Selasa, 29 Oktober 2013

Sekilas Hukum Pidana

Istilah Hukum Pidana
Istilah Hukum Pidana mengandung beberapa arti, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa Hukum Pidana itu dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu pertama dari sudut:
  • Hukum Pidana dalam arti obyektif
  • Hukum Pidana dalam arti subyektf
1. Hukum Pidana dalam arti obyektif
Hukum Pidana dalam arti obyektif juga disebut IUS POENALE, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusaan-keharusan dimana terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.
Ius Poenale dapat dibagi dalam  2 (dua ) macam :
Hukum Pidana Materiil (“Abstracto” ) berisikan peraturan-peraturan tentang :
  • Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (straibare feiten)
  • Siapa-siapa yang dapat dihukum, atau dengan perkataan lain yaitu mengatur pertanggungan jawab terhadap Hukum Pidana.
  • Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang juga disebut HUKUM PENETENTIAIR.
2. Hukum Pidana Formil (“Concreto”)
Hukum Pidana Formil yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman.

Hukum Pidana dalam arti subyektif
Hukum Pidana dalam arti subyektif disebut IUS PUNIEDI, yaitu :
Sejumlah peraturan yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Hak Negara untuk menghukum.
Hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan hukuman yang diselidiki oleh Negara. Ancaman hukuman ini misalnya terdapat didalam Pasal 362 K.U.H.P yang berbunyi :
Barang siapa mengambil barang, yang semuanya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh gulden.
Hak untuk menjatuhkan hukuman (strafoplegging). Hak ini diletakkan pada alat-alat perlengkapan Negara, misalnya Hakim.
Hak untuk melaksanakan hukuman (strafuitvoerving), yang juga diletakkan pada alat-alat perlengkapan Negara, misalnya A.O.M yang melaksanakan eksekusi hukuman.

Hubungan Hukum Pidana Subyektif dan Hukum Pidana Obyektif.
Hukum Pidana dalam arti subyektif, yaitu hak Negara untuk menghukum adalah bersandar pada Hukum Pidana dalam arti obyektif, yaitu bahwa hak untuk menghukum itu baru timbul setelah didalam Hukum Pidana obyektif ditentukan sejumlah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman.

Kodifikasi (pembukuan)
syarat-syaratnya:
  • Harus merupakan pengetahuan hukum yang tinggi
  • Kodifikasi itu harus mendapat dukungan dari masyarakat
Bahwa syarat-syarat itu merupakan syarat-syarat mutlak nampak dari kegagalan yang dialami oleh pemerintah Belanda dalam mengadakan :
Perubahan didalam B.W pada tahun 1938
Sungguhpun di negeri Belanda terdapat pengetahuan hukum yang tinggi, namun karena syarat-syarat seperti dalam sub b tidak terpenuhi, maka usaha menyelenggarakan perubahan-perubahan didalam B.W harus mengalami kegagalan.

Kodifikasi hukum adat di Indonesia
Juga usaha ini tidak memperoleh dukungan dari masyarakat hingga harus mengalami kegagalan juga.
Gedraging (tindak tanduk).
Oleh karena itu, lebih tepat jika dipakai istilah lain daripada “handeling” yaitu “gedraging” yang berarti sikap yang merupakan “een gesteldheid” (keadaan).
Diatas diterangkan bahwa “een handeling” dapat berarti “een doen” sebagaimana nampak dalam :
pasal 362 : pencurian “mengambil sesuatu”
pasal 338 : pembunuhan “ dengan menikam” akan tetapi dapat berarti “een nalaten”
pasal pasal 164 : melalaikan kewajiban untuk melaporkan
pasal 522 : melalaikan kewajiban untuk memenuhi panggilan pengadilan
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa “tindakan manusia” yang mempunyai “akibat aktif” atau “akibat pasif” dapat merupakan :

  • een bewuste handeling (tindakan dengan kesadaran)
  • een gewilde handeling (tindakan disertai dengan kemauan)
Sebagai contoh menselijke handeling yang bukan merupakan strafbaar feit adalah suatu handeling yang tidak bewust (tidak sadar); Contoh: dengan memegang tangannya, A memaksa B untuk memukul C. Dalam contoh ini B tidak dapat dihukum sebab perbuatannya itu tidak dilakukan dengan kehendak sendiri.

Rechtsbelang (kepentingan hukum)
Kepentingan hukum Yaitu tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga, agar supaya tidak dilanggar dan yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana Jerman kepentingan hukum ini disebut “Rechtsgut” dan yang dimaksud dengan kepentingan hukum itu adalah :
  1. Hak-hak (rechten)
  2. Hubungan (rechtsbetrekkingen)
  3. Keadaan (toestauden)
  4. Bangunan masyarakat (cociale instelingen)
Rechtsbelangen ini dapat kita bagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :
  1. Kepentingan perseorangan (individuele belangen)
  2. Kepentingan masyarakat (maatschappelijkebelangen)
  3. Kepentingan Negara (staatsbelangen)
Sekalipun dikenal 3 (tiga) macam kepentingan hukum, akan tetapi sebenarnya kepentingan hukum itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Ini disebabkan karena suatu kepentingan hukum baru dapat dianggap sebagai kepentingan perseorangan, bila kepentingan itu juga merupakan kepentingan masyarakat (het belang van het individu zal slechts als een rechtsbelang erkend worden, indien het tevens het belang van demaatschappij betekent).

Delict dari sudut unsurnya dibagi 2 :
Unsur-unsur yang obyektif
unsur-unsur yang terdapat diluar diri manusia:
  • Perbuatan/Tindak tanduk. 
  • Akibat tertentu (een bepaald gevolg)
  • Keadaan (omstandigheid)
Unsur-unsur yang subyektif
Termasuk “algememene leerstukken” unsur-unsur subyektif  :
  1. Toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggung-jawabkan).
  2. Schuld (kesalahan)
  3. Strafbaar feiten dibagi:  kejahatan dan pelanggaran. 
 sandaran pembedaan   :
  • RECHTSDELICTEN :    kejahatan
  • WETSDELICTEN :   pelanggaran
Jenis-jenis delict
Dalam ilmu pengetahuan Hukum Pidana itu adalah :
  1. FORMEEL DELICT (delict formil) disebut “Delict met formele omschrijving” (Delict dengan perumusan formil), yaitu  delict yang dianggap telah “voltooid” (sepenuhnya terlaksana) dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang.
  2. MATERIEEL DELICT (delict materiil) Jenis delict ini juga disebut “Delict met materieele omschrijving (delict dengan perumusan materieel) yaitu delict yang baru dianggap “voltooid met het intreden van het gevolg” (terlaksana penuh dengan timbulnya akibat) yang dilarang.
  3. COMMISSIE DELICTEN – DELICTA COMMISSIONES Adalah overtreding van een verbod atau pelanggaran terhadap sesuatu larangan (verbod) yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang terjadi karena melakukan sesuatu  (doen).
  4. COMISSIE DELICTEN – DELICTA COMMISSIONES Adalah pelanggaran terhadap suatu keharusan (gebod); terjadi karena dilalaikannya suatu perbuatan yang diharuskan, jadi : dari suatu kelalaian (uiteen nalaten).
  5. ONEIGENLYJKE COMMISIE DELICTEN – DELICTA COMMISSIONES  PER OMISSIONEM COMMISSA adalah kejahatan yang umumnya terjadi dengan dengan tiada dilakukannya suatu perbuatan.
  6. OPZETTELYRE OF DELEUSE DELICTE adalah Opzettelijke (dengan segaja) atau Doleuse delicten adalah delict yang mempunyai unsur sengaja
  7. CULPOSE DELICTEN Adalah delict yang mempunyai unsur culpa atau kesalahan (schuld). Contoh: Pasal 359 : pembunuhan karena kelalaian,  Pasal 188 : menimbulkan kebakaran
  8. SELFSTANDIGE DELICTEN  Adalah delict yang hanya terdiri atas satu perbuatan.
  9. VOORTGEZETTE  DELICTEN adalah delict-delict yang terdiri atas beberapa perbuatan yang mempunyai pertalian erat dengan perbuatan-perbuatan terdahulu, hingga harus dianggap sebagai satu perbuatan. Perbedaan antara zelfstandige dan voortgezette delicten ini berguna untuk menentukan ada tidaknya “samenloop” (kesejajaran, yang berjalan secara sejajar).
  10. ENKELVOUDIGE DELICTEN Adalah delict yang hanya terdiri atas perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja (enkelvoud = tunggal). Contoh: Pasal 480 : menyimpan barang curian.
  11. SAMENGESTELDE DELICTEN Adalah delict-delict yang terdiri atas beberapa jenis perbuatan.  (samenstellen = dijadikan satu) Contoh:  Pasal 481 : kebiasaan menyimpan barang-barang curian. Contoh ini juga disebut “GEWOONTE DELICT” (delict kebiasaan) yang mungkin dan biasanya dilakukan oleh tukang rombongan/loak. Pembedaan ini penting untuk suatu penyelidikan dan pengetahuan khusus perihal “samenloop” (kejahatan yang berjalan sejajar)
  12. KLACHTDELICTEN (Delict Pengaduan) Adalah delict yang hanya dituntut jika ada pengaduan (klancht)  Contoh:  Penghinaan dan sebagainya
  13. GEWONE DELICTEN (Delict Biasa) Adalah delict yang bukan delict pengaduan dan penuntutan tidak perlu adanya pengaduan.
  14. DELICT POLITIK Adalah delict yang tujuannya diarahkan terhadap keamanan negara dan terhadap Kepala Negara. Contohnya: Pemberontakan atau makar.
  15. DELICT COMMUNE Adalah delict yang ditujukan terhadap keamanan negara.

Penafsiran Undang-Undang Hukum Pidana 
Penafsiran Gramatika Bersandarkan pada arti dari kata-kata-tata bahasa yang dipergunakan sehari-hari
Penafsiran Logis Mencari hubungan antara undang-undang satu dengan undang-undang lainnya yang mempunyai keterkaitan.
Penafsiran Sistematik Mencari hubungan antara sebagaian dari undang-undang dengan undang yang sama
Penafsiran Historis Cara penafsiran ini dilakukan bersandar pada riwayat pembentukan undang-undang.  Dalam hal ini harus dipelajari segala bahan-bahan yang merupakan riwayat pembentukan undang-undang (de wordingsgeschiedenis van de wet). Bahan-bahan yang dimaksud itu antara lain.:

  1. Rencana undang-undang yang semula diajukan oleh Menteri yang bersangkutan.
  2. Memorie van toelichting
  3. Memorie van antwoord.
  4. Parlemensstukken
5. Penafsiran Analogis
Bila terdapat sesuatu hal yang diatur dengan tegas oleh sesuatu undang-undang dan kemudian terdapat lain hal, yang mempunyai sandaran dan sifat yang sama dengan hal yang diatur dengan tegas tadi, tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang, maka undang-undang yang mengatur hal secara tegas tadi boleh dipergunakan untuk hal yang tidak diatur itu, karena kedua hal itu adalah “analog”.
Cara yang demikian itu dapat dipergunakan oleh seluruh lapangan hukum, kecuali oleh lapangan pidana, oleh sebab penafsiran analogis tidak diperbolehkan dalam lapangan hukum pidana.
Dengan dipergunakannya penafsiran analogis ini, maka diperluaskan lapangan undang-undang.

6. Redenering A-Contrario
Cara ini adalah kebalikan daripada cara pada Sub 5, karena dengan mempergunakan cara ini, kita justru mempersempit lapangan undang-undang.  Keadaan ini kita jumpai, apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh undang-undang, akan tetapi disamping itu terdapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh undang-undang yang mengatur hal-hal tegas ini.

7. Penafsiran yang Entensip
Cara penafsiran ini adalah sama dengan apa yang diterangkan dalam Sub.5 dan juga bersifat memperluas undang-undang.

8. Penafsiran Terbatas
Ini kebalikan daripada Sub 7, jadi sama dengan Sub 6, yang mempersempit lapangan undang-undang
KUHP Pasal 1 ayat (1) : 
“Tidak ada perbuatan yang boleh dihukum, selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelum perbuatan itu terjadi.”
KUHP tidak dapat berlaku surut, ini berarti :
  • KUHP tidak berlaku surut adalah azas yang pertama.  Adapun rationya azas KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis.
  • KUHP harus bersumber kepada peraturan tertulis. 
Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat
Makna dari ajaran ini adalah:
Tentang ajaran ini pertama-tama perlu ditinjau maknanya.  Dapat dikatakan bahwa ajaran ini penting, karena dari ajaran ini dapat diketahui:
  1. Sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara.
  2. Bilamana negara berhak menuntut sesuatu    perbuatan dari seseorang yang merupakan kejahatan atau pelanggaran (het recht van vervolging van strafbare feiten).
 beberapa azas, yaitu:
a. Azas Territorial atau Azas Wilayah (Territorialiteits-of landsgebeidbeginsel)
Hukum pidana berlakunya undang-undang dari suatu negara disandarkan pada tempat territoir dimana perbuatan itu dilakukan, dan tempat dimana harus terletak di dalam wilayah, dalam mana undang-undang hukum pidana tadi berlaku.
Dari azas ini dapat diambil kesimpulan, bahwa azas ini khusus ditujukan terhadap tempat, dimana perbuatan dilakukan, sedang sifat orang yang melakukannya diabaikan.

b. Azas Nasionalitas Aktif Atau Azas Personalitas
Azas ini menentukan, bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana sesuatu negara disandarkan pada kewarganegaraan nasionalitasnya seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dan tidak pada tempatnya dimana perbuatan dilakukan, sebagaimana ditentukan dalam azas pada Sub a.
berarti, bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlukan terhadap seorang warga negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-undang, dan dalam pada itu tidak menjadi persoalan dimana perbuatan itu dilakukan.  Walaupun perbuatan itu dilakukannya di luar negara asalnya, undang-undang hukum pidana negaranya itu tetap berlaku terhadap dirinya.

c. Azas Nasionalitas Pasif atau Azas Perlindungan (Passieve Nasionaliteits of Personaiteits beginsel)
Berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara menurut azas ini disandarkan kepada kepentingan hukum rechtsbelang, (menurut Simons rechts goed) yang dilanggarnya.
Dengan demikian, maka apabila kepentingan hukum dari suatu negara, yang menganut azas ini dilanggar oleh orang asing dan pelanggaran mana dilakukannya baik di luar maupun di dalam negara yang menganut azas tadi, undang-undang hukum pidana negara itu dapat diperlakukan terhadap si pelanggar tadi.

d. Azas Universalitas
Hukum pidana dari sesuatu negara yang menganutnya dapat diperlakukan terhadap siapapun, yang melanggar kepentingan hukum dari seluruh dunia.
“Het wetboek van strafrecht voor Mederlands-Indie” yang kemudian diubah menjadi “Net Wetboek van strafrecht voor Indonesie” tetap berlaku di negara kita ini, dan dalam pada itu dapat diterangkan, bahwa KUHP itu menganut ke empat azas yang di terangkan di atas.
Azas “a” merupakan azas pokok, perlu diketahui bahwa azas “a” merupakan pokok, azas mana ditambahkan (aangevuld) dengan azas-azas “b”, “c”, dan “d”.
Azas territorial atau azas wilayah diatur di dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 2 :  Aturan pidana dalam undang-undang Republik Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Pasal 3 :  Aturan pidana dalam undang-undang Republik Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang diluar daerah Republik Indonesia, di dalam kapal atau perahu Republik Indonesia, melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

Azas Nasionalitas Aktif atau Azas Personalitas, diatur dalam azas sebagai berikut:
Pasal 5 : (1) Aturan pidana dalam undang-undang Republik Indonesia, berlaku terhadap warga negara Republik Indonesia yang berada di luar daerah Republik Indonesia yaitu:
Melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku ke dua, dan dalam pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
Melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh aturan pidana dalam undang-undang Republik Indonesia dipandang kejahatan dan dalam undang-undang negeri di tempat perbuatan itu dilakukan, ada hukumannya.
(2)          Kejahatan tersebut pada no.(1) bagain “b” itu boleh juga dituntut, jika si terdakwa menjadi warga negara Republik Indonesia sesudah melakukan perbuatan itu.
                 
iii. Azas Nasionalitas Pasif atau Azas Perlindungan (Passieve nationaliteits – of Beschermings beginsel)
Azas ketiga ini diatur dalam:
Pasal 4 : Aturan pidana dalam undang-undang Republik Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang bersalah di luar daerah Republik Indonesia.
iv. Azas Universalitas (Universaliteitsbeginsel)
Pasal 4 : Aturan pidana dalam undang-undang Republik Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang bersalah di luar daerah Republik Indonesia;
melakukan salah satu kejahatan yang tersebut pada pasal-pasal 438, 444 tentang bajak laut dan yang tersebut didalam pasal 447 tentang menyerahkan kapal/perahu kepada kekuasaan bajak laut.
melakukan kejahatan tentang mata uang kertas negara atau tentang materai atau merek yang dikeluarkan atau ditaruhkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
1e. Melakukan  salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-    pasal 104, 106, 107 dan 108, 110, 111 bis dan sub. 1, 127 dan 131.
3e. Memalsukan surat utang atau sertipikat utang yang ditanggung pemerintah Republik Indonesia, daerah atau sebagian daerah, memalsukan talon, surat keterangan dividend atau surat keterangan rente yang masuk surat-surat itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti itu, seakan-akan surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Pasal 8 : Aturan hukuman dalam undang-undang Republik Indonesia berlaku terhadap nakhoda dan orang yang berlayar dengan kapal (perahu) Republik Indonesia di luar daerah Republik Indonesia, juga pada mereka tidak ada di atas kapal (perahu), melakukan salah satu perbuatan yang boleh dihukum, yang tersebut dalam Bab. XXIX Buku kedua dan Bab. IX Buku ketiga, demikian pula yang tersebut dalam undang-undang umum tentang surat laut dan pas kapal di daerah Republik Indonesia dan yang tersebut dalam undang-undang kapal 1935.

AJARAN CAUSALITAS
Cause = Sebab (oorzaak)
Tujuan= Menentukan sebab-akibat  suatu tindak pidana
Manfaat causalitas terlihat jelas pada delict  
Materil karena akibat merupakan unsur.

TEORI CAUSALITAS
Conditio dine-qua non/Syarat Mutlak
(Equivalentie Theorie=Semua syarat bernilai sama)
(Von Buri)
“ Setiap Perbuatan merupakan sebab dari timbulnya akibat; apabila suatu perbuatan tidak dapat ditiadakan maka tidak akan tidak dapat ditiadakan timbul akibat”
(Setiap syarat dari akibat harus dianggap sebagai sebab dari akibat, shg tdk digunakan dalam Hukum Pidana)
Conditio dine-qua non + Schuldverband
(Van Hamel)

“Pertanggungjawaban seseorang harus ditentukan terhadap perbuatannya akan tetapi harus ada kesalahan (schuld)”
Berarti:
Ajaran Von Buri dibatasi dengan “Schuldleer”
Traeger:
Individualiserende Theorie
Genaeraliserende Theori

IT= Pencarian sebab setelah akibat timbul dengan menentukan keadaan yang kongkrit (satu Perbuatan = akibat)
GT= Pencarian sebab timbulnya akibat dari perhitungan yang umum digunakan; ukurannya yang bersifat abstrak
De Meets Werkzamew Factor
(Brickmayer = Penganut IT)

“Delunst Werkzamew Factor” (Faktor utama paling yang mempengaruhi timbulnya akibat)