Selasa, 14 Oktober 2008

MENJADI PECINTA ALAM SEJATI

Hidup adalah soal keberanian. Keberanian menghadapi tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa
mengelak. Terimalah dan Hadapilah (Soe Hok Gie)

Gila! Barangkali itulah anggapan sebagian orang bila memandang sekelompok pemuda yang menghabiskan waktunya di lereng dan puncak gunung, di kedalaman gua-gua bumi, atau di kedalaman samudera. Wajah mereka lusuh, kumal, gondrong, dan tak jarang tampil nyentrik dan nyeleneh. Bila ada manusia yang mau mengenakan klenengan sapi, barangkali hanya merekalah orangnya.

Itulah wajah pecinta alam. Sesuai namanya, mereka menamakan dirinya manusia yang mencintai alam baik gunung, laut, bukit, gua, padang belantara, dan sebagainya. Tahukah kamu bagaimana semua itu bisa terjadi?

Dirunut-runut sih sebetulnya sejarah manusia tidak jauh-jauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, alam adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala, padang rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi.

Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya lebih "bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh. Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi. Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat kepalanya. Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.

Ketika keduanya bersatu kembali, itulah saatnya  sejarah pecinta alam dimulai.

Pada tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama. Namun beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah dicatat dalam sejarah.

Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan "Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz.

Pada tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi  8840 meter ditemukan. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet  Puncak Everest berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.

Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari kampus pada era tahun 1970-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Para mahasiswa itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia di era yang sama, membuang energi mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung.

Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya kampus, melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran atau kampung-kampung. Semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah merasa sebagai pecinta alam.

Dan pecinta alampun merambah Shine sejak awalnya berdiri. Dimulai dari puncak Gunung Bromo pada tahun 1997, Shine pun sudah sampai ke Puncak Semeru, Gunung Gede, Gunung Sindoro, Gunung Merbabu, Gunung Salak, Gunung Lawu, dan Merapi. Shine pun pernah merambah kawasan pantai di Pelabuhan Ratu, Pulau Seribu, dan Ngarai Sianok di Bukit Tinggi.

Seperti ucapan Soe Hok Gie di awal tulisan ini, prinsip seorang pecinta alam itu barangkali adalah memiliki keberanian untuk menghadapi tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa mengelak melainkan menerima dan menghadapi. Itulah mengapa tak jarang menjadi pecinta alam juga membuat kita menghadapi
resiko kematian. Gie adalah salah satu korbannya.

Sebahaya itukah menjadi pecinta alam? Bisa ya dan bisa tidak. Bagi pecinta alam sejati, alam adalah sebuah
rahasia atau misteri. Sebuah coretan di Gunung Lawu baru-baru ini mengatakan, "Jangan menjadikan alam tantangan". Bisa jadi ada benarnya. Semakin pecinta alam merasa bahwa alam adalah tantangan maka semakin alam menjadi seperti musuh yang harus ditaklukkan.

Padahal, alam bukan musuh. Alam itu seperti garbhagrha di sebuah candi. Ibarat rahim ibu, tempat kita lahir. Di dalamnya termaktub rahasia kehidupan, sejak asal mula, sampai kepada kematian. Bagaimana kita
mengetahui rahasianya selain menceburkan diri dan mencintainya? Inilah hakekat pecinta alam sejati.