Kamis, 04 Desember 2014

Seri Menyiapkan Desa 4 : Perlibatan Perempuan dan Masa Depan Desa

Seri Menyiapkan Desa (bagian 4)

PERLIBATAN PEREMPUAN DAN MASA DEPAN DESA
(TANTANGAN, PELUANG, DAN STRATEGI DESA)

“Keterwakilan perempuan untuk turut terlibat aktif berkontribusi dalam pengambilan kebijakan publik di musyawarah desa menjadi penting dan strategis agar arah kebijakan dan program kegiatan lebih fokus dan konsisten pada upaya pemenuhan hak-hak dasar rakyat untuk percepatan pengurangan rumah tangga sangat miskin yang sebagian besar (70%) di pedesaan”

Fakta berbicara selama ini partisipasi atau representasi perempuan untuk turut terlibat dalam pengambilan keputusan publik dan mempengaruhi arah kebijakan di desa masih rendah. Kenyataan ini mengakibatkan posisi perempuan - terlebih yang sangat miskin - semakin tersudutkan dan sangat rentan, dimana proses marginalisasi – subordinasi – beban ganda – kekerasan dan stereotip negative masih terus berlangsung yang membutuhkan pemahaman dan perhatian lebih fokus dari semua pihak.

Meskipun sejak era reformasi telah terjadi proses pergeseran kewenangan desentralisasi dengan otonomi daerah berada di kabupaten dan kota namun peluang untuk memaksimalkan peran perempuan dalam mempengaruhi langsung kebijakan pubik masih rendah, apalagi di pedesaan upaya itu menghadapi berbagai tantangan dan kendala tidak ringan. Masih butuh proses perjuangan cukup gigih, konsisten dan fokus untuk terbangunnya kesamaan persepsi dan pemahaman lebih luas serta sikap bijak aparatur dan elit desa terhadap prinsip dan spirit  keadilan gender, termasuk masih perlu kerja keras untuk menyadarkan kalangan perempuan sendiri untuk tidak membiarkan dan turut terjun langsung mengawal proses pengambilan kebijakan publik dan berjuang menyuarakan pemenuhan hak-hak dasar (ekosob) bagi keluarga miskin di pedesaan.

Jika memotret indikator kemiskinan, problem mendasar yang jadi akar persoalan kemiskinan dan signifikan berpengaruh pada IPM yakni rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan keluarga, mulai dari masih tingginya angka kematian ibu, bayi, balita akibat kelahiran atau penyakit menular mematikan (diare, dll), angka gizi kurang dan gizi buruk, angka harapan hidup, tingginya angka buta huruf dan putus sekolah (apk-apm), selain indikator kemiskinan lainnya (sesuai standart MDG’s). Indikator kesehatan dan pendidikan keluarga tentu sangat lekat dengan peran orang tua terutama peran ibu, maka pengaruh perempuan akan signifikan menentukan indikator kemiskinan keluarga, karena rentan dan langsung merembet pula pada kondisi anak-anaknya, terlebih perempuan miskin yang sedang mengandung seringkali jadi ancaman anaknya lahir dalam kondisi gizi kurang, gizi buruk dan rentan penyakit. Fakta menunjukkan kematian  ibu dan atau bayi ketika melahirkan sebagian besar dialami keluarga miskin, lebih rentan mendesak juga perempuan yang sekaligus berperan sebagai kepala keluarga akibat kematian suami, perceraian, atau berpisah karena suami harus merantau cari kerja sangat jauh.

Maka tak dibantah peran perempuan cukup strategis dalam mengawal kualitas hidup tiap rumah tangga, ibarat hitam putih dan gelap terang kondisi rumah tangga signifikan dipengaruhi peran perempuan, secara kodrati dan dalam fokus keseharian tentu lebih memiliki kekuatan kepekaan  menyentuh langsung pusaran akar persoalan kemiskinan yang menentukan kualitas dan masa depan  generasi anak-anaknya. Karena itu secara empiris di berbagai belahan dunia manapun termasuk Indonesia,  daerah-daerah yang ruang partisipasi perempuan sudah semakin terbuka (bukan maksudnya dominan) untuk berperan aktif menyuarakan dan mempengaruhi kebijakan publik, kualitas hidup rata-rata rumah tangganya cenderung meningkat lebih baik. Bahkan peran perempuan dalam memperjuangkan perdamaian dan memerangi berbagai bentuk kekerasan pun sudah semakin teruji dan terbukti. Peraih nobel perdamaian dunia beberapa tahun belakangan ini berturut-turut dianugerahkan kepada tokoh-tokoh perempuan dari berbagai negara (negara miskin). Ini bukti peran perempuan sangat signifikan mampu menjadi perekat perdamaian antar warga masyarakat yang terlibat konflik berkepanjangan (fisik dan psikis) karena perbedaan daerah asal usul, suku, ras, agama, dan adat budaya, terlebih di pedesaan yang juga rentan terhadap konflik horizontal akibat akses informasi dan transportasi sangat sulit dijangkau. Fakta mencatat hampir setiap hari terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga baik fisik maupun mental, terutama terhadap isteri dan anak-anak, dan sebagian besar justru terjadi di lingkungan keluarga miskin sebagai ekses himpitan hidup sehari-hari yang akibatkan  frustrasi sangat mudah menyulut tindakan emosional.

Peluang Pasca UU Desa

Bagaimana peluang memaksimalkan peran perempuan (bukan mendominasi) dalam proses pengambilan kebijakan publik di pedesaan pasca lahirnya UU Desa ? UU Desa menjadi momentum penting karena pengakuan kewenangan desa telah melegitimasi desa sebagai entitas yang tak lagi sekadar obyek pembangunan dan hanya jadi subordinat dari pemerintahan di atasnya seperti selama ini melainkan subyek pembangunan, maka implementasi UU Desa kelak akan membuat musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) tak lagi seolah formalitas belaka seperti dulu, karena aparatur bersama seluruh elemen pemangku kepentingan di desa bisa mengambil keputusan bersama yang ditetapkan dalam APBDesa untuk dilaksanakan dan direalisasikan.  Maka musyawarah desa jadi agenda wajib yang harus melibatkan seluruh stake holder desa.

Dalam UU Desa berikut peraturan pelaksanannya melalui PP 43 Tahun 2014 dan PP 60 tahun 2014 secara tersurat dan tersirat telah memuat dan menegaskan regulasi, prinsip dan semangat keadilan gender dan atau keterwakilan perempuan untuk diimplementasikan baik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Beberapa ketentuan yang secara tersurat menegaskan misalnya dalam PP 43/2014 pasal 71 tentang pengisian anggota BPD, pasal 80 tentang Musyawarah Desa, pasal 121 tentang Pelaksaaan Pembangunan Desa, pasal 144 tentang Badan Kerjasama Desa.  Terlepas dari pengaturan dalam pasal-pasal tersebut, namun terpenting bahwa semua pihak menyadari  semangat lahirnya UU Desa untuk memberi peluang keadilan bagi rakyat yang sebagian besar hidup di pedesaan, setidaknya bagi aparatur dan seluruh pemangku kepentingan desa mulai berupaya membangun kesamaan cara pandang terhadap perlibatan perempuan (lebih proporsional) mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan,evaluasi, pertanggungjawaban. 

Diharapkan arah kebijakan akan fokus mengutamakan pada program kegiatan  yang langsung bersentuhan dengan upaya pemenuhan hak dasar terutama  perbaikan kondisi kesehatan dan pendidikan tiap keluarga (pangan,gizi,kematian ibu bayi dan balita, ancaman putus sekolah, dan pemberdayaan perempuan agar produktif).

Strategi Memaksimalkan Perlibatan Perempuan

Karena UU Desa berikut PP nya telah jelas menegaskan prinsip dan semangat keadilan gender dan atau keterwakilan perempuan sehingga peluang partisipasi lebih terbuka secara proporsional untuk turut andil dan mempengaruhi pengambilan kebijakan publik di desa. Agar langkah ke arah itu bisa konsisten terbangun maka untuk itu setidaknya dibutuhkan berbagai strategi dan langkah konkrit dari semua pihak baik aparatur desa, jajaran pemkab, dan terutama kelompok perempuan sendiri antara lain :   

Pertama, Mendorong upaya lebih maksimalnya peluang akses informasi terhadap seluruh perkembangan proses tata kelola pemerintahan desa dengan ikut mendorong langkah menata dan mengembangkan sistem informasi desa (misalnya turut aktif dalam penyusunan data based desa, pengembangan radio komunitas warga, proaktif ikut pelatihan jurnalis warga, mendesain sms gateway seperti best practice nya serikat pekka). 

Kedua, Mendorong perlibatan di musyawarah desa lebih maksimal perlu diupayakan untuk memperbanyak representasi (keterwakilan) dari berbagai kelompok perempuan berbasis komunitas di desa. Misalnya selama ini perempuan di desa lebih banyak hanya terlibat di komunitas Kelompok PKK desa, kader posyandu, tutor PAUD, organisasi serikat perempuan di desa, kelompok pengajian perempuan, kelompok do’a, kelompok seni budaya (qasidah dll), komunitas pengrajin, maka ke depan perlu lebih diperbanyak menjadi keterwakilan komunitas pedagang kecil di pasar desa juga ada keterwakilan yang dari kelompok perempuan, komunitas koperasi simpan pinjam ada keterwakilan dari perempuan, komunitas petani juga ada keterwakilan dari petani perempuan, dan komunitas lain yang bisa memaksimalkan peran turut menyuarakan dalam tiap agenda musyawarah desa  (implementasi pasal 18 PP 43/2014). 

Ketiga, Mendorong keterwakilan perempuan untuk turut masuk menjadi anggota BPD sesuai dengan semangat pasal 72 PP 43/2014, setidaknya dari keseluruhan anggota BPD juga ada keterwakilan perempuan (tentu yang punya kapasitas) dengan jumlah yang proporsional, karena faktanya di berbagai desa setakat ini jumlah perempuan yang jadi anggota BPD masih sangat minim bahkan banyak pula desa yang  anggota BPD nya sama sekali tak ada dari perempuan. Mengingat dalam UU Desa anggota BPD telah semakin dipertegas peran dan kewenangannya dalam pengambilan kebijakan publik terkait seluruh proses tata kelola pemerintahan dari mulai mengajukan, membahas dan menyetujui kebijakan publik, dan melakukan pengawasan serta evaluasi kinerja hingga pertanggungjawaban pemerintah desa. Jumlah anggota BPD umumnya ganjil (5,7,9) sesuai jumlah penduduk dan kebutuhan desa. 

Keempat, perlu aktif menggelar  dan atau mengikutsertakan kader-kadernya dalam berbagai pelatihan agar punya kapasitas ketrampilan dan pemahaman terkait misalnya tentang alur proses kebijakan dalam tata kelola pemerintahan, keuangan dan aset (RPJMDesa,RKPDesa, APBDesa) dan tata kelola SDA (tata ruang desa), tata cara penyusunan perdes, pelatihan aplikasi sistem pelayanan administrasi desa berbasis IT, dan pelatihan ketrampilan lainnya yang dibutuhkan sebagai pengetahuan dasar untuk terlibat aktif dalam menyuarakan kepentingan warga desa dalam musyawarah desa.  

Kelima, Mendorong gerak perempuan di desa untuk mulai menguatkan isu-isu produktif dalam upaya mewujudkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan perempuan ikut terlibat menjadi bagian dari inisiator dan struktur pengurus BUMDesa sebagai lembaga ekonomi desa yang berpeluang meluaskan kegiatan ekonomi warga terutama mengambil peluang pemberdayaan ekonomi perempuan dari berbagai komunitas di desa

Keenam, dari sejak sekarang baik aparatur desa dan para pemangku kepentingan terutama kader pegiat dari kelompok perempuan  agar  mendorong kalangan perempuan desa terdidik (sarjana D-3 dan S-1) untuk juga dipersiapkan  menjadi cikal bakal tenaga pendamping desa yang profesional ke depan. Dalam PP 43/2014  ditegaskan arah ke depan bahwa tiap desa akan dibutuhkan tenaga pendamping profesional yang memiliki sertifikasi dengan kompetensi dan kualifikasi tertentu (baca pasal 128 – 131 PP 43/2014). Dalam tulisan lalu (bagian 4) penulis menyarankan Pemkab-pemkab sebenarnya  bisa proaktif mendesain program tenaga pendampingan desa dari generasi muda terdidik (sarjana asal desa kembali mengabdi ke desa).

Butuh Komitmen Serius Pemerintah Supra Desa

Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya, Implementasi UU Desa jelas tak hanya menuntut kesiapan dari aparatur desa saja, melainkan justru peran dan kesiapan aparatur jajaran pemerintah kabupaten karena sesuai prinsip desentralisasi dan otonomi daerah pemkab langsung bertanggung jawab untuk melakukan supervisi, pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan desa, maka dalam kaitan dengan peluang untuk memaksimalkan ruang partisipasi perempuan di desa sangat membutuhkan dukungan dan komitmen kuat serta sungguh-sungguh dari pemkab melalui SKPD-SKPD di jajaran birokrasi dalam menyusun perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan yang lebih responsif gender dan memberi peluang bagi upaya perlibatan perempuan lebih proporsional. Untuk memaksimalkan 6 langkah strategi diatas dalam menyambut implementasi UU Desa ke depan, pemkab-pemkab juga perlu proaktif menjalin komunikasi untuk kerjasama bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pegiat/aktifis sosial (NGO’s) yang selama ini fokus pada isu-isu pemberdayaan/perlindungan perempuan dan keluarga, seperti (di kalbar) Serikat Pekka, PPSW, Alpekaje, LBH-PIK, YSDK, WVI, Diantama dll, juga Fasilitator/Pendamping PNPM Generasi di tiap kabupaten, agar Best Practice’s dari inisiatif yang sudah dijalankan selama ini di berbagai desa melalui masyarakat dampingan dapat diadopsi dan dikembangkan (direplikasi) lebih luas di desa lainnya. Pemkab melalui SKPD-SKPD terkait (Badan Pemdes, Bappeda, Badan Pemberdayaan Keluarga dan KB, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian, Perikanan, Peternakan, Camat dan stafnya) perlu kerja keras lebih intensif menanamkan kesamaan persepsi dan pemahaman kepada seluruh aparatur,  elit-elit dan para pemangku kepentingan desa terhadap penting dan strategisnya peran dan perlibatan perempuan lebih proporsional dalam proses pengambilan kebijakan publik di desa-desa, komitmen ini perlu dijalankan dengan konkrit,sungguh-sungguh,berkelanjutan, tak sekadar kamuflase dan formalitas belaka. Semoga.

Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya dan Pendiri Institut Indonesia Moeda