Senin, 27 Desember 2010

PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT

Salah satu tujuan pembangunan adalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasi nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberi nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang.

Namun, dibalik tujuan ideal pembangunan tersebut, terdapat sebuah dilema dimana tujuan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik berdampingan dengan dampak-dampak negatif yang justru mengganggu kehidupan masyarakat. Hal ini karena pembangunan selalu mengakibatkan intervensi terhadap keseimbangan lingkungan yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan masalah-masalah sosial. Karena pembangunan selalu membawa dampak, maka penanganan dampak menjadi penting untuk meningkatkan efek positif dan meminimalisir bahkan menghilangkan dampak-dampak negatif. Rencana pembangunan yang menekankan pada perhitungan keuntungan ekonomi semata, tidak jarang menimbulkan ongkos sosial (social cost) yang dapat lebih mahal daripada manfaat ekonomi yang diperoleh.

Tergusurnya pemukiman rakyat kecil oleh pembangunan dan hilangnya hak atas pengolahan lahan, sedang mereka yang berada di sekitar proyek tidak banyak menikmati hasil pembangunan, merupakan salah satu sebab penting terjadinya kesenjangan yang makin lebar dan kecemburuan sosial yang makin meningkat. Kesenjangan yang makin meningkat antara satu kelompok dengan kelompok lainnya akan meningkatkan keresahan sosial sehingga gejolak sosial dengan mudah dapat terjadi. Pengelolaan dampak adalah upaya-upaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak besar dan penting lingkungan hidup yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Hadi (2005) mencoba memperlihatkan pada kita bahwa pengelolaan lingkungan hidup akibat pembangunan masih berorientasi pada pendekatan konvensional yang bersifat businees as usual seperti pemberian kompensasi, bantuan pada hari-hari besar atau bantuan lainnya yang menafikkan peran masyarakat dalam upaya pengelolaan lingkungan.
Menurut Hadi , Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no 14 tahun 1994, tentang Pedoman Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) hanya menyebutkan tiga pendekatan yang belum memuat pendekatan sosial di dalamnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan teknologi, pendekatan ekonomi dan pendekatan institusi yang seringkali hanya ditentukan oleh pemerintah dan pemilik modal tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat lokal sebagai masyarakat yang terkena dampak (affected people).

Kenapa pendekatan sosial penting dalam pengelolaan lingkungan ? Pendekatan sosial disini dimaksudkan sebagai pelibatan peran serta komunitas lokal dalam pengelolaan lingkungan. Begitu banyak kasus pencemaran terungkap karena peran masyarakat lokal seperti bencana Kali Sadang di Bekasi, kasus pencemaran Kali Sambong di Kabupaten Batang adalah beberapa contoh dimana peran penduduk lokal yang pertama kali mengetahui adanya pencemaran. Peran serta masyarakat lokal disebut oleh Arimbi dan Santosa (1993) sangat penting karena masyarakat adalah pakar lokal tentang lingkungannya dimana mereka tinggal.

Dalam kondisi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri, maka pelaksana pengelolaan lingkungan berwajah sosial adalah perusahaan. Hal ini diperkuat dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada pasal 5 huruf b yang menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dimana dalam pasal penjelasan dijabarkan yang dimaksud dengan tangung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Salah satu penerapan tanggung jawab sosial tersebut melalui pengembangan masyarakat ( ISO 26000 on Social Responsibility). Untuk membentuk sebuah pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat, dibutuhkan landasan berupa prinsip-prinsip pengembangan masyarakat. Jim Ife (2008) mengatakan, ada dua persfektif utama yang mesti diperhatikan yaitu persfektif ekologis dan persfektif keadilan sosial. Persfektif ekologis tersebut terkait dengan bagaimana proses pembangunan proyek dapat berlangsung secara berkelanjutan, namun di sisi lain tetap memerhatikan keseimbangan ekologis/kelestarian lingkungan. Prinsip-prinsip yang melandasi persfektif ekologis adalah pembangunan terintegrasi, keberlanjutan, keseimbangan dan keragaman. Sementara persfektif keadilan sosial terkait dengan bagaimana pembangunan tersebut dapat menghilangkan ketimpangan struktural yang terjadi dalam masyarakat. Prinsip yang mesti diperhatikan meliputi prinsip hak azasi manusia, pemberdayaan, partisipasi, mementingkan proses, kerja sama, menghargai sumber daya lokal

Hal ini menjadi menarik, karena selama ini penyelesaian masalah-masalah dalam pembangunan selalu didominasi oleh aktor-aktor di luar masyarakat setempat tanpa memperhatikan keterlibatan mereka dalam menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah pembangunan yang ada di sekitar mereka. Prinsip pengembangan masyarakat kemudian menjadi dasar dari upaya pengelolaan lingkungan. Prinsip partisipasi memberikan penekanan bahwa sejak fase rencana pembangunan, masyarakat lokal dilibatkan dalam menyusun rencana, mengambil keputusan sampai pada pelaksanaan keputusan tersebut. Prinsip pemberdayaan menekankan bahwasanya masyarakat lokal yang dirugikan dalam proyek pembangunan, harus menjadi berkuasa atas dirinya melalui pemberian pelatihan, sumber daya, pengetahuan, keterampilan sehingga mereka memiliki kapasitas menentukan masa depannya sendiri.

Prinsip pembangunan terintegrasi menekankan bahwa dalam upaya pengelolaan lingkungan hendaknya berpikir secara holistik yakni tidak ada fenomena tunggal dalam upaya pemecahan masalah. Semua saling terkait baik itu aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan spritual. Prinsip keseimbangan menekankan pentingnya hubungan antara sistem-sistem dan kebutuhan untuk menjaga suatu keseimbangan diantara sistem-sistem tersebut. Prinsip keragaman melihat masyarakat memiliki ciri yang unik, tidak ada dua masyarakat yang sama. Prinsip keberlanjutan misalnya, hendaknya diterjemahkan dalam tindakan pengelolaan yang berada dalam kerangka keberlanjutan. Hal ini ditandai dengan pelembagaan pengelolaan lingkungan tidak hanya pada tingkat pelaksana proyek, tetapi beralih ke tangan masyarakat.
Artinya, terkandung sebuah pemahaman bagaimana melakukan proses pengelolaan lingkungan yang berorientasi pada terwujudnya pemberdayaan dan mengedepankan prinsip demokrasi dan partisipasi dari masyarakat. Pengelolaan lingkungan harusnya melibatkan masyarakat sebagai subjek dan bukan hanya objek. Hal ini bertujuan agar tujuan pembangunan selaras dengan apa yang dirasakan masyarakat lokal. Pengelolaan yang bersifat birokratis, berpola top down dan tidak berdasar pada kebutuhan masyarakat hanya akan membuat pembangunan justru menjadi anti pembangunan.

Adi Surya
Alumnus Fisip Unpad
Aktivis GMNI Sumedang

sumber :  http://www.facebook.com/note.php?note_id=464061199965