Selasa, 02 Desember 2014

Seri Menyiapkan Desa 2 : Merancang Bangun Pengembangan Sistem Informasi Desa

Seri Menyiapkan Desa (Tulisan 2)

MERANCANG BANGUN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI DESA
(Keterbukaan, Ketepatan, dan Keadilan Akses Informasi)

“Bilamana desa-desa telah memulai langkah menata dan mengembangkan Sistem Informasi Desa yang terbuka, akurat, up date, dan berlangsung terus menerus, akses itu jadi pintu awal yang baik bagi proses pengelolaan Keuangan dan Aset serta Tata Kelola SDA (tata ruang desa) terkait agenda perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, pertanggungjawaban yang lebih tepat, partisipatif dan berkeadilan untuk mengejar peluang percepatan pemenuhan hak dasar dan perbaikan kualitas hidup rumah tangga di desa-desa”

UU Desa meski telah memberi peluang bagi aparat pemerintah desa untuk menjalankan kewenangan dalam menyusun perencanaan, penganggaran, pelaksanaan berdasarkan musyawarah desa, namun tidak berarti semua itu sudah menjamin bahwa prosesnya pasti akan berjalan lancar dan tidak menemui kendala bahkan tak jarang terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan dan aset desa serta tata kelola SDA di desa-desa.

Selama ini tak jarang dalam proses pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa-desa yang bersumber baik dari dana ADD, APBD Kabupaten, Provinsi maupun APBN Pusat, warga desa tempat obyek lokasi pembangunan justru tidak mengetahui dari awalnya, bahkan  ada pula kegiatan pembangunan yang tiba-tiba masuk di desa tanpa diketahui sebelumnya oleh warga desa karena minimnya akses informasi. Sebenarnya bagi warga desa kegiatan pembangunan baik fisik dan non fisik tentu sangat dibutuhkan apalagi yang menyangkut infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, sarana pendidikan, kesehatan, sarana prasarana pertanian, air bersih, dan sebagainya. Namun disisi lain, ketika informasinya kurang akan berakibat lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan, bagaimanapun penerima manfaat pembangunan adalah warga masyarakat desa itu sendiri, dan jika pengawasan lemah berpotensi penyimpangan dengan bermacam modus baik kualitas, volume, dan target waktu kegiatan.  Lebih ekstrim lagi, tak jarang juga ada alokasi anggaran yang menjadi program kegiatan melalui SKPD atau Dinas tertentu namun ternyata di lapangan tidak dikerjakan sama sekali sesuai mata anggaran, belakangan baru diketahui ternyata modus penyimpangan dilakukan dengan menduplikasi anggaran untuk 1 kegiatan yang sama obyeknya (2 pos anggaran untuk 1 kegiatan), atau jumlah satuan dan volume yang harus dikerjakan ternyata tidak sesuai tapi anggaran untuk itu dicairkan seluruhnya (100%) sehingga terindikasi ada kegiatan yang fiktif. Apapun modus penyimpangan  penyebab utama karena  lemahnya akses informasi ke warga desa.

Kembali pada kewenangan desa yang telah diakui dalam UU Desa konsekuensinya desa berhak atas anggaran yang cukup besar untuk dikelola sendiri.  Di sisi lain, lahirnya UU Desa selama ini tergiring opini yang terlalu terfokus pada gaung dana 1 milyar per desa sehingga bisa berakibat munculnya sikap euphoria yang jika tidak diberikan pemahaman dan persepsi yang tepat akan menimbulkan ekses negatif dan berpotensi terjadi penyimpangan, apalagi kalau mental aparatur dan elit-elit desa tidak lebih dulu dipersiapkan untuk menggeser pola pikir (mind set) dan pendekatan semata sebagai pelayan masyarakat bukan lagi dengan pendekatan kekuasaan dari kewenangan yang dimiliki oleh aparatur desa. Meskipun saat ini belum diketahui pasti berapa anggaran dana desa yang akan disalurkan pada tahun 2015 mendatang mengingat kondisi keuangan negara (APBN) yang sedang mengalami tekanan berat karena subsidi BBM semakin besar.

Karena itu seluruh elit dan warga desa perlu diberikan pemahaman dan persepsi yang benar terkait dengan besarnya anggaran dana desa, jangan sampai warga desa hanya tau besaran jumlahnya saja namun tidak memahami dari mana saja sumber keuangan desa baik dari APBN dan APBD dan bagaimana sebenarnya alur proses kebijakan dan tata kelolanya, apalagi kita pahami psikologi dan sosiologis di desa-desa yang sangat sensitif terkait persoalan keuangan yang dikelola aparatur desa. Politik lokal di desa justru lebih tajam dan rentan sehingga kesalahpahaman akibat lemahnya informasi  tak jarang membuat suasana desa tak jarang menjadi kurang kondusif.

LANGKAH-LANGKAH PROAKTIF, FOKUS, TAKTIS, dan SOLUTIF

Karena itu dari sejak sekarang sebenarnya Aparatur Desa sangat perlu mendorong pengembangan dan menata sistem informasi desa dengan langkah-langkah proaktif yang konkrit, fokus dan taktis yakni :

Pertama, dimulai dari penyusunan kembali data base baik data monografi dan demografi desa yang up date, valid dan akurat baik menyangkut kependudukan dan data kemiskinan warga berdasarkan tiap keluarga sebagai bahan untuk meramu kebijakan perencanaan dan penganggaran  agar tepat sasaran dan tidak mubazir. Termasuk data base lainnya yang dibutuhkan untuk disatukan ke dalam sebuah sistem informasi berbasis teknologi informasi (TI) untuk mempermudah cara kerja pemerintah desa dalam memperbaiki pelayanan publik, setidaknya dalam RPJMDesa dan RKP Desa harus telah dimuat program kegiatan untuk pengembangan Sistem Informasi Desa berbasis Teknologi Informasi. Saat ini banyak pihak mendesain sistem aplikasi berbasis TI untuk pengembangan Sistem Informasi Desa, baik pelayanan administrasi desa sehari-hari, sistem aplikasi TI Tata Kelola Keuangan dan Aset Desa serta tata kelola SDA baik dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban. Seperti best practice yang dikembangkan Gerakan Desa Membangun (GDM) untuk desa-desa di Jawa, (catatan : Institut Indonesia Moeda saat ini juga masih sedang dalam proses menyiapkan pengembangan aplikasi sistem informasi desa berbasis TI ini).  

Pengembangan Sistem Informasi Desa berbasis TI ini akan lebih efektif dalam membangun sistem sekaligus membentengi atau mempersempit ruang dan peluang penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan aset serta tata kelola SDA (tata ruang desa), mengapa ? karena selain memudahkan efektifitas kerja dalam penyusunan rancangan perencanaan sampai pertanggungjawaban juga akan lebih menjamin upaya keterbukaan (transparansi) dari seluruh alur proses kebijakan dan bisa meningkatkan kontrol pengendalian internal yang lebih efektif dan efisien. Untuk desa-desa yang sudah bisa akses jaringan internet pengembangan sistem aplikasi untuk administrasi juga disertai dengan pembangunan website Desa. Aplikasi Sistem Terpadu Adminitrasi Desa berbasis TI bisa disiapkan dan didesign untuk meng-input seluruh data-data based baik monografi, demografi , data kemiskinan, data pemerintah desa, data kegiatan ekonomi masyarakat dan perusahaan, data pendidikan dan kesehatan, data infrastruktur sarana prasarana, data pertanahan menyangkut kepemilikan SPT atau Sertifikat (sekaligus menertibkan administrasi penerbitan SKT/SPT untuk meminimalisir kasus tumpang tindih kepemilikan tanah/lahan yang semakin marak terjadi di berbagai desa) dan penguasaan tanah/lahan oleh perorangan atau korporasi (HGU), termasuk jika telah disusun draft rancangan Tata Ruang Desa yang mencakup peruntukan dan pemanfaatan lahan dan hutan termasuk data kawasan APL, kawasan hutan lindung, HP, HPT, HPK, HTI, HTR, Hutan Desa – Hutan Adat (jika telah ditetapkan), Taman Nasional, Kawasan Strategis Kabupaten/Provinsi dan kawasan lainnya, data kelompok petani, nelayan, pedagang, buruh, data TKI dari desa, dokumentasi Peratura Desa, Peraturan Kepala Desa, SK Kades, Data Administrasi BPD, Berita Acara Musyawarah Desa, Perdes RPJMDesa, Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP) Desa, bahkan untuk keterbukaan memuat pula RAPBDesa dan APBDesa yang telah ditetapkan,  termasuk menginput data seluruh program kegiatan yang masuk ke desa (baik fisik maupun non fisik) yang bersumber dari dana APBD Kabupaten, Provinsi maupun APBN Pusat pada tahun berjalan, tentu akan merangsang partisipasi masyarakat  aktif mengawasi kegiatan itu.

Kedua, pengembangan Sistem Informasi Desa sebenarnya lebih diutamakan untuk merangsang munculnya SDM para pelaku informasi baik melalui media cetak, media komunikasi radio, maupun media sosial di pedesaan. Saat ini telah banyak juga  Best Practice yang dilakukan  kelompok masyarakat melalui dampingan pekerja/pegiat sosial (NGO’s) baik melalui aktifitas pendirian Radio-Radio Komunitas, media tabloid desa, media sosial desa yang semakin berkembang.  Mengingat masih banyak desa-desa yang sulit mengakses informasi karena kondisi geografis maka keberadaan Radio Komunitas desa dengan sendirinya akan menjadi langkah taktis dalam membuka akses informasi ke warga masyarakat desa terhadap segala aktifitas dan perkembangan desa dari hari ke hari dan segala informasi yang bermanfaat bagi pencerahan warga desa. Bahkan dalam momen atau agenda-agenda pemerintah desa sekalipun misalnya dalam Musyarawah Desa dan hasil-hasil yang disepakati bisa dipublikasikan. Untuk ini dibutuhkan upaya merangsang  aktifitas Jurnalisme Warga yang dilatih ketrampilannya untuk melakukan, mengakses, dan mempublikasi informasi. Skema aktifitas lain yang sekarang juga banyak dikembangkan misalnya SMS Gateway yang lebih memberikan jaminan akses informasi lebih cepat dan terkini kepada seluruh warga desa terhadap informasi yang bersifat mendesak, darurat dan strategis, misalnya informasi untuk mengundang warga desa secara efektif, informasi kejadian atau peristiwa misalnya ancaman bencana banjir, longsor, kebakaran,  tindak kejahatan misalnya KDRT, warga sakit mendadak, ini juga sekaligus menjaga budaya kebersamaan, gotong royong dan kepedulian sosial satu warga dengan lainnya yang perlu dipertahankan karena sudah mulai terkikis sebagai dampak langsung dari modernisasi dan teknologi.   Aktifitas kerja-kerja sosial, pemberdayaan dan dampingan pelatihan jurnalis warga, pengembangan radio-radio komunitas dan media desa lainnya kepada kelompok-kelompok organisasi rakyat (OR) di berbagai desa sebetulnya ibarat  embrio yang telah  siap untuk bersama-sama dengan Aparatur Desa sebagai subyek pelaku yang mendorong pengembangan Sistem Informasi Desa. 

Gagasan Kelompok Kerja Informasi Desa (KKID)

Dari kedua langkah diatas sebagai tindak lanjutnya untuk upaya menjamin dan memastikan keberlangsungan serta keberlanjutannya perlu kiranya dipertimbangkan untuk diwujudkan (langkah rekayasa sosial) menjadi sebuah kelembagaan cukup strategis di desa-desa sebagai langkah terobosan yang inovatif dan solutif yakni  Ketiga, Pemerintah Desa perlu mendorong SDM yang ada di desa tersebut untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa agar dapat terkawal dan terpelihara secara terus menerus, sebab SID tak akan terbangun dan terkawal dengan baik tanpa  SDM yang punya kemauan dan daya juang tinggi sebagai pelaku informasi di desa, diawali dengan inisiatif untuk mendorong dan mendukung agenda-agenda seperti pelatihan ketrampilan komputer dan IT, pelatihan penyusunan data base desa, pelatihan jurnalis warga yang diikuti pula oleh perangkat desa dan para pemuda pemudi di desa sekaligus sebagai ruang aktualisasi  positif bagi kalangan generasi muda di desa. Sebabnya kalau pemerintah desa hanya mengandalkan tenaga SDM dari luar desa saja maka akan sulit nantinya untuk memelihara,merawat, dan mengawal sistem informasi itu dapat berjalan dan dikembangkan seterusnya.

Maka salah satu inisiatif dan gagasan terobosan (inovatif) yang bisa menjadi solusinya perlu upaya rekayasa sosial  terbentuknya kelembagaan misalnya membentuk Kelompok Kerja Informasi Desa. Kelembagaan ini diberikan peran terdepan dalam menghimpun, mengelola dan mendistribusikan informasi yang dibutuhkan warga desa dan terus merekam, meng input, mengawal hari ke hari setiap perkembangan dan peristiwa yang perlu diketahui oleh warga terkait langsung dengan penyelenggaraan pemerintah desa, proses pembangunan, proses pemberdayaan dan pembinaan masyarakat desa. 

Pembentukan kelembagaan ini juga perlu didukung penuh dengan legitimasi dari Kepala Desa bersama BPD melalui Peraturan Desa atau setidaknya melalui Peraturan Kepala Desa agar kedepannya bisa didukung sebagai salah satu program kegiatan yang diakomodir melalui RPJMDesa (revisi), RKP Desa dan APBDesa. Kepala Desa bersama Ketua BPD menjadi penasehat/pengarah, sementara rekruitmen kepengurusan diambil dari para pelaku informasi di desa termasuk pula perangkat desa jadi struktur pengurus, karena berkaitan erat dengan penghimpunan dan pengelolaan data base desa, pelayanan administrasi desa, tata kelola keuangan dan aset desa juga tata kelola SDA. Kelompok Kerja Informasi Desa ini juga sebenarnya akan menjadi strategis dan diperlukan oleh pemkab-pemkab karena justru akan mengefektifkan kinerja pemkab dalam relasi timbal balik arus lalu lintas informasi yang selalu up date antara desa-desa dan pemkab sendiri, maka perlu didukung untuk mulai dirancang pula program kegiatan melalui Dinas terkait (Kominfo dan Bappeda) dengan sasaran menjadikan minimal 1 desa tiap kecamatan jadi pilot project sistem informasi desa untuk percontohan bagi desa-desa lainnya ke depan. SKPD bisa memanfaatkan pula tenaga sarjana-sarjana asal desa untuk menjadi pendamping khusus program sistem informasi desa. Kelompok Kerja Informasi Desa inilah yang diberikan peran dan tanggungjawab serta kewenangan untuk menata, mengawal serta merawat Sistem Informasi Desa yang telah dibangun dan dikembangkan, baik dalam bentuk sistem aplikasi IT untuk pelayanan administrasi pemerintah desa, media website, media radio komunitas, media seluler (sms gateway), dan media cetak (misalnya ada buletin atau tabloid desa). 

KKID ini juga yang akan terus menerus meng up date informasi  dari pemerintah supra desa untuk disajikan secara terbuka kepada seluruh warga desa dan diberi tugas meng input hari ke hari perubahan data base yang ada dalam sistem aplikasi pelayanan administrasi desa berbasis IT bila telah diaplikasikan oleh pemerintah desa. KKID juga diberi peran untuk  mengejar, mengakses  dan menghimpun data-data based yang telah ada atau pernah disusun melalui program kegiatan di SKPD-SKPD kabupaten (Bapeda dan lainnya) maupun di BPS (sebagai pembanding) untuk disesuaikan dan divalidasi kembali, termasuk hasil-hasil assessment, survey, atau penelitian yang dijalankan oleh berbagai lembaga baik perguruan tinggi atau NGO’s di desa bersangkutan agar tak cuma jadi koleksi yang mubazir karena tak termanfaatkan sehingga bisa dikodifikasi menjadi kesatuan data based desa yang lengkap dan mudah diakses. 

Kita memahami untuk mewujudkan pengembangan Sistem Informasi Desa tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan, perlu proses waktu sambil berjalan dan membangun kesamaan persepsi terlebih dahulu oleh aparat dan elit-elit desa dan semua kelompok pemangku kepentingan di desa,  namun setidaknya desa-desa dari sekarang telah mulai menjadikannya sebagai  arah kebijakan yang cukup strategis dan mendasar dalam RPJMDesa (revisi) agar menjadi program kegiatan dalam kebijakan ke depan. Perlu menjadi catatan penting, bahwa maju mundurnya desa, hitam putih nya perkembangan desa akan sangat signifikan dipengaruhi oleh faktor leadership (kepemimpinan) di pemerintahan desa (Kades bersama BPD) dan berikutnya faktor kemauan untuk membangun  sistem pemerintahan desa yang terbuka dan penuh tanggung jawab. Maka penataan dan pengembangan Sistem Informasi Desa ini akan menjadi bukti awal yang nyata adanya itikad baik dari Aparatur Desa (Kades bersama BPD) untuk  pemberdayaan masyarakat desa secara terbuka (sesuai spirit UU Keterbukaan Informasi Publik) sebagai prasyarat utama untuk meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat agar agenda pembaharuan desa bisa terkawal  optimal sesuai tujuan dan semangat lahirnya UU Desa. 

Penulis : Bung Muda Mahendra, Mantan Bupati Kabupaten Kubu Raya dan Pendiri Institut Indonesia Moeda