Sabtu, 26 Maret 2011

Mengenal Tradisi Saprahan

Mengenal Tradisi Saprahan; Makan Dalam Kebersaman
Saf Lambangkan Strata Sosial Masyarakat

Pontianak,- SAPRAHAN adalah kata yang sudah tak asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, khususnya masyarakat Melayu Sambas, Mempawah dan Pontianak. Padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan, melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan duduk satu kebersamaan. Apa makna dari makan saprahan itu?

MASA kini, tradisi tersebut (makan saprahan) telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan. Dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis. Saling berbagi rasa tanpa berprasangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.

Tradisi ini sebenarnya penuh dengan syarat nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat. Namun kini telah bergeser dari acara sebenarnya. Jika dilihat masa kini, yang duduk di dalam satu majelis sudah tak bisa membedakan dan tak mengetahui posisi masing-masing menurut struktur sosial dalam masyarakat.

Hal ini semakin sumbang, jika yang saling berhadapan adalah bukan dari ahlul bait, namun juga bukan muhrimnya. Sehingga eksistensi nilai di dalam kebersamaan menjadi suasana yang berbeda. Bagi pria dan wanita, tentunya ada perbedaan di dalam majelis. Bagi bukan muhrim, dapat dilakukan secara bergantian, terkecuali dalam jamuan keluarga.

Namun di dalam masyarakat yang datang dari berbagai lapisan, harus dipahami. Kita harus berada dimana? “Pemisahan ini, bermakna bahwa di dalam tradisi Islam dilarang keras untuk duduk bersama yang bukan muhrim,” terang M.Natsir.S.Sos.M.Si, Peneliti Budaya pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Kembali pada persoalan pokok, bahwa yang disebut dengan seprahan adalah saf-saf atau baris-baris mereka yang duduk menghadap makanan.

Pada makanan ada juga yang dialas dengan kain putih maupun hijau yang membentang panjang. Juga ada yang ditumpuk pada satu talam. Panjang kain saprahan minimal 2 meter, ukuran dapat menampung 10 atau 5 orang yang saling berhadapan. Mereka yang berhadapan biasa disebut barisan atau saf yang resminya 3 saf. Saf-saf ini sebenarnya diatur menurut strata sosial dari para undangan, atau kedudukan mereka di masyarakat.

Natsir yang juga Staf Edukasi di Fisipol Jurusan Pariwisata, Universitas Tanjungpura, memaparkan, saf pertama biasanya mereka yang memiiiki kedudukan penting. Zaman dulu adalah diduduki oleh raja dan alim ulama, ditambah pembesar kerajaan. Masa sekarang saf tersebut bisa saja diperuntukan bagi pejabat.

Sementara pada saf kedua diduduki kaum kerabat terdekat, sedangkan pada saf ke-3 untuk masyarakat umum. Dalam tradisi saprahan ada yang unik, yakni tatacara atau tampilan hidangan yang berwarna seragam. Jika berwarna putih, Maka semua tempat diseragamkan dengan warna yang sama.

Biasanya tempat tersebut terbuat dari keramik atau alumunium putih dilengkapi dengan kain lap atau serbet. Hidangan ini dibawa kelompok atau grup pembawa saprahan dengan berpakaian seragam terdiri dari 3 atau 5 petugas juga memakai sarung tangan dan kaus kaki putih.

Berpakaian khas telok belanga berkain corak insang dengan sopan santun yang dijunjung tinggi. Untuk menerima tamu diperlukan kejelian bagi yang mendapat tugas tersebut. Bagaimana ketika mereka harus pandai memilih, siapa tamu yang datang dan harus ditempatkan pada saf yang mana, sesuai dari ketokohan dan strata sosial dari undangan yang datang.

Jika saf sudah penuh, maka dengan segera disiapkan hidangan di hadapan para undangan. Jumlah petugas yang telah ditentukan tak boleh diganggu orang lain. Mereka harus pandai meletakan dan menata lauk pauk serta hidangan. Letak mesti sejajar, seperti kepala ikan yang rnenghadap ketimur. Maka rangkaian makanan yang dijamu sernuanya diatur sama.

Jika ada yang berlawanan arah, rnaka akan menjadi sumbang, hilang kesan kebersamaan, keseragaman, serta kekompakan. Undangan jika melihat hal tersebut, sumbang, maka harus segera memberitahu dengan pengantar. Ini agar segera dibetulkan posisinya. Namun, semestinya yang ditugaskan harus jeli meletakannya.

Sementara ketika undangan sedang makan, sebagian mereka (petugas) harus hilir rnudik rnemperhatikan lauk-pauk yang ada di depan para undangan. Jika habis harus segera diganti dengan tatacara tertentu. "Jangan pernah sekalipun mengganti lauk yang habis dengan membawa makanan dari dapur kepiring di depan undangan, kemudian mernindahkan makanan tersebut ke dalam piring yang telah dipakai sebelumnya,” terang Natsir.



Kepala Paret



Natsir memaparkan lagi, tradisi makan saprahan ada istilah yang disebut dengan kepala paret. Kepala paret yang ditunjuk adalah yang duduk pada saf yang paling depan atau pada bagian atas. Kepala paret menentukan memulai acara makan maupun menutup acara makan. Ketika kepala paret rnemulai makan, barulah diikuti dengan yang lainnya. Begitu juga jika kepala paret mengakhiri, maka yang lain harus mengikuti.

Jika masih dilanjutkan yang lain maka dapat saja dia disebut dengan istilah “selak” atau “buaya”. Implementasinya adanya perasaan senasib, kebersamaan, sopan santun menghargai yang dituakan atau menghargai pemimpin. Karena pemimpin sudah menunjukan tatacara budi bahasa yang baik, penuh dengan kesopanan.

Adanya saling meghormati, memuliakan pemimpin. Artinya tamu tak boleh ada yang mendahului. Yang pasti, semakin sering duduk dan makan di dalam kebersamaan, maka semakin kental tali persaudaraan sesamanya masyarakat.

Pada zaman dahulu posisi kepala paret sudah pasti raja. Namun untuk saat ini, bisa saja yang diduduki para pejabat, atau mereka yang dituakan. Kepala paret memang betul-betul diistimewakan. Mereka dengan hidangan khusus, dalam penyajian dilengkapi dengan nampan berwarna emas, tempat cuci tangan dan lap tangan bersih. Memulai makanan maka ahlul bait (tuan rumah) mempersilakan dengan hormat kepada kepala paret untuk segera memulainya.



Disaji Tiga Gelombang



Tiga gelombang yang dimaksud adalah tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu majelis. Biasanya, ada kesepakatan dari ahli tuan rumah berupa nasi putih, sayur Ikan pedas, sambal belacan (sambal terasi), ayam, ikan asin, pisang raja atau pisang hijau. Bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal) dan buduk.

Seperti biasa jika kepala paret sudah selesai makan diikuti dengan yang lain dengan meletakan sendok dengan cara terbalik. Akan tetapi, umumnya dilakukan dengan menggunakan tangan, tanpa sendok.

Untuk acara kedua, dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang kedua, juga dengan kata-kata nenunggu gelombang kedua berupa hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi makjande. kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap.

Pada acara berikut dengan menunggu gelombang ketiga, hidangan yang dikeluarkan adalah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode, bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan.

Akhir acara kepala paret menunjuk seseorang untuk membaca Shalawat Nabi.

Dalam acara makan saprahan tak bisa dikerjakan sembarangan. Karena setiap tata cara rnengandung kearifan lokal dan penuh dengan nilai-nilai. Dalam hal ini, jika dihayati dan diambil arti dan maksudnya, maka akan lebih bermakna.

Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan saprahan, adalah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah. Jika ada yang bersin, maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan di hadapannya.

Menurut Natsir, secara teoritis, adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow, yakni rnenempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah sistem. Tidak ada batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan. Karena dalarn tradisi saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu, dan kadang tak terlepas dari tujuan adat. Tujuannya, bagaimana interaksi masyarakat untuk saling mengakrabkan diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta sesama warga.



Kebersamaan, Ketaatan dan Religius



Dari paparan di atas, dapat disarikan disini beberapa nilai yang terkandung dalam pelaksanaan acara makan saprahan, yakni nilai kebersamaan, nilai ketaatan dan nilai religius.

Nilai Kebersamaan. Pada dasarnya upacara saprahan itu sifatnya transparan. Diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar. Dengan mencerminkan rasa kebersaman dan kekompakan yang tinggi, dimulai dari awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.

Nilai Ketaatan. Nilai ini tercermin adanya dorongan dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun menurun sifatnya, khususnya acara saprahan. Adanya rasa rnenghormati pemimpin yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya, atau juga yang dianggap dituakan sangat dihormati. Ini merupakan manifestasi dari ketakwaan seorang insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadits, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasul} dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan, otomatis menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama ummat. Tradisi ini harus dapat dipertahankan, agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.

Nilai Religius. Dari pelaksanaan upacara saprahan dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT tak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca Shalawat kepada Nabi. Ini agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat dari musibah dan bencana.

Jadi dalam pelaksanaan acara saprahan dapat mengikat persatuan dan kesatuan, yang akhirnya dapat menumbuhkan identitas diri masyarakat yang bersangkutan. Terutama dari nilai kebersamaan, kegotong-royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut. Nilal-nilai tersebut dapat diaplikaslkan pada generasi muda melalui pendidikan non formal di rumah atau di lingkungan sosial maupun dalam pendidikan sekolah secara formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa, guna memupuk rasa kebersamaan antar warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.(**)

Mizar Bavario