Selasa, 07 Agustus 2012

SUKARNO: SEORANG BIMA, SEORANG HAMLET

Sukarno: Seorang Bima, Seorang Hamlet

"Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa." (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat)
SUKARNO tidak dimakamkan "di antara bukit yang berombak, di bawah pohon rindang, di samping sebuah sungai dengan udara segar." Tidak seperti diinginkannya. Permintaan terakhirnya untuk dikuburkan di halaman rumahnya di Batutulis, Bogor, ditolak. Prospek bahwa makamnya akan menjadi tempat ziarah populer yang terlalu dekat dari Jakarta jelas merisaukan pemerintahan baru. Soeharto hanya mengizinkan Sukarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, di samping makam ibunya.

Bahkan jasad matinya membuat gentar. Dan kini, 30 tahun sejak meninggalnya, nama serta wajah Sukarno tidak pernah benar-benar lumat terkubur. Kampanye puluhan tahun Orde Baru untuk membenamkannya justru hanya memperkuat kenangan orang akan kebesarannya, simpati pada epilog hidupnya yang tragis, serta maaf atas kekeliruannya di masa silam.

Sukarno tak pernah berhenti menjadi ikon revolusi nasional Indonesia yang paling menonjol—mungkin seperti Che Guevara bagi Kuba. Di banyak rumah, foto-fotonya, kendati dalam kertas yang sudah menguning di balik kaca pigura yang buram, tidak pernah diturunkan dari dinding meski pemerintahan berganti-ganti. Di kaki lima, posternya masih tampak dipajang bersebelahan dengan gambar Madonna, Iwan Fals, dan Bob Marley—simbol dari zaman yang sama sekali lain.

Pada Pemilihan Umum 1999, dia hadir sebagai juru kampanye "in absentia" bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin putrinya, Megawati Sukarnoputri. Gambar besarnya diusung dalam arak-arakan. Posternya dipajang di mulut-mulut gang. Dan Sukarno memenanginya. PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, mengantarkan Megawati menjadi wakil presiden sekaligus melempangkan jalan bagi pemulihan nama Sukarno sendiri.

"Sejarahlah yang akan membersihkan namaku!"

Sumpah itu jadi kenyataan. Sejarah—dan waktu—kini berpihak padanya. Hari-hari ini, peringatan 100 tahun kelahirannya dirayakan dengan pesta akbar. Tidak hanya dalam kenangan penghuni gubuk reyot pedesaan dan kampung kumuh perkotaan—orang-orang Marhaen yang menjadi sumber ilham dan curahan simpati besarnya—tapi juga dalam konser musik klasik tempat orang-orang berdasi dan bermobil Baby Benz mendengarkan Aida gubahan komponis besar Italia, Giuseppe Verdi.

Untuk pertama kalinya sejak tragedi berdarah 1965, yang sebagian dosanya dibebankan padanya, dia memperoleh kembali secara lebih proporsional kehormatan yang menjadi haknya.

Seperti Verdi mengilhami pembebasan Italia lewat opera dan musik indahnya, Sukarno—lebih dari siapa pun—memang berjasa besar menyatukan bangsa Indonesia dalam kesadaran bersama meraih kemerdekaan, lewat orasi-orasinya yang berani dan menggemuruh pada 1920-an.

"Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!"

Tak hanya mengantarkan kemerdekaan Indonesia, dia kelak memang
mengguncang dunia pula. Dari lembah Sungai Nil hingga Semenanjung Balkan, dari Aljazair hingga India, namanya dikenang sebagai salah satu juru bicara Asia-Afrika paling lantang dalam melawan "imperialisme dan kolonialisme Barat".

Sebagai orator, dia mampu menghipnotis dan menggenggam massa dalam
tangannya. Dan dengan itu dia mendesakkan "revolusi psikologis", menjebol
keyakinan umum pribumi Indonesia, yang kala itu hampir sekuat mitos dan
takhayul, bahwa kolonial Belanda berkulit putih tidak bisa dikalahkan.

Aktivisme politik Sukarno diilhami dari sumber-sumber yang beragam, dari buku yang dibaca dan tokoh senior yang ditemuinya. Dia menyerap semuanya, lalu menggumpalkan dalam dirinya, hampir sepenuhnya eklektis dan sinkretis—kemampuan khas Jawa.

Mengenyam pendidikan sekolah menengah (Hogere Burger School) di Surabaya, Sukarno tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, gerakan politik prakemerdekaan yang memiliki basis penerimaan paling luas. Dan Tjokro menjadi mentor politiknya yang pertama (bahkan kelak menjadi mertuanya)—tapi bukan satu-satunya.

Sukarno menyebut lingkungan rumah Tjokro sebagai "dapur revolusi Indonesia". Tidak berlebihan. Berbagai tokoh pergerakan, meski dengan aliran yang berbeda, sering bertemu di situ. Sukarno bisa menemukan Ki Hadjar Dewantoro, penggagas gerakan pendidikan Taman Siswa dan satu dari "Tiga Serangkai" pendiri Indische Partij—partai radikal pertama yang menyerukan kemerdekaan Indonesia secara tuntas dari Belanda. Dari Ki Hadjar, Sukarno menyerap bagaimana menyatukan pandangan Barat dengan pandangan tradisional Jawa. Di rumah itu pula Sukarno berkenalan dengan Hendrik Sneevliet (pendiri Indische Sociaal Democraticshe Vereeniging, leluhur Partai Komunis Indonesia) dan Alimin ("orang yang memperkenalkan saya pada Marxisme").

Islam dan Marxisme menjadi dua arus ideologi yang dominan dalam perlawanan terhadap penjajah kala itu. Tak jarang seorang tokoh pergerakan waktu itu menjadi pengurus Sarekat Islam dan ISDV sekaligus, seperti Semaun, misalnya. Namun, kendati kedua aliran memandang kolonial Belanda sebagai musuh bersama ("Kristen bagi Islam" dan "kapitalis-imperialistis bagi Marxis"), dua-duanya sendiri kelak akan terbukti dan tak terjembatani.

Sukarno berkenalan dengan arus ketiga yang lebih memukaunya, "nasionalisme". Ketika kuliah di Technische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung) beberapa tahun kemudian, dia bertemu dengan Ernest F.E. Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo—dua keping lain dari "Tiga Serangkai". Khususnya dari Douwes Dekker, Sukarno menyerap gagasan nasionalisme sekuler, yang menolak dasar Islam dan realisme-sosial komunis sekaligus, serta memimpikan sebuah negara merdeka tempat manusia dengan ras berbeda, aliran berbeda, terikat kesetiaan pada satu tanah air.

Debut politik pertama Sukarno adalah ikut mendirikan Klub Studi Umum di Bandung pada 1926, sebuah klub diskusi yang berubah jadi gerakan politik radikal belakangan. Namanya kian menjulang ketika setahun kemudian dia menulis rangkaian artikel berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme dalam Indonesia Moeda—penerbitan milik Klub. Di situ, Sukarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis, dalam perlawanan tanpa-kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.

Gagasan Sukarno di situ bukan yang pertama dan tidak sepenuhnya orisinal. Tokoh Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, Mohammad Hatta, telah sejak 1923 mengumandangkan pentingnya persatuan dan muskilnya kerja sama dengan pemerintah kolonial.

Namun, peran Sukarno tak bisa dikecilkan. Jasa terbesarnya adalah menyerap apa yang dikemukakan Hatta, membuat sintesis darinya dan menerjemahkan ke dalam bahasa yang lebih mudah diserap massa. Ditambah daya magis orasinya, Sukarno memperoleh audiens serta dampak yang lebih luas—lebih dari yang bisa diharapkan Hatta, tapi sekaligus membuatnya miris.

Dengan kata-katanya, Sukarno menjembatani dan menyatukan berbagai elemen yang berbeda serta memberi mereka sebuah kebersamaan identitas. Dengan itu, Sukarno berjasa mengilhami Sumpah Pemuda 1928 dan secara brilian merumuskan dasar negara Pancasila.

Sukarno menjadi personifikasi "satu Indonesia" secara tak terbantah kala itu. Dia menjadi pusat perhatian dalam rapat-rapat umum—di atas podium, di tengah massa yang riuh. Di atas panggung, dia memukau audiens, dan audiens sebaliknya memukau dia dengan tepuk tangan yang kian lama kian memabukkan.

Dia memang pada dasarnya terpesona oleh elemen drama dalam sejarah—oleh unsur romantis dalam biografi George Washington, Garibaldi, dan Abraham Lincoln. Romantisme Sukarno diperkuat oleh cerita-cerita perwayangan—epik Mahabharata dan Ramayana—yang dia kenal sejak kecil dan menjadi medium komunikasinya yang pa-ling efektif dengan khalayak. Dia menyamakan dirinya dengan ksatria Pandawa dalam Perang Bharata Yudha-nya melawan kolonialis Belanda.

Namanya sendiri dipetik dari dunia wayang. Dalam autobiografi yang dituturkan kepada Cindy Adams, dengan antusias Sukarno bercerita tentang asal-muasal namanya. Dia terlahir sebagai Kusno, yang sakit-sakitan. Sesuai dengan kepercayaan Jawa, ayahnya harus memberinya nama baru untuk mengusir penyakitnya. Kusno menjadi Karno, nama ksatria Pandawa—seorang "pejuang bagi negaranya" dan "patriot yang saleh".

Menyusupkan unsur dramatik dan magis, Sukarno tak lupa menambahkan
bahwa Karno juga berarti "telinga". Syahdan, Dewi Kunti, ibunya, mengandung Karno dalam keadaan perawan. "Awan berahi" Batara Surya-lah, dewa matahari, yang membuatnya hamil. Musyawarah para dewa memutuskan Karno dilahirkan melalui telinga agar tidak merusak keperawanan Kunti.

Namun, tokoh favorit Sukarno dari dunia perwayangan adalah Bima—nama samaran yang sering dia pakai dalam tulisan-tulisannya. Bima adalah anomali di antara para ksatria Pandawa yang bertutur kata halus. Dengan suara baritonnya yang berat, Bima selalu memakai bahasa kasar, Jawa ngoko, bahkan jika bicara dengan para dewa—sebuah isyarat ketidaksopanan, tapi juga keberanian, pemberontakan pada feodalisme, dan ajakan pada egalitarianisme.

Di atas panggung, "Bima" membuat panas kuping pemerintah Hindia Belanda dengan agitasinya, dengan teriakan "Indonesia"-nya, dan dengan lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan mengawali rapat-rapat akbarnya.

Sukarno ditangkap 1930. Namun, persidangannya menjadi pentas lain yang tak kalah dramatisnya. Dia tampil dengan pidato pembelaan yang gemilang, "Indonesia Menggugat", yang dibacakannya selama dua hari berturut-turut. Seperti Hatta di Den Haag pada 1928, pleidoi Sukarno di pengadilan Bandung itu adalah manifesto politiknya, yang ditujukan terutama kepada pendengar di luar sidang.

Belanda menghukumnya secara keras: Sukarno dijatuhi hukuman empat tahun, meski akhirnya diperingan menjadi satu tahun. Keluar dari Penjara Sukamiskin, Bandung, dia dihormati lebih dari sebelumnya—sebagai seorang ksatria yang keluar dari pertapaan dan memperoleh kesaktian lebih besar.

Namun, pamornya justru segera redup seiring mengerasnya tekanan pemerintah Hindia Belanda dan kesulitannya untuk kembali menyatukan berbagai kelompok pergerakan. Bahkan hubungannya dengan Hatta tak terjembatani, meski hanya karena perbedaan taktik. Hatta lebih ingin menggugah kesadaran nasional lewat pendidikan politik secara radikal, lewat partai kader, dengan anggota yang militan, untuk menciptakan "beribu-ribu, bahkan berjuta-juta Sukarno". Dia mengkritik Sukarno, yang cenderung hanya mengumpulkan kerumunan dengan satu Sukarno di tengahnya.

Bagi Sukarno, sebaliknya, kata-kata diperlukan untuk mengilhami tindakan, energi besar meraih kemerdekaan. Sukarno bukan pengagum Hitler, bahkan membencinya, tapi dia mengingat kata-kata Hitler dengan baik: "Gross sein heissat Massen bewegen kõnnen." (Besarlah seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak.)

Hatta terbukti terlalu meremehkan betapa luas dan mendalam pengaruh Sukarno, dan betapa kuat personifikasi Sukarno atas rakyat jajahan. Pada 1940-an, Sukarno menjadi wakil Indonesia secara tak terelakkan ketika Jepang harus melakukan tawar-menawar dengan tanah jajahan baru. Dan selebihnya tak terhindarkan: sejarah memilihnya menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia.

Bagi Sukarno, sejarah tidak memilihnya secara kebetulan. Mengenang ke
belakang, lewat autobiografinya, ia bercerita bagaimana ibunya memangku bayi Sukarno yang berumur dua tahun, menghadap ke timur, dan ketika fajar merekah meramalkannya kelak menjadi pemimpin besar. "Sukarno, Putra Sang Fajar".

Sukarno memang merasa terlahir sebagai pemimpin, dan bertindak secara sadar untuk meraih takdirnya. Namun, pada 1933, dia barangkali tidak bisa seyakin seperti itu. Ditangkap untuk kedua kali, Sukarno mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda: dia meminta maaf dan berjanji akan menghentikan aktivitas politiknya sama sekali. Kesendiriannya dalam Penjara Sukamiskin tampaknya menjadi pengalaman traumatis.

Keaslian surat maaf itu masih menjadi perdebatan para sejarawan hingga kini. Tapi, dalam pengasingan di Ende (1934-1938), Sukarno tampak benar-benar sudah memutuskan sebuah karir baru. Tidak politik, tapi tetap berbau panggung. Dia menulis 12 cerita sandiwara, salah satunya berjudul Dr. Setan, yang diilhami oleh Frankenstein. Dia juga mendirikan Perkumpulan Sandiwara Kalimutu—dari nama danau terkenal di pulau itu—membuat reklame sendiri untuk pertunjukannya, merancang kostum, dan menggambar dekor.

Karir politik Sukarno sepertinya akan habis di situ. Tapi sejarah ternyata
menikung ke arah lain. Kekalahan Belanda dari Jepang mengembalikan impian besarnya. Dia kembali tampil ke panggung, tapi dengan sejumlah pandangan yang sudah direvisi. Berkeyakinan besar bahwa Jepang akhirnya akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, Sukarno menanggalkan sikap nonkooperasi serta mendukung rezim fasistik itu dengan sikap pragmatis yang mencengangkan, bahkan menggetirkan.

Mengerahkan keterampilan klasiknya berpidato, Sukarno membujuk puluhan ribu pemuda untuk bergabung dalam barisan romusha, yang dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Banyak dari mereka tidak pernah pulang.

Dia memang mengaku remuk hati mengenang itu. "Akulah orangnya. Akulah yang menyuruh mereka berlayar menuju kematian." Tapi, setelah tarikan nafas lainnya, dia mengatakan: "Dalam setiap peperangan ada korban. Tugas seorang panglima adalah memenangi perang. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan."

Episode itu bisa menjadi bahan perdebatan moral tiada habis. Namun, Sukarno tidak sendirian. Apa gerangan yang dipikirkan Harry Truman setelah menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, membunuh ratusan ribu orang tapi pada saat yang sama menghentikan Perang Asia Pasifik?

Para pemuda romusha pastilah pahlawan sejati kemerdekaan Indonesia, yang pada akhirnya mempersembahkan panggung lebih besar bagi Sukarno.

Bersama Hatta di sampingnya, Sukarno menghadapi masa-masa awal kemerdekaan yang sulit. Namun, keduanya sukses menangkis tantangan serius dari dalam negeri—keresahan, bahkan pemberontakan, di berbagai daerah. Juga dari luar—agresi ataupun ketatnya diplomasi dengan Belanda. Keduanya memang bisa berbuat banyak jika bekerja sama. Hatta memerlukan kehangatan dan kemampuan Sukarno untuk berkomunikasi dengan massa orang Jawa. Sukarno mengambil keuntungan dari disiplin, integritas, dan keterampilan Hatta di bidang ekonomi. Tapi semua tak berlangsung terlalu lama.

Tahun 1959 menandai awal kejatuhan Sukarno—tahun yang secara ironis disebutnya sebagai "Tahun Penemuan Kembali Revolusi Kita".

"Saya merasa seperti Dante dalam Divine Commedia," katanya dalam pidato kemerdekaan 17 Agustus tahun itu. "Saya merasa bahwa revolusi kita telah menderita semua jenis penderitaan inferno! Dan kini, dengan kembalinya kita ke Konstitusi 1945, kita menjalani pemurnian (untuk) masuk surga!"

Pada 5 Juli, Sukarno mengeluarkan dekrit presiden yang terkenal. Tak sabar menyaksikan eksperimen demokrasi parlementer yang penuh kisruh, Sukarno membubarkan Konstituante—dewan perwakilan rakyat hasil pemilu demokratis 1955. Dia mengubur tuntas "setan sistem multipartai yang menjerumuskan kita ke neraka" dengan meniadakan partai sama sekali. Dia mempro-klamasikan Demokrasi Terpimpin.

Jika yang diinginkannya adalah suasana harmoni tanpa konflik, Demokrasi Terpimpin jelas memenuhi obsesi besar Sukarno akan "persatuan dan kesatuan". Tapi itu jelas pula bukan demokrasi. Sukarno menyusun kabinet sendiri, menunjuk perdana menteri, dan mengangkat semua anggota parlemen.

Dengan kekuasaannya yang tiada terbatas, dia kini leluasa mengayuh roda revolusi. "Revolusi belum usai." Pidatonya tetap menggelegar. Panggung kian gemerlap. Tapi kampanyenya untuk merebut Irian Barat, konfrontasinya dengan Malaysia, dan pemberontakannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa makin menjauhkannya dari bisa memahami masalah sebenarnya yang dihadapi negerinya. Sukarno "Singa Podium" berubah menjadi demagog dengan slogan-slogan kosong.

Dalam situasi normal, obsesinya terhadap monumen, gedung, dan patung-patung raksasa—yang kini menghiasi sudut-sudut kota Jakarta—harus diakui merupakan wujud selera tingginya terhadap seni. Tapi itu merupakan ironi besar di tengah kesulitan ekonomi yang menggigit kala itu, kelaparan di berbagai tempat, inflasi yang meroket ratusan persen.

Dia juga makin agresif terhadap lawan-lawan politiknya, menanggalkan citranya sendiri sebagai Sukarno sang penyatu. Dia memberangus pers dan memenjarakan para pengkritiknya—termasuk Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama, yang kemudian meninggal secara tragis dalam status sebagai tahanan.

Watak pemerintahannya yang monolitik menjatuhkannya ke dalam simbol feodalisme Jawa, yang dulu ia kecam. Seperti raja-raja Jawa di masa silam, dan Soeharto yang menggantikannya kelak, dia memanipulasi simbol-simbol tradisi, mencitrakan diri memiliki aura kekuasaan supranatural, menikmati diri dikelilingi para adipati yang terlibat intrik politik istana, serta memanfaatkan konflik itu untuk menunjukkan diri sebagai kekuatan yang tak terhindarkan, satu-satunya dan selama-lamanya. Jika bisa.

Setelah partai-partai Islam praktis tersingkir, Sukarno mencoba berdiri di tengah menjaga kesimbangan yang rawan antara tentara (yang sejak 1950-an menjadi haus politik) di satu sisi dan Partai Komunis Indonesia di sisi yang lain. Dia gagal kali ini. Di bawah bayang-bayang ketegangan Perang Dingin global dan tekanan krisis ekonomi domestik, Sukarno terbakar di tengah-tengah persaingan dua kubu, dalam sebuah drama paling berdarah 1965.

Sukarno barangkali adalah contoh klasik yang tragis: seorang pemimpin idealistis yang dirusak oleh kekuasaan dan dikhianati oleh kebanggaan dirinya yang terlalu besar.

Lahir di bawah rasi bintang Gemini, Sukarno memang manusia penuh paradoks, seperti dikatakannya sendiri. "Gemini adalah lambang kekembaran; dua sifat yang berlawanan." Dia idealistis sekaligus pragmatis. Pemberang sekaligus pemaaf. Ekspresi kata-katanya kasar, tapi dia menyukai seni dan keindahan yang halus. Dan di balik penampilannya yang sangat percaya diri, langkahnya yang tegap, suaranya yang mengguntur, Sukarno adalah pribadi yang rapuh.

Sukarno bermimpi menjadi Hercules seperti yang digambarkan dalam sebuah plakat pada dinding Istana Bogor: bayi Hercules dalam pangkuan ibunya, dikelilingi empat belas bidadari cantik—semuanya telanjang. "Cobalah bayangkan betapa bahagianya dilahirkan di tengah empat belas wanita cantik seperti ini." Keperkasaan Hercules menuntut kasih sayang, haus kelembutan.

Sebagai orang yang percaya bisa memindahkan gunung dengan kata-kata, Sukarno membutuhkan dukungan total dari lingkungannya: cinta, pujian, dan penerimaan, jika bukan tepuk tangan. Di masa kecil, dia memperolehnya dari Sarinah, pembantu rumah tangga yang namanya kemudian dia abadikan dalam judul sebuah bukunya dan pada sebuah toko serba ada di Jalan Thamrin, Jakarta.

Dan ketika dewasa, Sukarno memperoleh tenaga Hercules-nya dari Inggit Garnasih, janda dengan usia selosin tahun lebih tua yang dikawininya di Bandung pada 1923. Inggit menjadi sumber semangat yang menyala dan ia menemaninya di masa-masa sulit. Tanpa Inggit, Sukarno barangkali benar-benar habis setelah ditahan di Penjara Sukamiskin dan diasingkan ke Ende. Kesendirian akan mudah membunuhnya. Ketika mengantarkan buku biografi Inggit, Kuantar ke Gerbang, sejarawan S.I. Poeradisastra melukiskan paradoks Sukarno yang lain: dia bisa tampak seperkasa Herakles, tapi juga serapuh "Hamlet yang tercabik-cabik dalam kebimbangan".

Sayang, Inggit tak bisa memberinya anak. Banyak orang masih mafhum ketika Sukarno kemudian berpaling pada Fatmawati. Namun, ketika atletisme seksualnya justru kian menjadi-jadi setelah perkawinannya dengan Hartini—wanita keempat dalam hidup pribadinya—orang melihatnya secara lain. Gelar internasionalnya sebagai "Le Grand Seducteur" mengundang kekaguman, tapi sekaligus membenamkannya lebih jauh. Alih-alih menunjukkan kejantanan, obsesi itu membuka kedok dari ketakutannya, dari perasaan tidak amannya. Sukarno seperti ingin memaksakan diri menunjukkan potensinya di tengah kemampuan politiknya yang kian merosot.

Tragis. Namun, fakta bahwa banyak wanita memang ingin dijamahnya, seperti juga banyak politisi menghamba dalam Demokrasi Terpimpin-nya, bahkan kemudian membolehkannya menjadi presiden seumur hidup, menunjukkan Sukarno tidak sendiri dalam cacatnya—dia manusia tak sempurna dalam dunia tak sempurna.

Hatta, seorang pengkritiknya yang paling keras, punya penilaian yang lebih adil terhadapnya. Sukarno, tulis Hatta suatu ketika, adalah kebalikan dari tokoh Memphistopheles dalam Faust-nya Goethe. "Tujuan Sukarno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya sering menjauhkannya dari tujuan itu." Tapi, Sukarno punya ungkapan sendiri untuk meringkaskan hidupnya. "Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai wanita, dia mencintai seni, dan—melebihi segalanya—dia cinta kepada dirinya sendiri."

(Disadur dari berbagai sumber)