Rabu, 01 Agustus 2012

Bung Karno, Pemersatu Bangsa dan Obor Perjuangan Rakyat

BUNG KARNO PEMERSATU BANGSA DAN OBOR PERJUANGAN RAKYAT

(Oleh :A. Umar Said)

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (1)

(Sebagai ganti kata pengantar : Mengapa Bung Karno perlu “diangkat” kembali pada tempatnya yang semestinya? Apakah ada gunanya bagi bangsa kita, dewasa ini dan juga untuk selanjutnya, mengenang kembali dan mempelajari segala persoalan yang bekaitan dengannya? Apakah artinya Bung Karno bagi perjuangan bangsa Indonesia? Apakah ajaran-ajaran Bung Karno masih perlu dijadikan bahan pemikiran? Apakah Bung Karno itu berhaluan “kiri”? Mengapa Bung Karno mencetuskan gagasan NAS-A-KOM? Mengapa Bung Karno telah digulingkan dari kedudukannya sebagai presiden? Marhaenisme itu sebenarnya apa? Mengapa Bung Karno dimusuhi oleh kekuatan-kekuatan pro-imperialisme dan kolonialisme? Apa sajakah akibat digulingkannya Bung Karno bagi kehidupan bangsa dan negara kita? Mengapa Bung Karno dicintai rakyat? Di mana sajakah perbedaan antara Bung Karno dan Suharto?)

Dalam rangka peringatan 100 Tahun Bung Karno, yang akan dirayakan dalam bulan Juni yad, akhir-akhir ini telah mulai bermunculan di berbagai tempat di negeri kita beraneka ragam Panitia atau Komite yang sudah mulai mengadakan kegiatan-kegiatan untuk menyambut peristiwa penting ini. Tulisan-tulisan sudah mulai muncul dan ceramah atau diskusi juga sudah mulai diadakan, dan, menurut informasi dari banyak fihak, berbagai acara juga sedang dipersiapkan. Ini semua merupakan pertanda yang baik, terutama kalau dihubungkan dengan situasi negeri kita akhir-akhir ini.

Kalau kita renungkan dalam-dalam dan dengan fikiran jernih pula, maka kita bisa melihat betapa pentingnya bagi bangsa kita, sekarang ini, menggunakan kesempatan ini untuk - secara bersama-sama - mengkaji kembali peran Bung Karno dalam sejarah bangsa Indonesia, perjuangannya, dan juga sumbangan dan jasa-jasanya yang besar bagi lahirnya Republik Indonesia.

Pada dewasa ini, menelaah kembali sejarah dan perjuangan Bung Karno, dan mencoba mendalami ajaran-ajarannya atau berusaha menghayati cita-citanya serta berbagai konsepsinya bisalah merupakan sumbangan untuk bisa melihat, dengan gamblang sekali, betapa jauhnya perbedaan antara Bung Karno dengan “pemimpin-pemimpin” kita dewasa ini. Perbedaan ini nampak jelas sekali dalam kebesaran gagasan-gagasannya mengenai persatuan bangsa, dalam keagungan kecintaannya kepada negara dan revolusi, dalam kecermelangan fikirannya sehingga bangsa Indonesia menjadi terhormat di pergaulan internasional antara bangsa-bangsa, dan dalam ketulusannya mengabdi kepada rakyat.

Apakah itu semuanya diketahui oleh generasi muda negeri kita dewasa ini ? Dan kalaupun mereka ketahui, sampai di manakah mereka bisa memahaminya atau menghayatinya? Bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang pernah ikut berjuang secara aktif dalam membela kepentingan rakyat dan Republik Indonesia sampai tahun 1965, adalah satu hal yang jelas: Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa, tokoh pemersatu rakyat yang terdiri dari berbagai suku dan keturunan, yang tinggal dari Sabang sampai Merauke.

Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia, adalah seorang yang pernah menjadikan nama negerinya begitu harum di kalangan rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin. Bung Karno adalah seorang pemimpin rakyat, yang pernah membikin orang Indonesia menjadi bangga atas ke-Indonesiaannya. Ini berbeda dengan pengalaman banyak orang selama puluhan tahun belakangan ini, yang merasa malu menjadi bangsa Indonesia, berhubung banyaknya hujatan dunia internasional terhadap berbagai praktek buruk rezim Orde Baru/Golkar. Bagi mereka yang pernah berkecimpung secara aktif dan luas di pergaulan internasional, jelaslah bahwa revolusi Indonesia dan Bung Karnonya pernah menjadi sumber inspirasi bagi bangsa-bangsa lainnya, terutama yang waktu itu sedang berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sekarang ini, kita sama-sama merasakan bahwa persatuan bangsa sedang dicabik-cabik oleh berbagai rasa permusuhan antar-golongan, antar-etnis, antar-agama, dan sedang terancam oleh bahaya separatisme. Sejak puluhan tahun, negeri kita telah terpuruk namanya di dunia internasional oleh karena korupsi yang merajalela di seluruh bidang kehidupan dan pelanggaran HAM secara besar-besaran (yang merupakan akibat-akibat serius politik Orde Baru/Golkar selama puluhan tahun dan yang sekarang diwariskan kepada kita semua!!!). Mengingat itu semuanya, maka perlu sekalilah kita sadari bersama bahwa segala macam usaha untuk mengenang dan mempelajari kembali gagasan-gagasan Bung Karno mempunyai arti yang penting sekali bagi bangsa kita dewasa ini.

KITA HARUS BERANI BICARA TENTANG BUNG KARNO

Mengingat pentingnya kedudukan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka agaknya sudah tepatlah bahwa berbagai panitia atau forum (atau segala macam badan lainnya) telah dan sedang mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati 100 Tahun Bung Karno. Makin banyak jumlahnya, makin banyak ragam kegiatannya, makin luas pesertanya, dan makin banyak persoalan yang diangkatnya, maka itu semua akan membikin makin besarnya sumbangan kepada pendidikan politik (dan moral!) bagi bangsa. Terutama kepada generasi muda kita dewasa ini, dan juga kepada generasi yang akan datang.

Sesudah jatuhnya Orde Baru (betul, memang belum 100%!), adalah kewajiban kita bersama untuk mengangkat kembali Bung Karno kepada tempatnya yang layak, atau yang semestinya, sebagai pelopor kemerdekaan, dan sebagai pemimpin besar bangsa. Mendudukkan kembali Bung Karno pada tempat yang sesuai dengan haknya yang sah adalah perlu sekali. Sebab, sudah selama lebih dari 32 tahun namanya telah dicemarkan, penyebaran fikiran-fikirannya dipersulit, sejarahnya dipotong-potong oleh rezim Orde Baru/Golkar. Kasarnya, sejarah Bung Karno beserta ajaran-ajarannya (dan jasa-jasanya) telah diusahakan “dikubur” selama itu.

Pengalaman selama lebih dari 32 tahun Orde Baru/Golkar (harap diperhatikan bahwa kedua kata itu disini dijadikan satu!) membuktikan bahwa Orde Baru/Golkar pada hakekatnya, atau pada dasarnya, telah menjadikan Bung Karno sebagai musuh politiknya. Dan ini wajar. Sebab, kalau menelaah kembali latar belakang peristiwa 1965, dan juga sejarah berdirinya Orde Baru/Golkar, maka jelaslah bahwa sejak itulah muncul permusuhan atau perbenturan antara politik Bung Karno dan para pendiri rezim Orde Baru/Golkar. Bahkan, sejak jauh sebelumnya. (Tentang soal ini, bisa ditulis lain kali).

Oleh karena itulah, maka, sekarang ini, bagi semua kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi, perlu sekali untuk makin berani berbicara tentang Bung Karno dan berusaha mengangkatnya kembali pada tempatnya yang selayaknya. Tugas ini adalah tugas besar kita semuanya, tanpa memandang sekat-sekat agama, suku atau grup etnis, ras, ideologi, atau komponen masyarakat. Bung Karno adalah milik bangsa, dan bukan hanya milik segolongan atau beberapa golongan saja.

Di bawah kepemimpinan Bung Karno, rakyat Indonesia pernah secara gemilang dipersatukan dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional dan juga dalam mendirikan negara Republik Indonesia (sampai 1965). Di bawah kepemimpinannya, kerukunan berbagai suku, agama, dan golongan-golongan dalam masyarakat, nampak sekalilah bedanya dengan apa yang terjadi sekarang ini. Di bawah kepemimpinannya, terasa benar bagi rakyat Indonesia betapa besar artinya lambang Bhinnkeka Tunggal Ika, betapa mendalamnya penghayatan sumpah Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Juga selama kepemimpinannyalah, Pancasila betul-betul menjadi pedoman politik, ekonomi, sosial, dan moral bagi bangsa kita secara keseluruhan.

SEGI POSITIF AJARAN/POLTIK BUNG KARNO

Mengingat itu semuanya, maka makin terasalah betapa pentingnya, dewasa ini, ketika bangsa dan negara kita seperti kehilangan arah, atau seperti kebingungan dalam mencari pegangan, untuk mengenang kembali sejarah, jasa-jasa, dan ajaran-ajaran Bung Karno. Dengan bersama-sama mengungkapkan sebanyak mungkin, dan juga seluas mungkin, berbagai aspek yang berkaitan dengan Bung Karno, maka akan nyatalah bahwa apa yang terjadi sejak digulingkannya dari kedudukannya sebagai presiden/kepala negara, maka perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur telah mengalami kemunduran-kemunduran yang besar atau dahsyat sekali.

Wajarlah kiranya, bahwa dalam usaha bersama kita untuk mendudukkan kembali Bung Karno pada tempat yang selayaknya dalam sejarah bangsa Indonesia, terdengar suara-suara atau pendapat-pendapat yang serba negatif, yang datang dari fihak-fihak yang selama ini memang menentang politik Bung Karno, atau dari fihak-fihak yang mendukung Orde Baru/Golkar. Dan, wajar jugalah kiranya, bahwa muncul juga pendapat yang yang kritis terhadap kesalahan atau kekurangan Bung Karno, tanpa menghilangkan jasa-jasanya yang besar kepada bangsa dan tanpa membuang ajaran-ajarannya yang positif.

Dalam rangka Peringatan 100 Tahun Bung Karno, itu semua akan berguna bagi pendidikan politik bangsa, baik yang generasi kita sekarang maupun generasi kita yang akan datang. Tetapi, perlulah agaknya dimengerti juga, bahwa dalam rangka berbagai kegiatan “Peringatan” ini banyak orang menggunakan kesempatan ini untuk mengangkat berbagai aspek sejarah dan ajaran-ajaran positif Bung Karno. Menyebarluaskan segi-segi positif fikiran atau ajaran Bung Karno adalah benar, dan juga perlu!. Apalagi, kalau mengingat situasi negeri kita dewasa ini (!!!), maka makin terasalah bahwa mengangkat kembali kebesaran fikiran-fikirannya akan merupakan sumbangan penting untuk memperkaya pandangan banyak orang dalam menghadapi berbagai persoalan pelik dewasa ini...

Setelah sama-sama mengalami sendiri politik rezim Orde Baru/Golkar selama puluhan tahun, maka kita semuanya melihat bahwa politik Bung Karno di berbagai bidang adalah sama sekali bertolak belakang dengan politik Orde Baru/Golkar. Dan sebagai hasilnya, kita lihatlah sekarang ini betapa hebatnya kebobrokan moral (yang parah sekali), yang termanifestasikan dalam kerusakan-kerusakan serius di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, yang diwariskan oleh rezim Suharto dkk. Kebobrokan moral yang parah ini, terutama sekali, telah melanda kalangan atas dan menengah bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif. Kalau kita renungkan dalam-dalam, maka akan nyata bahwa kebobrokan moral inilah salah satu di antara sumber-sumber banyaknya persoalan rumit dewasa ini.

BUNG KARNO DICINTAI RAKYAT

Sejarah telah mencatat bahwa rakyat Indonesia memang mencintai dan mengagumi Bung Karno ketika beliau masih hidup (harap perhatian, bahwa di bagian ini kata “beliau” memang sengaja dipakai). Bahkan, sesudah beliau sudah wafat pun (21 Juni 1970) rakyat masih tetap menunjukkan kecintaan atau penghargaan terhadap beliau. Ini kelihatan dari begitu banyaknya orang yang menjenguk jenazah beliau di Jakarta dan juga ketika beliau dimakamkan di Blitar. Padahal, waktu itu beliau sudah dikucilkan dari kehidupan politik. Bukan saja beliau sudah digulingkan oleh para pendiri rezim Orde Baru, bahkan juga disiksa secara mental. Kampanye (terbuka dan terselubung) untuk de-Sukarnoisasi sudah dilancarkan secara intensif dan luas.

Kampanye de-Sukarnoisasi yang berjalan selama 30 tahun memang luar biasa dampaknya!. Orde Baru telah menggunakan segala cara (indoktrinasi, manipulasi fakta sejarah, intimidasi secara halus, dan segala bentuk rekayasa lainnya) untuk menghancurkan pengaruh ajaran-ajaran dan berbagai konsepsi politik Bung Karno. Ini bisa dimengerti. Sebab, para pendiri Orde Baru/Golkar memang berkepentingan sekali terhadap hilangnya Sukarno-isme dari bumi Indonesia. Sebagai halnya dengan komunisme, nyatalah bahwa Sukarnoisme telah dianggap sebagai bahaya besar bagi kelangsungan hidup Orde Baru/Golkar.

Dampak yang besar kampanye de-Sukarnoissasi itu kelihatan dari hilangnya buku-buku yang berisi ajaran-ajaran beliau dari toko-toko buku, atau dari ketakutannya banyak orang untuk memasang gambar Bung Karno di rumah-rumah penduduk. Dalam jangka lama, banyak sekali orang yang hanya berani berbisik-bisik antara teman, kalau berbicara tentang Bung Karno. Kata-kata Marhaeinisme, gotong-royong, revolusi, ekonomi berdikari, sosialisme kerakyatan Indonesia, makin lama makin menghilang dari percakapan sehari-hari. Anak-anak muda yang belajar sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi mengenal nama Sukarno secara terbatas sekali, dan itupun sering diiringi oleh penjabaran yang bernuansa negatif. Sebab, buku-buku sekolah tentang pelajaran sejarah telah “digiring” ke arah de-Sukarnoisasi.

Memang, karena terpaksa, atau karena karena perhitungan politis, atau juga sekedar sebagai “pupur” (atau karena “gabungan” itu semua!!!) rezim Orde Baru telah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno. Makam beliau di Blitar pun telah dibangun dengan tanda peringatan yang mencantumkan nama Suharto. Dan, yang juga menyolok adalah penamaan bandar-udara Cengkareng dengan nama Bandar Udara Sukarno-Hatta. Di samping itu, dalam setiap upacara hari proklamasi 17 Agustus putera-puteri Bung Karno juga diundang untuk menghadirinya. Tetapi, itu semua tidak bisa membantah kenyataan sejarah lainnya bahwa Orde Baru/Golkar telah “meng-kudeta” bung Karno dan sekaligus juga membunuh ajaran-ajaran beliau.

Namun, berbagai kenyataan menunjukkan bahwa kecintaan rakyat terhadap Bung Karno tidak gampang ditumpas begitu saja. Selama puluhan tahun, makam Bung Karno di Blitar selalu dikunjungi oleh banyak orang, yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, lapangan profesional, atau keyakinan politik. Kemenangan PDI-P dalam pemilihan umum tahun 1999 ada juga kaitannya dengan faktor kecintaan rakyat kepada Bung Karno, yang dimanifestasikan dengan memilih fihak Megawati Sukarnoputri. Sekarang ini foto-foto Bung Karno dijual di mana-mana dan juga kembali menghiasi dinding banyak rumah penduduk

SEMEN PERSATUAN DAN OBOR SEMANGAT PERJUANGAN

Sampai menjelang akhir hidupnya, Bung Karno adalah semen persatuan bangsa, yang terdiri dari begitu banyak suku, agama, asal keturunan, dan adat-istiadat. Kemudian, kita menyaksikan bahwa sejak hilangnya Bung Karno, maka Indonesia seolah-olah kehilangan semen yang bisa memperkokoh rasa persatuan dan kerukunan bangsa ini. Agaknya, tidak perlulah direntang-panjangkan lagi di sini, bahwa “persatuan” atau “kesatuan” yang pernah dibangga-banggakan selama puluhan oleh Orde Baru/Golkar adalah sebenarnya persatuan yang semu dan kesatuan yang rapuh. Persatuan bangsa dan kesatuan negara di bawah Orde Baru/Golkar adalah persatuan yang dipaksakan oleh ujung bayonet. Tegasnya, adalah sebenarnya hanya persatuan semu dan kesatuan palsu yang dibangun atas bangkai jutaan manusia yang tidak bersalah.

Kalau kolonialisme Belanda pernah berhasil memecah-mecah bangsa dan negara dengan mendirikan negara-negara boneka (negara Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Indonesia Timur) dan berbagai “daerah otonom” (Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah) maka melalui perjuangan nasional di bawah pimpinan Bung Karno, pada akhirnya seluruh negeri dapat dipersatukan –dengan perasaan kerukunan dan jalan damai - dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi, semangat persatuan dan kesatuan ini telah dirusak oleh berbagai kesalahan politik rezim Orde Baru/Golkar selama puluhan tahun, sehingga bangsa dan negara kita dewasa ini menghadapi berbagai persoalan rumit dan parah, yang menimbulkan bahaya disintegrasi.

Selama hidupnya, Bung Karno adalah obor semangat kerakyatan dan inspirator perjuangan bangsa. Bukan saja peran ini telah dimainkan olehnya sejak ia masih muda sebelum Perang Dunia ke-II, atau selama revolusi 45, melainkan juga sampai terjadinya peristiwa 1965. Di bawah kepemimpinannya, terasa sekalilah pada waktu itu bahwa di mana-mana berkobar semangat revolusioner dan patriotisme di kalangan rakyat untuk menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme beserta kaki-tangan mereka di dalamnegeri. Semangat persatuan rakyat demi mempertahankan kedaulatan negara ini nampak nyata sekali ketika terjadi peristiwa-peristiwa Andi Azis (Makasar) dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA, Bandung) dalam tahun 1950, yang kemudian disusul oleh pembrontakan RMS (1950-1963), pembrontakan DI-TII (sampai akhir 1962), PRRI-Permesta (1958).

Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa, yang telah dengan gemilang dapat berkali-kali menyelamatkan Republik Indonesia dari berbagai gangguan serius dan bahaya perpecahan. Justru karena keberhasilannya itulah, maka kemudian musuh-musuh politiknya, baik yang datang dari dalamnegeri maupun luarnegeri, makin bertekad untuk melenyapkannya dari pucuk pimpinan negara dan bangsa. Dan, seperti kita sudah ketahui bersama, peristiwa 30 September 1965 (tepatnya : 1 Oktober pagi) adalah permulaan dari serentetan perkembangan yang kemudian menyeret negeri kita Indonesia memasuki masa gelapnya yang panjang.

(Tulisan pertama habis di sini).

14 November 2000