Sabtu, 06 Desember 2014

Seri Menyiapkan Desa 6 : Seputar Problem Penyaluran Dana Desa

Seri Menyiapkan Desa (Tulisan 6)

SEPUTAR PROBLEM PENYALURAN DANA DESA
(TANTANGAN DAN SOLUSI)

“Proses Perencanaan dan Penatausahaan Birokrasi  Pemkab dalam Penyaluran Alokasi Dana ke Desa-Desa baik dari APBN (3 tahap) dan APBD (2 tahap) mesti menjamin ketepatan waktu dan kelancaran pencairannya agar menghindari  keterlambatan pelaksanaan program kegiatan  fisik dan non fisik atau minimnya daya serap anggaran dan realisasi kegiatan dari APBDesa, berakibat  peluang mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar yang mendesak untuk perbaikan kualitas hidup di desa-desa jadi terkendala, bahkan berpotensi jadi celah penyimpangan dalam pelaksanaannya”                                                                   
UU Desa no 6 Tahun 2014 berikut PP 43 dan PP 60 Tahun 2014 sebagai pengaturan pelaksanaannya, telah membawa konsekuensi akan mengalirnya anggaran dana ke desa dari pusat (APBN) yang pehitungannya disesuaikan dengan indeks jumlah penduduk, luas wilayah, rata-rata tingkat kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis (akses infrastruktur, sarana prasarana, jangkauan wilayah), mekanisme dana itu akan ditransfer dulu ke rekening kas daerah (pemkab) baru setelah itu akan disalurkan ke rekening kas desa-desa jika APBDesa telah ditetapkan dan dievaluasi oleh Pemkab (Bupati melalui Badan Pemdes), pengucuran tidak sekaligus tapi 3 tahap yakni tahap kesatu pada minggu ke II April 40% , tahap kedua pada minggu kedua Agustus 40%, dan tahap ketiga pada minggu kedua November 20%. Ini baru yang bersumber dari pusat, sedangkan yang dari APBD yakni ADD yang konkritnya hampir 7 tahun ini telah dianggarkan ke desa-desa (melalui PP 72/2005 tg ADD) tetap  wajib dianggarkan dan disalurkan oleh Pemkab sesuai jumlah yang ditentukan dalam Peraturan Bupati ttg penetapan besaran ADD tiap desa seperti selama ini (rata-rata 100 juta sampai 250 juta per desa) tiap tahun. Ini masih ditambah lagi dengan pendapatan dari Bagian dari Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah yang juga wajib ditetapkan Bupati melalui Perbup dan sumber dari Pendapatan Asli Desa (PADes) sendiri. 

Inilah 4 komponen sumber keuangan yang pasti akan masuk ke desa mulai tahun depan (2015) sesuai perintah dan amanat UU Desa dan PP nya. Sedangkan sumber dari bantuan keuangan pempus, pemprov,pemkab, dan sumber hibah tidak mengikat dari pihak lainnya bersifat tidak mutlak (belum pasti dialokasikan). Berarti setidaknya proses penyaluran alokasi anggaran dari pemkab ke rekening kas desa dalam setahun anggaran minimal dilakukan dalam 5 kali  tahap pencairan yakni dari APBN 3 kali tahap pencairan dan dari ADD 2 tahap. Kondisi ini tentu membutuhkan komitmen kinerja pemkab lebih serius dan fokus untuk menjamin proses penyaluran dana ke rekening kas desa-desa pada tiap tahapan tidak mengalami kendala teknis dan keterlambatan terlalu jauh.

Seperti telah ditegaskan di tulisan sebelumnya, Implementasi UU Desa dengan seluruh agenda yang mesti berjalan tak semata hanya menuntut kesiapan dari Aparatur Desa (Kades, BPD, perangkat desa) saja baik kompetensi, ketrampilan, pemahaman persepsi yang tepat, namun juga sangat penting  menuntut kesiapan dari Aparatur Birokrasi di Pemkab, terutama birokrasi di Badan Pemdes, para Camat dan staf kecamatan, SKPD di Sekretariat Daerah (Asisten I dan Kabag Hukum), Dinas Pendapatan dan Keuangan, Inspektorat, termasuk Bappeda. Mengapa demikian ?

 Informasi KUA-PPAS ke Desa-desa (pra RAPB Desa)

Karena dimulai dari alur proses Perencanaan pembangunan dimana Desa-Desa sudah harus mendapatkan informasi dari Pemkab melalui Bappeda atas dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Penetapan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) tahun berikutnya paling lama 10 hari setelah disetujui bersama oleh Bupati dan DPRD. 

Pertama, karena dalam KUA-PPAS itu akan bisa terlihat dan tergambar jumlah besaran indikatif dari ADD dan BHP-RD meskipun baru angka pagu indikatif namun setidaknya desa-desa mengetahui besarannya (tetap atau bertambah) sehingga desa bisa masukkan ancer-ancer angka pagu indikatif di pos komponen pendapatan dari ADD dan BHP-RD diluar dari Dana Anggaran Desa yang dari APBN (pusat). 

Kedua, melalui KUA-PPAS itu desa-desa baru bisa menyusun Rancangan APBDesa masing-masing karena akan terlihat jelas Program dan Kegiatan dari seluruh Dinas (SKPD) di Pemkab baik Fisik dan Non Fisik, terutama insfrastruktur dasar sehingga bisa diketahui Program dan Kegiatan apa saja yang akan masuk melalui APBD Kabupaten ke tiap desa agar menghindari duplikasi atau tumpang tindih anggaran dan kewenangan yang menjadi celah potensi penyimpangan bahkan celah dan peluang manipulasi kegiatan di lapangan. 

Jika dokumen KUA-PPAS  telah diterima Pemerintah Desa bisa menyusun rancangan program dan kegiatan sesuai RPJMDesa dan RKPDesa yang tidak dianggarkan di APBD kabupaten namun dalam kategori yang menjadi  Kewenangan Desa (kewenangan berdasarkan asal usul dan kewenangan berskala lokal desa)  sesuai Perbup Daftar Kewenangan Desa yang harus  disusun bersama dan diterbitkan oleh pemkab dengan terlebih dulu mengagendakan penyusunan daftar kewenangan desa bersama-sama seluruh kepala desa dan ketua BPD sebagaimana tulisan Seri Pencerahan Desa bagian 1 yang lalu . 

Jadi KUA-PPAS menjadi bahan penting dan mendasar untuk pijakan desa bisa menyusun rancangan APBDesa. Sedangkan Dalam PP 43 Tahun 2014 pasal 101 telah ditegaskan bahwa Rancangan Perdes APBDesa telah disepakati Kades bersama BPD paling lambat akhir Oktober tahun berjalan, ketentuan ini bermaksud memberikan waktu yang cukup (sekitar 2 bulan) bagi pemerintah desa untuk antisipasi agar penetapan APBDesa tidak sampai melampaui batas waktu 31 Desember (terlambat).  

Di sisi lain berkaca pada perjalanan otonomi daerah selama ini,  di banyak kabupaten agenda pembahasan dan kesepakatan KUA-PPAS tahun anggaran berikutnya oleh Pemkab bersama DPRD  seringkali mengalami keterlambatan dari jadwal sesuai ketentuan. 

Kalau  sekarang terkait dengan Implementasi UU Desa berarti dokumen KUA-PPAS untuk RAPBD Tahun 2015 harus telah disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten (melalui Bappeda ke para camat) ke seluruh Pemerintah Desa, agar Kades dan BPD bisa segera menyiapkan Rancangan APBDesa dengan terlebih dahulu melaksanakan Musyawarah untuk Revisi RPJMDesa dan dilanjutkan agenda penyusunan RKPDesa, sehingga waktu yang tersisa tinggal 2 bulan ke depan Perdes APBDesa 2015 bisa dikejar untuk ditetapkan sebelum batas akhir 31 Desember tahun ini. Jadi jika APBDesa ke depan terlambat ditetapkan tentu akan berpengaruh langsung pada proses penyaluran alokasi dana ke desa-desa karena akan dilanjutkan proses teknis penatausahaan di internal birokrasi (evaluasi dan verifikasi) sebelum bisa disalurkan.

Perbaiki SOP dan Komitmen Kinerja Lebih Fokus Efektif

Untuk itulah Pemkab disini juga dituntut mesti menyiapkan untuk menjalankan kinerja pelayanan lebih optimal terutama terkait dengan proses penyaluran uang dana desa ke rekening kas desa baik sumber dari APBN Pusat dan dari ADD. Mengingat pengalaman empiris penyaluran ADD saja selama ini seringkali juga koreksi, evaluasi dan penelaahan dan verivikasi  tak jarang terjadi perbedaan persepsi antara Dinas/SKPD terkait di internasl birokrasi (antara Badan Pemdes, Sekretariat Daerah, Keuangan) bahkan tak jarang Peraturan Bupati dan Surat Keputusan yang harus diterbitkan sebagai dasar  payung hukum untuk proses pencairan ADD terlambat karena harus memakan waktu cukup lama dan lambat dari meja ke meja apalagi kalau sampai berkasnya bolak balik yang terkadang justru bukan pada soal substansi nya melainkan hanya soal tata naskah dan titik koma (seputar problem remeh temeh) akibat penyakit klasik birokrasi yang masih berkutat pada pendekatan arogansi dan sikap ego antar Dinas/SKPD satu sama lain. 

Kelancaran proses penyaluran dana desa ini menjadi penting karena  menghindari keterlambatan dalam proses realisasi/penggunaan dalam pelaksanaan program kegiatan yang telah dianggarkan dalam kebijakan APBDesa, apalagi dengan kewenangan desa mengelola anggaran cukup besar, secara otomatis jumlah dan jenis program kegiatan akan semakin banyak item belanja langsung maupun tak langsung yang harus direalisasikan dan dipertanggungjawabkan oleh aparat pemerintah desa, sehingga akan langsung berdampak daya serap anggaran yang minim dan lambat sementara untuk proses pencairan tahap ke 2 misalnya umumnya disyaratkan daya serap/realisasi dari anggaran yang telah dicairkan pada tahap 1 setidaknya harus 90% nya telah terealisasi, jika pada tahap 1 penyaluran nya ke rekening desa telah terlambat cukup lama dikhawatirkan akan menjadi kendala untuk proses pencairan tahap berikutnya (tahap 2 dan 3) yang akhirnya cukup besar anggaran yang tidak bisa direalisasikan/diserap yang juga menyebabkan jumlah SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) yang besar dan tidak wajar, meski SILPA bisa digunakan untuk kegiatan tertunda di tahun anggaran berikutnya namun peluang untuk mempercepat perbaikan kualitas hidup warga jadi terhambat, sementara banyak kebutuhan dasar masyarakat sangat mendesak yang mestinya bisa direalisasikan jadi tertunda. 

Kondisi ini tak jarang juga bisa menimbulkan kondisi kurang kondusif di desa, sebab ketika APBDesa sudah ditetapkan melalui Kades bersama BPD maka warga desa tentu sangat berharap bisa direalisasikan terkait dengan belanja pembangunan/masyarakat baik fisik dan non fisik, perlu dimaklumi  warga desa umumnya kurang memahami hal ihwal mekanisme teknis proses pencairan dana desa, sementara di desa-desa suasana politik lokal justru lebih tajam dan sensitif muncul. 

Di sisi lain, SILPA yang terlalu besar dan tidak wajar juga bisa berpotensi menjadi celah penyimpangan dalam tata kelola keuangan desa. Kondisi seperti ini perlu diantisipasi agar tak banyak menimbulkan kendala serius dalam implementasinya ke depan.

Solusinya, pemkab melalui dinas-dinas terkait (forum SKPD) dituntut untuk menyiapkan diri dengan mendesian SOP (standar operasional prosedur) untuk implementasi proses tata kelola anggaran dana desa yang lebih memberikan jaminan kelancaran dan sistem lebih efektif serta tidak harus berlarut atau stagnan namun tanpa mengurangi tingkat kehati-hatian dan ketelitian dalam proses koreksi, evaluasi dan verivikasi nya. Setidaknya bisa lebih dipastikan target kinerja masing-masing SKPD yang menangangi baik target jangka waktu (berapa hari tiap meja SKPD) untuk koreksi, evaluasi dan verivikasinya, seperti best practice nya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). 

SOP dimaksud dibahas dan dirembukkan serta disepakati bersama yang akan menjadi produk Peraturan Bupati.   

Disamping itu tak kalah penting adalah upaya kepala daerah sendiri untuk membangun suatu kesamaan persepsi terhadap Agenda Pembaruan Desa sebagaimana amanat UU Desa yang telah mengakui hak dan kewenangan desa untuk merencanakan dan mengelola anggaran sesuai kebutuhan mendesak dan prioritas bagi percepatan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak yang berada di pedesaan. 

Kepala Daerah bersama-sama seluruh jajaran SKPD birokrasi pemkab tak boleh lagi memandang desa hanya sebagai “obyek” pembangunan saja seperti cara pandang masa lalu, melainkan sebagai sebuah Entitas dan Subyek yang harus diakui dan diberikan peluang untuk bisa berdaya dan mandiri. Pendekatan dan cara pandang klasik pejabat publik maupun birokrasi yang masih cenderung berprilaku arogan dan feodal harus mulai jauh-jauh ditinggalkan, perlu ada revolusi mindset. 

Sekali lagi perlu dipahami dan diingat bersama, anggaran dana desa baik dari APBN maupun ADD dari APBD  merupakan HAK Desa-Desa dan bukanlah BANTUAN ke Desa-Desa, maka bagaimanapun semua elit politik dan birokrasi baik pusat dan daerah wajib mengawal dan memastikan anggaran itu dapat tersalurkan dengan lancar dan tepat waktu ke rekening kas desa. 

Disisi lain seluruh aparatur desa dituntut pula komitmennya untuk menyiapkan diri dengan berupaya melatih dan meningkatkan kompetensi dan kinerja dalam mengelola anggaran desa dengan prinsip terbuka dan bisa dipertangungjawabkan (transparan dan akuntabel) penggunaannya sesuai  ketentuan dan tepat waktu dalam pelaksanaan kegiatan, maka seluruh stake holder di desa perlu memperkuat ruang keteribatan (partisipasi) di semua alur proses mulai dari musyawarah perencanaan, pelaksanaan terlebih dalam pengawasan realisasi APBDesa dan evaluasi serta pertanggungjawaban, pengawasan terbaik justru dari seluruh rakyat desa itu sendiri sebagai pihak yang menerima serta merasakan langsung dampak dari program kegiatan ke desa-desa yang bersumber dari APBDesa, APBD Kabupaten, Provinsi dan APBN. Seluruh elit desa dan warga desa (terutama generasi muda terdidik sebagai tanggung jawab intelektual) mesti sigap,  bersikap proaktif mengawal, jangan bersikap apatis, skeptis bahkan menyia-nyiakan peluang untuk bisa mempercepat proses perbaikan kualitas hidup seluruh rumah tangga di desa sekaligus mengurangi kesenjangan hidup antara perkotaan dan pedesaan. Singkatnya, jangan terlalu banyak proses ‘pembiaran-pembiaran’ ke depan. Semoga.

Penulis : Bung Muda Mahendrawan, Pendiri Institut Indonesia Moeda