Senin, 21 Mei 2012

BBM 1

Artikel 3 Bulan yg lalu di Kompasiana
Baru-baru ini penulis mendapatkan Pesan pendek yang terdiri 3 bagian tentang keluhan masyarakat “pedalaman” yang keberatan dengan aksi penolakan BBM oleh Mahasiswa. Keluhan yang menjadi pesan berantai tersebut cukup menggugah, sedikitnya bagi masyarakat awam di daerah terpencil kenaikan harga BBM tidak begitu dipermasalahkan, tapi memiliki satu syarat yang mutlak, yaitu ketersediaan BBM itu sendiri untuk kebutuhan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM menimbulkan Pro dan Kontra, bagi masyarakat menengah (tidak keatas maupun kebawah) kenaikan BBM dianggap biasa-biasa saja, namun bagi masyarakat menengah ke Bawah kenaikan bbm akan memiliki dampak yang cukup besar bagi perekonomian keluarga, Seorang Ibu Penjual Lontong Sayur, tentu akan sangat keberatan untuk menaikan harga sebesar Rp. 1.000,- per porsi, selain bersiap kehilangan pelanggan, bisa juga bersiap kehilangan mata pencaharian satu-satunya, karena Konsumen akan lebih memilih menerikkan Ikat Pinggang dari pada berbelanja ala kadarnya. Lagi-lagi sekelompok corong keagamaan akan menyejukkan rohani dengan kampanye, “rezeki gak akan lari kemana”.
Sebelum mengupas dampak perekonomian yang dirasakan oleh Masyarakat, mari kita membuka mata sejenak kepada masyarakat yang hidup dengan membeli BBM Rp. 8.000- Rp.10.000 per liternya. Masyarakat yang membeli BBM dengan harga tersebut pada umumnya bertempat tinggal jauh dari Ibu Kota Kabupaten atau bahkan Ibu Kota Provinsi. Disini penulis mengambil pemandangan sehari-hari di Provinsi Kalimantan Barat.
Pontianak yang merupakan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat merupakan kota dengan pemandangan sehari-hari antre minyak, jauh sebelum Pemerintah SBY mewacanakan ke Publik tentang Kenaikan Minyak. Kalau sudah menjelang senja, Antrian Panjang Solar Bersubsidi menghiasi ruas-ruas jalan yang memiliki SPBU. Kadang-kadang penulis cukup kasihan juga dengan para supir truk pengangkut sembako dan kebutuhan bagi masyarakat pedalaman yang menunggu giliran SPBU menyalurkan BBM Bersubsidi. Sempat sekali dua berbincang dengan para supir tersebut, kenapa rela antri berjam-jam di SPBU hanya untuk menunggukan BBM bersubsidi di buka, oleh para supir tersebut terdengarlah keluhan bahwa BBM untuk di daerah tidak bisa diharapkan kehadirannya 24 Jam non stop. Kalaupun mereka terpaksa membeli BBM di Kios-kios maka pendapatan harian akan berkurang dengan sendirinya, Bos hanya tau harga SPBU dan Assisten Bos yang cantik lulusan D3 sekretaris itu hanya mengetahui Bon atau kwitansi yang dikeluarkan oleh SPBU bukan oleh Kios.
Dari perbincangan tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa ketidaktersediaanya BBM di SPBU merupakan permasalah yang cukup Pelik. Masyarakat secara tidak langsung terdidik menjadi apatis terhadap kenaikan BBM. Dikemudian hari, sulitnya lapangan pekerjaan membuat Kios-kios bensin menjamur, kong kalikong antara Pengelola SPBU dan Pemilik Kios melahirkan perselingkuhan atas nama ekonomi, tak heran BBM di SPBU tak sampai 3 jam lamanya mengendap. Habis, seperti kacang goreng di Karnaval Malam.
Ketidaktersediaan BBM ini ternyata tidak diiringi dengan ketersediaan Kendaraan Bermotor, Kredit yang menjamur dan motor baru yang kinclong dapat dibawa pulang dengan uang muka yang rendah. Para Sales memberikan tawaran yang begitu menggiurkan, mulai dari nomor HP SPG nya, sampai hadiah Undian Blackberry. Kesemuanya demi memanjakan konsumen, lain halnya dengan BBM di SPBU, Pasti Pas hanya menjadi slogan Di Televisi maupun Spanduk depan SPBU itu sendiri, Penulis biasa menyebutnya PASTI PAS KOSONG.
Lambat laun pemikiran akan BBM yang berkecukupan pun menjadi lebih besar, terserah apakah Pertamina, Petronas, Shell atau apapun namanya yang memberikan kami BBM dengan mudah. Dan SPBU bukan hanya Tangki Besar kosong yang hanya beroperasi beberapa jam saja sehari.