dan menjadikan sungai yang bening, membumilah, agar langkahmu terasa dikala kau berjalan dengan ditemani api lentera, ketika Kau telah siap maka RAIHLAH  BINTANG DI LANGIT WALAUPUN KERIKIL-KERIKIL TAJAM MELUKAIMU… SELAMAT DATANG ANGKATAN BARU MAKUMPALA UNTAN….

Rabu, 15 November 2006

Gerakan Mahasiswa dari Tahun 1900

1. Gerakan Mahasiswa 1908

Lahirnya generasi pertama lapisan pemuda berpendidikan modern, sebenarnya bukanlah produk sosial yang murni berasal dari rakyat Indonesia. Kehadiran mereka merupakan produk situasi atau didorong oleh perubahan sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap negeri ini. Melalui kebijakan “Politik Etis” yang diciptakan Belanda setelah menjajah lebih dari tiga ratus tahun di atas bumi persada, kaum pribumi khususnya lapisan pemuda, mendapatkan kesempatan untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Belanda. Walaupun dengan batasan lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan keterbatasan fasilitas pendidikan yang ada, sehingga banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus baik, atas bantuan pemerintah Belanda, dikirim ke luar negeri (kebanyakan ke negeri Belanda) untuk melanjutkan studi mereka.

Dalam masa yang penuh tantangan dihadapkan dengan suasana kolonialisme, realitas politik berupa berlangsungnya proses pembodohan dan penindasan secara struktural yang dilakukan Belanda, berkat kemajuan pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan tingkat kesadaran politik,para pelajar dan mahasiswa merasakan sebagai golongan yang paling beruntung dalam pendidikan sehingga muncul tanggung jawab untuk mengemansipasi bangsa Indonesia.

Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.

Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota. 

Disamping itu, pada tahun yang sama dengan berdirinya BU oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, dibentuk pula Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia,tahun 1925.

Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam,dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxis, dll menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan yang selaras” dan /atau terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.

Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

2. Gerakan Mahasiswa 1928

Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Lahirnya pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.

Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.

Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.

Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. 

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.

3. Gerakan Mahasiswa 1945

Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !

Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan saat itu, maka sekaligus menandai lahirnya generasi 1945 dalam sejarah Indonesia.

4. Gerakan Mahasiswa 1966

Suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer,lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik yang saling bertarung berebut kekuasaan. Pada saat yang sama mahasiswa sendiri lebih melihat diri mereka sendiri sebagai The Future Man ; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Dalam periode ini, pola kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi dengan kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, pers, dan klub belajar. Hal ini juga sebagian karena dipengaruhi oleh munculnya orientasi pemikiran untuk kembali ke kampus dan slogan kebebasan akademik yang membius semangat mahasiswa saat itu. Hanya sedikit perhatian diantara mereka untuk memikirkan masalah-masalah politik.

Namun demikian, di satu sisi masa itu juga ditandai dengan mulai aktifnya organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi partai politik dan aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional yang berperan dalam sistem politik.

Di sisi lain, ada pula perkembangan menarik yang terjadi dengan tumbuhnya aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.

Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan lebih bersifat underbouw partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.

Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI mendapatkan suasana menggembirakan setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. Sebagai wujud kegembiraan namun sekaligus kepongahan, CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Persaingan ini mencapai puncak nantinya tatkala terjadi G30S/PKI.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), seiring dengan upaya pemerintahan Soekarno untuk mengubur partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata.

Tragedi nasional pemberontakan G30S/PKI dan kepemimpinan nasional yang mulai otoriter akhirnya menyebabkan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan.

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.

5. Gerakan Mahasiswa 1974

Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer yang berposisi sebagai pendukung kemapanan.

Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru.namun meskipun demikian pada umumnya kepercayaan terhadap rezim yang berkuasa tetap ada.

Tetapi, kesabaran mahasiswa mulai menuju titik batasnya setelah penantian akan terkabulnya cita-citanya perubahan yang dijanjikan tidak mendapatkan respon yang sewajarnya. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat”yang dimotori Arif Budiman,dkk yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.

Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK). Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.

Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Akibat dari permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi tersebut, muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung N, Asmara Nababan,dkk.

Dalam tahun 1971, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya peristiwa Malari tahun 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta mngajukan isu ”ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya.

Terlepas dari semua distorsi mengenai kisah gerakan mahasiswa 1974,antara lain: tidak adanya perubahan monumental yang ditinggalkan, gerakan mahasiswa yang ditunggangi, konflik dan konspirasi elit di pusat kekuasaan versi Jenderal Sumitro versus Ali Moertopo, dll bagaimana pun harus diakui bahwa perjuangan mahasiswa 1974 telah menjadi sebuah episode yang bersejarah.

6. Gerakan Mahasiswa 1978

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes tetap ada namun aksi-aksi itu pada umumnya tidak lagi gaung yang berarti.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif.Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai burning isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat “lokal”.

Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan “berkampanye”di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian , upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa.

Mahasiswa bukan tidak memahami ataupun menyadari berbagai risiko buruk yang bakal dialami akibat gerakan protes mereka. Justru karena itulah, untuk menjaga agar dampak gerakan tidak mengulangi kembali malapetaka 1974, mahasiswa mempertahankan gerakan aksi mereka sebagai gerakan moral semata. Artinya, bahwa gerakan mereka lebih menonjolkan perannya sebagai kekuatan moral dan kontrol kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan, dan bukan sebagai aksi yang berorientasi politik praktis, serta menghindarkan pengaruh vested interest kelompok politik tertentu yang ingin memperalat atau “mengendarai” gerakan mahasiswa.

Pada titik ini ada yang menarik untuk dicatat yaitu terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus itu; disamping penyebabnya adalah karena mahasiswa dianggap telah melakukan “pembangkangan politik”, penyebab lain sebenarnya adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus.

Jadi, karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk mennghindari seperti tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer,malahan dengan cara yang brutal.

Akhir cerita, Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.

7. Gerakan Mahasiswa di Era NKK/BKK

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.

Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik,dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK,pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,pengarahan,dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis,sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Kenyataannya, kelompok studi lebih berfungsi sebagai information actions dengan tujuan the distribution of critical information bagi mahasiswa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.

Perbedaan kedua bentuk wadah ini adalah : jika kelompok studi merupakan bentuk pelarian dari kepengapan kampus dengan ciri gerakannya yang bersifat teoritis, maka LSM menjadi tempat pelarian mahasiswa yang memilih jalur praktis.

Dalam perkembangan berikutnya bermunculan pula berbagai wadah-wadah lain berupa komite-komite aksi untuk merawat kesadaran kritis mahasiswa.

Beberapa kasus “lokal” yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dsb.

Timbul beberapa pertanyaan mengapa gerakan mahasiswa umumnya hanya mengusung agenda isu lokal dan cenderung marjinal ? mungkin jawabannya adalah :

1. Ketidakberanian untuk menyentuh masalah yang dinilai terlalu sensitif,dan bebannya berat secara politis.

2. Ketidaksanggupan menangkap dan mengungkapkan masalah-masalah fundamental yang lebih signifikan terutama yang bersifat politik nasional sebagai burning issue.

3. Strategi mahasiswa dengan mempertimbangkan kondisi struktural sistem politik Orde Baru yang terlalu mudah bertindak represif.

Jawaban-jawaban tersebut sangat terbuka untuk diperdebatkan, tetapi ada efek lain yang tampaknya harus diperhitungkan,bahwa justru dengan kecenderungan mengangkat isu-isu lokal dan bergerak di wilayah pinggiran itu, disadari atau tidak mahasiswa telah melakukan revitalisasi orientasi model pendekatan dengan membangkitkan kesadaran dan kepercayaan diri rakyat agar mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak individu dan sosialnya.

8. Gerakan mahasiswa 1990

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini dalam eksperimentasi demokrasi. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.

Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an. 

9. Gerakan Mahasiswa 1998

Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru, bagaimanapun merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”.

Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari kekuatan rakyat,

Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan, tidak mendapatkan jawaban sebagaimana yang diharapkan dari rezim yang berkuasa, terlebih oleh Golongan Karya (Golkar) yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto. Menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1998, dari kalangan tokoh-tokoh kritis mengajukan calon alternatif Presiden maupun Wakil Presiden, antara lain: Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Emil Salim.

Kenyataan menunjukkan, calon-calon tandingan versi masyarakat tidak mendapatkan tanggapan dari kekuatan politik di MPR, Soeharto dipilih kembali sebagai Presiden dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden. Aksi-aksi mahasiswa yang marak mengajukan protes dan keprihatinan, seolah-olah dianggap angin lalu, sedangkan hasil-hasil dialog dengan berbagai fraksi menuntut agenda Reformasi hanya “ditampung” dalam artian kasar = ditolak.

Berbagai kontroversi kemudian timbul dimasyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini. Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, yang menganggapnya sudah konstitusional. Sikap ABRI terhadap proses peralihan ini secara formal adalah mendukung, lalu bagaiman dengan mahasiswa ?

Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil,tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Berhadapan dengan peristiwa peralihan ini mahasiswa tidak siap, mereka hanya dipersatukan oleh isu utama perlunya Soeharto dipaksa untuk mengundurkan diri. Soal yang terjadi kemudian, agaknya jauh dari antisipasi mahasiswa dan pro reformasi.

Tetapi bagaimanapun, mahasiswa 1998 melalui perjuangannya telah memberikan sesuatu hal yang monumental bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan tatanan kenegaraan yang lebih baik di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, Reformasi Total merupakan sebuah proses yang tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan waktu dan political will yang sungguh-sungguh dari pemegang kekuasaan. Karena itu, kontrol kritis dan tekanan politik dari mahasiswa harus tetap ada di masa sekarang dan akan datang.

Disusun oleh : A.A. Gede Putra Partanta, Ketua Biro Litbang, PD KMHDI Jawa Timur 1997-2000
SELAMAT BERJUANG !

Senin, 02 Januari 2006

Karl Marx



Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818 – meninggal di London, Inggris, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia. Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.[4]
Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi.[4] Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, walaupun begitu ayahnya cenderung menjadi deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal untuk menjadi pengacara.[4] Herschel pun mengganti namanya menjadi Heinrich.[4] Saudara Herschel, Samuel — seperti juga leluhurnya— adalah rabi kepala di Trier.[4] Keluarga Marx amat liberal dan rumah Marx sering dikunjungi oleh cendekiawan dan artis masa-masa awal Karl Marx.[4]

Marx menjalani sekolah di rumah sampai ia berumur 13 tahun.[5] Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx melanjutkan pendidikan nya di Universitas Bonn jurusan hukum pada tahun 1835. Pada usia nya yang ke-17, dimana ia bergabung dengan klub minuman keras Trier Tavern yang mengakibatkan ia mendapat nilai yang buruk.[5] Marx tertarik untuk belajar kesustraan dan filosofi, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena ia tak percaya bahwa anaknya akan berhasil memotivasi dirinya sendiri untuk mendapatkan gelar sarjana.[5] Pada tahun berikutnya, ayahnya memaksa Karl Marx untuk pindah ke universitas yang lebih baik, yaitu Friedrich-Wilhelms-Universität di Berlin.[5] Pada saat itu, Marx menulis banyak puisi dan esai tentang kehidupan, menggunakan bahasa teologi yang diwarisi dari ayahnya seperti ‘The Deity’ namun ia juga menerapkan filosofi atheis dari Young Hegelian yang terkenal di Berlin pada saat itu.[5] Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dengan tesis nya yang berjudul ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’ namun, ia harus menyerahkan disertasi nya ke Universitas Jena karena Marx menyadari bahwa status nya sebagai Young Hegelian radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin.[5] Marx mempunyai keponakan yang bernama Azariel, Hans, dan Gerald yang sangat membantunya dalam semua teori yang telah ia ciptakan.[5]
Di Berlin, minat Marx beralih ke filsafat, dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Pemuda Hegelian.[5] Sebagian dari mereka, yang disebut juga sebagai Hegelian-kiri, menggunakan metode dialektika Hegel, yang dipisahkan dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu.[5] Pada tahun 1981 Marx memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin, sekolah yang dulu sangat dipengaruhi Hegel dan para Hegelian Muda, yang suportif namun kritis terhadap guru mereka.[4] Desertasi doktoral Marx hanyalah satu risalah filosofis yang hambar, namun hal ini mengantisipasi banyak gagasannya kemudian.[4] Setelah lulus ia menjadi penulis di koran radikal-liberal.[4] Dalam kurun waktu sepuluh bulan bekerja disana menjadi editor kepala.[4] Namun, karena posisi politisnya, koran ini ditutup sepuluh bulan kemudian oleh pemerintah.[4] Esai-esai awal yang di publikasikan pada waktu itu mulai merefleksikan sejumlah pandangan-pandangan yang akan mengarahkan Marx sepanjang hidupnya.[6] Dengan bebas, esai-esai tersebut menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi, humanisme, dan idealisme muda.[4] Ia menolak sifat abstrak filsafat Hegelian, impian naif komunis utopis, dan para aktivis yang menyerukan hal-hal yang dipandangnya sebagai aksi politik prematur.[4]

Ketika menolak aktivis-aktivis tersebut, Marx meletakkan landasan karyanya.[4] Marx terkenal karena analisis nya di bidang sejarah yang dikemukakannya di kalimat pembuka pada buku ‘Communist Manifesto’ (1848) :” Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas.”[4] Marx percaya bahwa kapitalisme yang ada akan digantikan dengan komunisme, masyarakat tanpa kelas setelah beberapa periode dari sosialisme radikal yang menjadikan negara sebagai revolusi keditaktoran proletariat(kaum paling bawah di negara Romawi).[4]

Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus.[4] Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.[4]
Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional.[4]“Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini[4]. Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.[4]Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini.[4] Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi Jerman-[4]
Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi.[4]Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini.[4] Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLellan yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.[4]
Marx Menikah pada tahun 1843 dan segera terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari atmosfer yang lebih liberal di Paris.[5] Disana ia terus menganut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mendalami dua gagasan baru –sosialisme Perancis dan ekonomi politik Inggris.[5] Inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme, dengan ekonomi politik yang membangun orientasi intelektualitasnya.[5]
Di Perancis ia bertemu dengan Friedrich Engels sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya dan kolaboratornya.[7] Engels adalah anak seorang pemilik pabrik tekstil, dan menjadi seorang sosialis yang bersifat kritis terhadap kondisi yang dihadapi oleh para kelas pekerja.[5] Kendati Marx dan Engels memiliki kesamaan orientasi teoritis, ada banyak perbedaan di antara kedua orang ini.[5] Marx cenderung lebih teoritis, intelektual berantakan, dan sangat berorientasi pada keluarga.[5] Engels adalah pemikir praktis, seorang pengusaha yang rapi dan cermat, serta orang yang sangat tidak percaya pada institusi keluarga.[5] Banyak kesaksian Marx atas nestapa kelas pekerja berasal dari paparan Engels dan gagasan-gagasannya.[5] Pada tahun 1844 Engels dan Marx berbincang lama disalah satu kafe terkenal di Perancis dan ini mendasari pertalian seumur hidup keduanya.[5] Dalam percakapan itu Engels mengatakan, "Persetujuan penuh kita atas arena teoritis telah menjadi gamblang...dan kerja sama kita berawal dari sini."[8] Tahun berikutnya, Engels mepublikasikan satu karya penting, The Condition of the Working Class in England.[5] Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak di antaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya), termasuk The Holy Family dan The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah ekonomi.[9]
Di tengah-tengah perbedaan tersebut, Marx dan Engels membangun persekutuan kuat tempat mereka berkolabirasi menulis sejumlah buku dan artikel serta bekerja sama dalam organisasi radikal, dan bahkan Engels menopang Marx sepanjang hidupnya sehingga Marx menagbdikan diri untuk petualang politik dan intelektualnya.[10] Kendati mereka berasosiasi begitu kuat dengan nama Marx dan Engels, Engels menjelaskan bahwa dirinya partner junior Marx.[5]
Sebenarnya banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami karya Marx.[11] Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian dan dengan mendistorsi dan terlalu meyederhanakan teorinya, meskipun ia tetap setia pada perspektif politik yang telah ia bangun bersama Marx.[5] Karena beberapa tulisannya meresahkan pemerintah Prussia, Pemerintahan Perancis pada akhirnya mengusir Marx pada tahun 1845, dan ia berpindah ke Brussel.[5] Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner internasional.[5] Ia juga bergabung dengan liga komunis dan diminta menulis satu dokumen yang memaparkan tujuan dan kepercayaannya.[5] Hasilnya adalah Communist Manifesto yang terbit pada tahun 1848, satu karya yang ditandai dengan kumandang slogan politik.[12]
Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi politiknya pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner lalu beralih ke penelitian yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem kapitalis.[5] Pada tahun 1852, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme di British Museum.[5] Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital, yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867; dua jilid lainnya terbit setelah ia meninggal.[5] Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari bantuan Engels.[13]
Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan bergabung dengan gerakan pekerja Internasional.[5] Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama beberapa tahun di dalamnya.[4] Namun disintegrasi yang terjadi di dalam gerakan ini pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang dideritanya menandai akhir karier Marx.[5] Istrinya meninggal pada tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri meninggal pada tanggal 14 Maret 1883.[5]
Dalam hidupnya, Marx terkenal sebagai orang yang sukar dimengerti.[4] Ide-ide nya mulai menunjukkan pengaruh yang besar dalam perkembangan pekerja segera setelah ia meninggal.[4] Pengaruh ini berkembang karena didorong oleh kemenangan dari Marxist Bolsheviks dalam Revolusi Oktober Rusia.[4]Ide Marxian baru mulai mendunia pada abad ke-20.[4]

Sumber :
Wikipedia