Senin, 09 April 2012

Detik-Detik Menjelang Kepergian Soekarno

Jakarta , Selasa, 16 Juni 1970.

Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi.

Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik

strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan

berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran

parkir. Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus

mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari

rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.



Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat

sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di

pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang

hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu

tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya

kian menggerogoti kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan dan

berwibawa dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad,

sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup.



Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah

membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya

bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu

mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau,

kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar.

Menahan sakit.

Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini

tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.



Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu. Dua hari kemudian, Megawati, anak

sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya.

Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya,

kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke

telinga manusia yang

paling dicintainya ini.





"Pak,Pak,iniEgaâ?¦" .Senyap.



Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir

Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin

mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui

kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya

bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi

tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai.

Soekarno terdiam lagi.



Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang

sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu

menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati

menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam terus bergerak.

Di luar kamar, sepasukan tentara terus

berjaga lengkap dengan senjata.



Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara

hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya. Keesokan

hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega

lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan

Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil

dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak

terperi, Soekarno berkata lemah.



"Hatta.., kau di sini..?".



Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau

kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam

kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar.

Sedikit tersenyum menghibur.



"Ya, bagaimana keadaanmu, No?" . Hatta menyapanya dengan sebutan yang

digunakannya di masa lalu.Tangannya memegang lembut tangan Soekarno.

Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang

sangat dihormatinya ini.



Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya

dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika

mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal. "Hoe gaat het met jouâ?¦?" Bagaimana

keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.



Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di

depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak

lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga

tumpah. Hatta ikut menangis.



Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah

takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat

dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya

siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa

dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.



"Noâ?¦"



Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan

lebih. bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya

terguncang-guncang. Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa

baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik

antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali

tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus. Hatta masih

memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.



Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka. Sisa waktu bagi

Soekarno kian tipis. Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno

yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi

membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini

menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan

puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit.

Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.



Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter

kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang

paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai

seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan

lama lagi.



Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi

Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan

kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian

tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu

terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua

matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak

bergerak lagi. Kini untuk selamanya sang Proklamator telah pergi. Situasi

di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara

burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang

begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan. Dunia melepas salah seorang

pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi

banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang

manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu

satu abad. Manusia itu kini telah tiada.



Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter

kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi:

Soekarno telah berpulang ke pangkuan sang pencipta