Rabu, 15 Agustus 2012

Mengapa Kita Harus Mengenang Bung Karno

MENGAPA BUNG KARNO PERLU KITA KENANG

KEMBALI DEWASA INI

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO

P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.

Peringatan Seabad HUT Bung Karno makin mendekat juga! Sekarang ini, kita semua masih belum bisa meramalkan bagaimana situasi negara dan bangsa kita, ketika hari yang bersejarah itu diperingati nantinya. Sebab, ketika tulisan ini dibuat, suasana di negeri kita sedang diliputi oleh pertentangan sengit antara berbagai golongan politik dan permusuhan tajam antara beraneka-ragam kelompok suku dan agama. Para anggota DPR dari berbagai fraksi atau partai politik mengeluarkan ucapan-ucapan yang mencerminkan betapa rusaknya moral politik di kalangan “elite”, sedangkan di kalangan eksekutif juga banyak hal yang dipersoalkan oleh opini publik. Di kalangan judikatif, sisa-sisa kerusakan berat yang dibuat oleh Orde Baru masih terus merupakan halangan besar ditrapkannya hukum. Hiruk-pikuk sekitar perlu dijatuhkannya Presiden Abdurahman Wahid atau tidak, telah membuka tabir bahwa masih banyak sekali tokoh-tokoh berbagai golongan yang dihinggapi penyakit-peyakit parah yang diwariskan oleh Orde Baru.

Begitu hebatnya kekacauan yang yang disebabkan oleh pertarungan di antara beraneka-ragam golongan dan kalangan “elite” itu, sehingga banyak orang bertanya-tanya mengapa keadaan yang begitu parah ini bisa terjadi. Sebagian orang membandingkan dengan situasi di bawah kepemimpinan Bung Karno, baik selama sebelum kemerdekaan, selama revolusi 1945-1949, maupun setelah Bung Karno menjadi kepala negara sampai 1965. Pada waktu itu, tidak pernah terjadi permusuhan antar-golongan dan antar-agama yang begitu hebat seperti sekarang ini. Bagi mereka yang pernah mengalami zaman kepemimpinan Bung Karno (yang jumlahnya masih banyak, walaupun kebanyakan sudah menginjak usia lanjut) masih terkenang betapa bersatunya rakyat dan bangsa menghadapi berbagai kesulitan, termasuk dalam menghadapi musuh-musuh dalamnegeri maupun luarnegeri waktu itu.

Semangat perjuangan dan persatuan rakyat yang dibangun oleh Bung Karno dkk sejak zaman kolonialisme Belanda, dapat terus berkobar selama puluhan tahun. Semangat berbakti kepada kepentingan rakyat, dan semangat bersedia berkorban demi kepentingan tanahair tetap terus menyala di bawah kepemimpinannya. Seluruh bangsa yang terdiri dari banyak suku merasa satu dalam perjuangan, dan semangat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan bersama bukanlah omongkosong saja. Semangat gotong-royong dalam menghadapi berbagai kesukaran bangsa menjadi ciri utama pada periode itu. Kemewahan kebendaaan bukanlah menjadi kebanggaan yang utama di kalangan masyarakat. Korupsi adalah dianggap noda besar bagi opini publik. Jarang ada pejabat yang jadi penjahat.

Banyak orang yang masih ingat, bahwa walaupun kehidupan waktu itu sulit (yang disebabkan oleh berbagai faktor dalamnegeri dan intervensi subversif kekuatan asing), tetapi rakyat merasa satu dengan kepemimpinan nasional Bung Karno. Karena, baik Bung Karno sendiri maupun banyak pendukung-pendukung politiknya mengutamakan kepentingan rakyat, tidak elitis, tidak korup, tidak mengejar kemewahan bagi pribadi mereka masing-masing.

BEDANYA DENGAN ZAMAN ORDE BARUNYA SUHARTO DKK

Ketika kita sekarang ini dihadapkan kepada begitu banyak persoalan rumit, yang merupakan reruntuhan atau puing-puing kebobrokan yang ditinggalkan Orde Baru, maka nampak sekalilah perbedaan besar antara zaman kepemimpinan Bung Karno dan sesudahnya. Yang amat menyolok adalah perbedaan besar di bidang sikap mental atau kehidupan moral para “tokoh” di berbagai kalangan (yang kemudian juga berdampak besar kepada kehidupan masyarakat). Kerusakan moral besar-besaran dan parah inilah merupakan salah satu di antara sejumlah sumber utama bagi timbulnya berbagai persoalan besar yang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini. Sekarang, makin banyak orang yang yakin bahwa Orde Baru telah membuat berbagai kesalahan parah di banyak bidang, tetapi, masih banyak orang yang tidak melihat bahwa kerusakan yang paling besar yang dibuat oleh Orde Baru adalah justru adalah di bidang moral ini.

Mohon, marilah, dengan hati jernih, bersama-sama kita renungkan tentang besarnya kerusakan moral di negeri kita, yang sekedar contohnya adalah antara lain sebagai berikut:

- Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa keluarga Presiden Suharto telah menjadi pusat KKN yang besar-besaran, berjangka-lama, dan bercabang-cabang seperti gurita. KKN keluarga Suharto telah menyeret sederetan panjang sekali nama-nama penting tokoh-tokoh Orde Baru/GOLKAR, baik di bidang eksekutif, legislaif dan judikatif maupun konglomerat hitam. Bahwa kepala negara telah terjerumus – selama tempo begitu lama pula! - dalam lembah yang begitu hina dan kotor, adalah merupakan noda besar dan bangsa. Alangkah besar beda sejarah hidup Bung Karno dengan sejarah hidup Suharto dkk.

- Kerusakan moral keluarga Suharto, telah mengakibatkan kerusakan moral besar-besaran juga di seluruh jajaran kekuasaannya. Tidak salahlah kalau opini dunia memandang Orde Baru adalah sistem politik (atau sistem pemerintahan) yang luar biasa korupnya, dan bahkan menduduki tempat yang paling buruk dalam daftar korupsi di dunia. Betapa tidak! Kalau Mahkamah Agung, pengadilan negeri, kejaksaan, kepolisian dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang menjadi penjahat atau maling, maka pastilah hukum tidak bisa ditrapkan dengan baik. Kalau para pegawai negeri yang penting-penting sudah menjadi pemeras atau penipu rakyat (dalam segala bentuk dan cara), maka pantaslah kalau banyak kalangan masyarakat pun ikut-ikutan merusak kepentingan negara. Alangkah besarnya perbedaan dengan sikap aparat negara di zaman kepemimpinan Bung Karno, ketika rasa pengabdian kepada kepentingan rakyat terasa menonjol sekali waktu itu.

- Di zaman kepemimpinan Bung Karno, jarang sekali terdengar adanya pertikaian antar-suku, atau permusuhan antar-agama, atau perbenturan politik yang mengambil proporsi, bentuk atau skala seperti yang terjadi dewasa ini. Pertikaian dan permusuhan saling bunuh yang memakan korban puluhan ribu jiwa di berbagai daerah dewasa ini, dan terjadinya pengungsian penduduk sampai satu juta orang di seluruh Indonesia, adalah suatu fenomena tentang kemunduran besar dalam peradaban bangsa. Artinya, kerusakan moral yang parah sekali. Sebabnya, adalah karena Orde Baru tidak memberikan pendidikan moral toleransi dan kerukunan kepada bangsa, bahkan sebaliknya, merusaknya!

- Alangkah menyedihkannya, bahwa semangat perjuangan dan pengabdian kepada rakyat yang telah dibangun oleh perintis-perintis kemerdekaan sejak Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Sumpah Pemuda dstnya, telah “dimatikan” selama Orde Baru. Alangkah besarnya kerugian bagi bangsa bahwa apa yang telah dirajut oleh Bung Karno sejak tahun 1926 sudah dirusak oleh Suharto dkk. Dan, alangkah besarnya pula dosa para pendiri Orde Baru/GOLKAR, karena apa yang sudah dikerjakan oleh Bung Karno sebagai Kepala Negara dan pemimpin bangsa selama 20 tahun (antara 1945 sampai 1965) telah diporak-perandakan oleh Orde Baru/GOLKAR selama 32 tahun. Sebagai akibatnya, adalah situasi yang seperti kita saksikan bersama dewasa ini.

KEAGUNGAN KEPEMIMPINAN BUNG KARNO MAKIN TERASA

Sekarang, setelah bangsa kita mengalami masa Orde Baru dan sedang mewarisi segala akibat buruk sistemnya, terasa sekali betapa besarnya keagungan kepemimpinan Bung Karno dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya selama ini. Ia besar bukan karena diagung-agungkan oleh para pengagumnya secara artisifial (buatan). Ia betul-betul besar, berkat kepribadiannya yang memang besar, berkat ajaran-ajarannya yang cemerlang baik mengenai masalah-masalah dalamnegeri, maupun yang berkaitan dengan masalah-masalah internasional pada zamannya. Ia dicintai rakyat dan dihormati di luarnegeri, karena gagasan-gagasannya, karena perjuangannya, karena pengabdiannya kepada bangsa.

Sekarang, setelah bangsa kita dihadapkan kepada begitu banyaknya kerusakan-kerusakan parah yang disebabkan oleh peninggalan masa gelap Orde Baru, nyata sekalilah kebenaran berbagai ajaran Bung Karno tentang beraneka-ragam persoalan negara dan bangsa. Dengan membalik-balik lagi buku-buku yang berisi karya-karyanya (yang asli), maka kelihatan memancar kembali keagungan pemikiran-pemikirannya. Bukan hanya yang terungkap dalam Indonesia Menggugat”, atau dalam “Lahirnya Pancasila” saja, melainkan juga yang dituangkannya dalam teks pidato-pidatonya setiap tanggal 17 Agustus. Manifesto politik (Manipol) Bung Karno dalam tahun 1959 adalah satu rentetan berbagai gagasan-gagasannya yang besar untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa dan negara waktu itu, baik secara nasional maupun internasional (mohon baca kembali : Dibawah Bendera Revolusi, jilid dua).

Sekarang, setelah jutaan orang yang tidak bersalah telah dibunuh secara sewenang-wenang dalam tahun 1965/1966 oleh tindakan-tindakan para pendiri Orde Baru/GOLKAR dan juga pemenjaraan ratusan ribu orang tidak bersalah lainnya (harap catat : tanpa pengadilan!), maka terasa menjulang tinggi pulalah keagungan kenegarawanan Bung Karno. Patut sekali kita catat bersama, bahwa di bawah kepemimpinannya, para pendukung atau simpatisan pembrontakan RMS, Kahar Muzakkar, Andi Azis, DI-TII, PRRI-Permesta tidak mengalami perlakuan sekejam yang dialami oleh orang-orang (yang tidak bersalah apapun!) yang dituduh atau dicap sembarangan sebagai “terindikasi” tersangkut G-30S. Hanya sejumlah kecil pentolan-pentolan atau gembong-gembong gerakan-gerakan pembrontakan itulah yang dijatuhi hukuman setimpal atau menurut hukum. Dan ketika Masyumi dan PSI dinyatakan dilarang pun, maka anggota-anggotanya juga tidak dipersekusi seperti yang dialami para anggota atau simpatisan PKI. Padahal, sejarah sudah membuktikan bahwa pembrontakan PRRI-Permesta (yang mendirikan pemerintahan tandingan, dengan bantuan CIA) telah melakukan pengkhianatan terhadap Republik Indonesia secara besar-besaran.

100 TAHUN UNTUK BAYAR UTANG LUAR NEGERI

Sekarang, ketika banyak tokoh-tokoh Orde Baru/GOLKAR satu per satu mulai antri dalam deretan orang-orang yang harus diperiksa kejahatan mereka karena menjadi maling kekayaan negara dan rakyat, maka juga nyata sekalilah betapa besar kerusakan moral di kalangan “elite” yang telah menyeret negara dan rakyat dalam jurang krisis ekonomi yang berkepanjangan dan parah sekali dewasa ini.

Banyak pakar ekonomi Indonesia (dan asing) meramalkan bahwa kesulitan ekonomi Indonesia tidak akan mudah dipecahkan dengan segera. Bahkan ada pakar-pakar yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan waktu sekitar 100 tahun guna mengembalikan utang luarnegeri yang dewasa ini mencapai sekitar 145 milyar dolar AS (bulan April 2001), atau setiap penduduk mendapat beban utang Rp 10,5 juta. Luar biasa! Utang luarnegeri tidak mendatangkan keuntungan bagi rakyat banyak. Utang luarnegeri yang sebesar itu hanya menguntungkan sejumlah konglomerat hitam dan pejabat-pejabat korup yang tidak bermoral. Adalah ketidak-adilan yang keterlaluan, kalau rakyat (dan generasi yang akan datang) harus menanggung beban begitu berat, sedangkan utang yang begitu besar itu hanyalah menguntungkan sejumlah kecil orang-orang yang mempersetankan kepentingan negara dan bangsa.

Karena itu, baik juga kita renungkan hal yang berikut : Ketika Bung Karno digulingkan, utang luarnegeri pemerintah RI adalah sekitar 2 milyar dolar AS. Itu pun sebagian terbesar adalah untuk membiayai perlengkapan angkatan perang, dan pengeluaran-pengeluaran yang ada sangkut-pautnya dengan konfrontasi Malaysia dan pembebasan Irian Barat. Jadi, utang itu tidak disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kriminal atau tidak bermoral seperti halnya yang dilakukan para “tokoh-tokoh” Orde Baru (baik sipil maupun militer, termasuk para konglomerat hitam).

Selama puluhan tahun banyak tokoh Orde Baru/GOLKAR telah menikmati (melalui berbagai cara yang tidak sah) utang luarnegeri Republik Indonesia itu. Cerita tentang adanya “kebocoran” dana untuk anggaran pembangunan sebesar 30% setiap tahun sudah berkali-kali kita dengar selama ini. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela selama Orde Baru adalah sudah sedemikian parahnya sehingga sampai sekarang pun masih sulit untuk diberantas dengan cepat dan secara tuntas. Kasus BLBI, kasus Bank Bali, kasus “larinya” Tommy, hiruk-pikuk tentang Ginanjar dan Prayogo Pangestu, di “Nusakambangkan”-nya Bob Hasan hanyalah secuwil saja dari segunung masalah KKN yang perlu dibongkar terus.

Masalah korupsi berhubungan erat dengan masalah moral, sedangkan moral punya pengaruh juga terhadap kehidupan politik. Korupsi dan kerusakan moral politik inilah yang dewasa ini terasa sekali sedang melanda kalangan “elite” negeri kita, yang termanifestasi, antara lain, dalam hiruk-pikuk tentang perlunya Presiden Abdurahman Wahid turun dari kedudukannya sebagai kepala negara. Sejarah telah mulai membuktikan, bahwa para pendukung setia Orde Baru adalah pada hakekatnya, atau pada intinya, golongan yang tidak mungkin akan mendatangkan kebaikan apa pun bagi bangsa dan negara. Bahkan, sebaliknya. Tentang hal ini, perkembangan situasi di kemudian hari pastilah akan membuktikannya lebih jelas lagi.

HIDUPKAN KEMBALI AJARAN-AJARAN BUNG KARNO!

Kita semua selama ini telah menyaksikan bahwa sesudah Bung Karno digulingkan, ternyata para pendiri Orde Baru/GOLKAR (dan juga pendukung-pendukung setianya), tidak mampu menyajikan kepada bangsa kita konsep-konsep besar di bidang pembangunan bangsa (nation building) dan juga pendidikan watak bangsa (character building). Bahkan, gagasan-gagasan besar Bung Karno dalam bidang ini telah diusahakan untuk dimatikan. Padahal justru bidang inilah yang sejak puluhan tahun telah diusahakannya dengan susah payah, termasuk dengan darah dan air-mata oleh para perintis kemerdekaan lainnya.

Ini wajar, sebab Orde Baru/GOLKAR yang dibangun dengan dasar-dasar moral yang tidak luhur, tentu saja tidak mungkin melahirkan konsep-konsep besar mengenai bangsa. Kalaupun sejumlah konsep di di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan telah diciptakan selama Orde Baru, maka ternyata dalam praktek bahwa konsep-konsep itu hanya bertujuan untuk memperkokoh sistem kekuasaan otoriter, dan bukan demi kepentingan rakyat banyak. (Untuk sekedar menyegarkan ingatan kita bersama: Secara terus-menerus pernah dikumandangkan semboyan-semboyan bagus seperti : Trilogi Pembangunan, Delapan Jalur Pemerataan, membudayakan ideologi Pancasila, Eka Prasetya Pancakarsa, mentrapkan “Demokrasi Pancasila secara konsekwen” dan segala macam semboyan atau berbagai “gerakan” lainnya).

Tetapi, pengalaman selama puluhan telah membuktikan bahwa Orde Baru bukan saja telah mengebiri Pancasila, melainkan juga telah menyalahgunakannya untuk melakukan praktek-praktek yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa atau tujuan Pancasila. Apa yang dilakukan oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun adalah bertolak-belakang dengan konsep-konsep besar Bung Karno. Kalau kita baca kembali pidato-pidato Bung Karno, antara lain : “Jalannya revolusi kita” (Jarek), “Revolusi-Sosialisme Indonesia –Pimpinan Nasional” (Resopim), “Tahun Kemenangan” (Takem), “Genta Suara Republik Indonesia” (Gesuri), “Tahun Vivere Pericoloso” (Tavip), maka jelaslah bahwa Orde Baru telah menentang ajaran-ajaran Bung Karno.

Kalau diperas, atau dirumuskan secara tajam, maka bisalah kiranya dikatakan bahwa dengan menentang ajaran-ajaran Bung Karno ini, pada hakekatnya Orde Baru telah mengkhianati kepentingan rakyat dan bangsa. Apa yang sedang disaksikan oleh bangsa kita dewasa ini adalah bukti-bukti nyata dari akibat parah pengkhianatan ini.

Oleh karena itulah, ketika sekarang ini bangsa dan negara kita sedang kehilangan pedoman, dan sedang menghadapi kekosongan kepemimpinan moral, maka perlu sekali ajaran-ajaran besar Bung Karno diangkat atau dikenang kembali. Ketika banyak orang di negeri kita sedang bingung atau putus asa menghadapi situasi yang penuh pertentangan (agama, suku, ras, golongan politik dll) maka “jiwa” atau “saripati” ajaran Bung Karno masih tetap berguna untuk dipakai sebagai pegangan bersama.

Ajaran-ajaran Bung Karno berguna untuk direnungkan bersama dimana-mana, baik di Poso, Sampit, Bengkulu, Payakumbuh, Meulaboh, Medan, Banyuwangi, Purwokerto, Garut, maupun di Menado atau di tempat-tempat lainnya. Mengenang kembali dan menghayati sejarah perjuangan Bung Karno adalah salah satu cara bagi bangsa kita untuk menemukan kembali jalan yang benar.

Paris, 30 April 2001