Senin, 21 Mei 2012

Tugas Sosiologi Hukum

SOSIOLOGI HUKUM
1. Pengertian Law in Social Context :
Hukum dalam kontek sosial merupakan perwujudan sebagai fungsi hukum sebagai sarana pengendali kehidupan sosial dalam masyarakat. Fungsi pengendali tersebut pada dewasa ini tidak dapat lagi berdiri sendiri, melainkan harus melibatkan ilmu yang berbeda. Profesor Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan sebuah pertanyaan, “apakah nilai-nilai hukum yang kita miliki cukup mampu mengatur kehidupan masyarakat Indonesia”??? maka sudah sepantasnya hukum perlu dikaitkan dengan bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti anthropologi, sosiologi, politik dan lain-lain. Teori yang mengikuti Law In Social Context tersebut telah dikemukakan oleh Northop sebagaimana dikutip Bodenheimer yang menyebutkan bahwa hukum memang tidak dapat di mengerti secara baik jika terpisah dari norma-norma sosial sebagai hukum yang hidup.
2. Gambaran Wajah Hukum menurut Saudara?
Wajah hukum (khususnya di Indonesia) merupakan wajah akan ketidakpastian dalam kehidupan sosial maupun kenegaraan di negeri ini. Persoalan hukum merupakan langganan media cetak dan elektronik setiap harinya. Menjadi santapan bagi segala usia dan kalangan. Ketidakpastian hukum dalam tahun 2011-2012 juga mempengaruhi kepercayaan terhadap kinerja pemerintah hari ini. Kasus korupsi, pidana ringan pada kejahatan berat, perilaku aparat keamanan yang merajalela dibeberapa kota serta Ketidakpedulian wakil rakyat akan konstituen membuat hukum menjadi lemah. Mengutip Pernyataan Raja Louis VI yang menyatakan bahwa “Negara adalah Saya” maka tidak ada tempat lagi bagi masyarakat sipil. Berpijak pada Statemen Prof. Satjipto yang menyebutkan bahwa Hukum harus membahagiakan, maka sudah sepantasnyalah Ahli-ahli hukum di negeri ini untuk dapat duduk bersama menyelesaikan persoalan dan mengurai jawaban atas berbagai permasalahan. Saran tersebut bukanlah seperti Indonesia Lawyer Club yang lebih menitikberatkan pada perdebatan hukum melainkan suatu keharusan dari akademisi untuk merekonstruksi kembali wajah hukum Indonesia yang bertujuan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di masa yang akan datang.
3. Pendekatan yang perlu dilakukan untuk merekonstruksi wajah hukum di Indonesia hari ini adalah dengan mengupayakan semaksimal mungkin Reformasi Hukum dengan pendekatan Sosio Legal agar sendi-sendi yang lost atau hilang dapat diperbaiki dan berguna dimasa yang akan datang. Adapun menggunakan Pendekatan sosio legal tersebut bertujuan agar Produk hukum yang dihasilkan dapat menyesuaikan dengan kondisi dan kearifan lokal di masing-masing wilayah.
4. Ada dua pendekatan yang mampu mewujudkan keadilan dan kemanfaatan / kesejahteraan bagi masyarakat yaitu Pendekatan Keyakinan (Agama) dan Pendekatan Hukum Nasional (Formal).
Pendekatan Keyakinan (agama) merupakan pendekatan yang mampu memberikan keadilan bagi para pemeluknya, pendekatan ini merupakan praktek yang terjadi sejak Zaman Kerajaan, bahkan sejak Indonesia merdeka, Khusus Agama Islam Memiliki pengadilan tersendiri untuk mencapai tujuan keadilan bagi pemeluknya. Sedangkan Pendekatan Hukum Formil merupakan pendekatan yang berlaku secara universal bagi masyarakat Indonesia, Pendekatan ini bersifat umum dan dilakukan di pengadilan umum.
5. Pendekatan Hukum Dogmatis tetap bertahan di dalam praktik dikarenakan pendekatan hukum dogmatis memiliki pondasi atau tatanan doktin yang kuat sehingga dapat diakui oleh banyak pihak. Dogma merupakan salah satu pengikat bagi sekelompok individu. Pendekatan Hukum Dogmatis cenderung bersifat kaku dan tidak dapat diubah dikarenakan kepentingan individual. Pendekatan hukum dogmatis biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat/tradisional.
6. Pendekatan Undang-Undang perlu dipertahankan tidaklah mesti untuk kepentingan elitis, namun untuk kepentingan rakyat secara universal, walaupun tidak sedikit undang-undang atau produk hukum yang memihak kepentingan elitis. Sebagaimana bisa kita lihat perbedaan yang cukup mencolok antara UU Pokok Agraria dan UU Penanaman Modal Asing. Pendekatan Undang-Undang untuk kepentingan rakyatlah yang harus dipertahankan guna mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan kepentingan Elitis harus dihapuskan karena hal ini dapat menimbulkan gesekan sosial dimasyarakat.
7. UU Kapitalis
Kapitalisme telah menjadi haluan negara-negara di seluruh dunia. Kapitalisme ini digerakkan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui tangan-tangan mereka yang duduk di pemerintahan. Mereka adalah para politikus yang telah disetir atau bekerja sama dengan kepentingan korporasi/perusahaan. Inilah yang disebut sebagai korporatokrasi.
Isitilah korporatokrasi digunakan oleh John Perkins, penulis buku Confession of Economic Hit Man (2005), untuk menggambarkan imperium global, yaitu korporasi, lembaga keuangan internasional, dan penyelenggara pemerintahan yang bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat mengikuti kehendak mereka.
Ia menyebut, bagaimana kebijakan pemerintah itu sebenarnya merupakan pengejawantahan dari kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan besar. Itu tidak hanya terjadi di Amerika, tapi juga di seluruh dunia. Bahkan, menurutnya, yang ada di balik lembaga-lembaga internasional adalah perusahaan-perusahaan besar/multinasional.
Banyak orang Amerika tahu bahwa Amerika Serikat bukan demokrasi tetapi sebuah "korporatokrasi," di mana mereka diperintah oleh kemitraan korporasi raksasa, elite sangat kaya dan perusahaan-kolaborator pejabat pemerintah. Sayangnya, mereka berhasil dininabobokkan oleh media massa, yang notabene milik perusahaan multinasional.
Pola yang sama berlaku di Indonesia. Sistem demokrasi telah menjadikan ketergantungan para politikus kepada para pengusaha. Soalnya demokrasi membutuhkan biaya yang besar. Tidak mungkin mereka sanggup meraih tampuk kekuasaan tanpa ada dukungan dana yang cukup. Yang bisa menutup itu hanyalah pengusaha. Terjadilah kongkalikong. Politikus bisa meraih kursi, pengusaha bisa menitipkan kebijakan untuk keuntungan bisnis mereka.
Sayangnya, pemerintah Indonesia tak pernah mengakui bahwa Indonesia adalah negara kapitalis. Bahkan pemerintah pun menolak jika dikatakan neoliberal—istilah yang sepadan dengan kapitalis. Namun, berbagai kebijakan negara yang muncul justru menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kapitalis, bukan sebaliknya.
Pro Asing dan Pengusaha
Kebijakan kapitalisme yang paling menonjol bisa dilihat di bidang ekonomi. Hampir semua regulasi dan kebijakan ekonomi dilandasi oleh ideologi kapitalisme ini. Negara menjalankan program liberalisasi pasar dan swastanisasi cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dampaknya lahirlah berbagai undang-undang yang tak berpihak kepada rakyat tapi kepada swasta, baik lokal maupun asing. Melalui undang-undang yang disahkan oleh DPR ini, negara melepaskan tanggung jawabnya mengelola kekayaan alam milik rakyat.
UU Penanaman Modal memungkinkan kekuatan asing melakukan investasi di segala bidang, nyaris tanpa hambatan sehingga tambang emas di Freeport dikuasai oleh perusahaan Amerika, Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile, Chevron mengangkangi tambang minyak dan gas.
UU Migas mengebiri peran Pertamina sebagai BUMN yang notabene milik rakyat dalam pengelolaan migas. Pertamina yang dulu menguasai sebagian besar tambang migas akhirnya hanya menjadi pemain kecil di dalam negeri. Mayoritas tambang migas dikuasai oleh asing. Bahkan, asing diberi kebebasan untuk berbisnis hingga ke hilir.
Ada juga UU Sumber Daya Air yang menjadikan air sebagai komoditas komersial. Juga UU Ketenagalistrikan yang ingin memecah perusahaan plat merah itu menjadi usaha-usaha kecil yang nantinya layak dijual kepada swasta. Dan banyak undang-undang sejenis lainnya.
Nah, yang menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme ini adalah keberadaan sektor non riil dan perdagangan uang. Kalau di Amerika ada Wall Street di Indonesia ada Bursa Efek Jakarta. Di tempat itulah terjadi perdagangan saham setiap harinya. Di sanalah berkumpul para kapitalis yang mempermainkan saham untuk menguasai berbagai jenis usaha—termasuk milik negara yang telah diprivatisasi.
Tak aneh bila kemudian Indosat jatuh ke pihak asing. Demikian pula Krakatau Steel. Dan beberapa saat mendatang, BUMN yang sehat sudah direncanakan akan diprivatisasi—dijual kepada swasta.
Di bidang keuangan, perbankan ribawi dianakemaskan. Dana masyarakat disedot sedemikian rupa. Tapi begitu dana terkumpul, dana itu mandek. Walhasil, banyak bank yang kemudian menyalurkan dana masyarakat itu kepada perusahaan milik si pemilik bank. Bukan kepada rakyat kecil. Anehnya, begitu bank mengalami kerugian, justru negara yang membantunya.
Kurang ajarnya, uang yang digunakan untuk menalangi kerugian itu adalah uang rakyat. Masih ingat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Lebih dari 600 trilyun rupiah uang rakyat lenyap. Atau yang terakhir kasus Bank Century, Rp 6,7 trilyun lebih uang rakyat digasak.
Sementara itu, negara tak mau lagi susah-susah mengurus rakyat. Lahirlah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU badan Penyelenggara Jaminan Sosisal (BPJS) yang menjadikan pelayanan kesehatan menjadi komoditas ekonomi yang diperjualbelikan. Negara memalak rakyat dan melepaskan diri dari tanggung jawab menjamin layanan kesehatan.
Hal yang sama terjadi di bidang pendidikan. Pelan tapi pasti, negara mulai tak mau lagi membiayai pendidikan. UU Pendidikan Nasional lahir untuk melepaskan tanggung jawab ini. Awalnya perguruan tinggi negeri ’diswastakan’ kemudian disusul lembaga pendidikan di bawahnya (sekolah).
Wajar kalau rakyat yang mayoritas tak kunjung sejahtera. Menurut Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa PT Bursa Efek Indonesia Urip Budi Prasetyo, jumlah nasabah kaya di Indonesia ada 30 ribu orang. Mereka menyimpan dan menginvestasikan uangnya di berbagai bidang, mulai saham, deposito, sampai properti. Sumber lain menyebut, nasabah premium perbankan—berpenghasilan US$ 50 ribu (setengah milyar rupiah) per tahun—mencapai 1,1 juta orang.
8. Pergeseran Tujuan dalam Bekerjanya Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa, salah satunya pemutaran rekaman di persidangan di MK. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja, paparan ini berkesimpulan, yaitu: Pertama, Era pospositivisme sering dipahami sebagai gejala berkembangnya pemikiran yang memberontak pada tatanan positivisme dengan indikasi bersifat anti rasionalisme. Dengan demikian, berarti telah peluang dan tempat berkembangnya pemikiran non rasional. Inilah yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai dekontruksi, yakni pembongkaran cara berpikir yang logis dan rasional. Dekonstruksi membongkar unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran. Dekontruksi dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar, karena yang dianggap benar selama ini, ternyata tidak membahagiakan manusia. Kedua, Bahwa dekontruksi Positivisme telah membongkar positivisme yang selama ini dalam bidang hukum dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat modern. konsepsi kebenaran hukum merupakan nilai yang teramat penting menunjukkan kencenderungan yang relatif dan kabur. Nilai kebenaran dipahami dengan menggunakan pandangan yang berbeda dan mengarah pada suatu pemahaman bahaw kebenaran itu ukurannya menurut persepsi pembuat hukum. Pembuat hukum didasarkan atas kemauan pihak penguasa yang ditopang kelompok politik mayoritas dengan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Padahal, kehendak dan pandangan politik kelompok mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran. Ketiga, bahwa dalam bidang hukum publik, khususnya hukum ketatanegaraan, demokrasi dengan sistem perwakilan dianggap sebagai sistem yang terbaik dalam negara modern. namun dalam perkembangannya sudah mulai dipertanyakan. Mereka menganggap bahwa representasi amat penting bagi modernisasi, organisasi, struktur politik dan filsafat yang mendasarinya. Akan tetapi, representasi adalah asing dan berlawanan dengan apa yang dipandang bernilai menurut pola post modernisme itu yang dimaksufd penulis pergeseran dari positivisme ke pospositivisme dalam hukum tata negara.
==========================================================