Rabu, 30 Mei 2012

Tubuh Perempuan, Kartini and "The Second Sex"

simone

Simone de Beauvoir (1908-1986)/ the independent

Tubuh Perempuan adalah sebuah panggung drama. Demikian diungkapkan oleh Simone de Beauvoir (1908-1986), seorang feminis yang terkenal dengan bukunya, The Second Sex. Perempuan, menurut Simone, adalah makhluk yang tubuhnya masuk dalam penyelidikan fenomenologis. Semenjak ia mengalami menstruasi hingga menopause, hormon yang diproduksi menyebabkan tubuhnya bagai panggung drama. Hormon itu kerap meledak-ledak hingga ia kadang tak mampu mengontrol dirinya sendiri. Saat kehamilan, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, dan menstruasi yang datang berulang, hingga menopause, perempuan kerap terombang-ambing dalam perasaan yang sulit dijelaskan. Ia bisa sedih, ia bisa mellow, tanpa sebab.

Dengan pandangan demikian, perempuan adalah sesuatu “yang lain”. Inilah konsep yang memandu seluruh analisis dalam buku The Second Sex. Dengan cara mengeksploitasi perbedaan seksual, struktur patriarkal menciptakan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, dengan mendefinisikan apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan oleh “tubuh” perempuan. Perempuan, menjadi kelas dua dalam kehidupan.

kartini

R.A. Kartini

Kebertubuhan yang membedakan inilah yang coba didobrak oleh R.A Kartini lebih dari seratus tahun lampau. Melalui surat-surat dan ungkapan hati kepada Stella sahabatnya, Kartini menuliskan pandangannya tentang feminisme dan nasionalisme. Meski banyak yang kecewa dengan Kartini, karena ia akhirnya menyerah saat diperistri oleh Bupati Rembang yang sudah beristri tiga, Kartini tetap sebuah perjuangan. Dalam diam, ia memberontak. Sebagaimana diungkap pula oleh Leo Tolstoy dalam bukunya Anna Karenina. Saat Anna tak mampu menghadapi tekanan pada perkawinannya yang tak bahagia, ia menabrakkan diri ke kereta api. Bukan sekedar menabrakkan diri, tapi ia melakukan sebuah pemberontakan di jamannya.

Dengan berbagai cerita itu, nasib wanita hingga kini masih tak jauh beda. Jaman boleh berganti, tekhnologi boleh bertambah maju, tapi perempuan masih berada dalam peranannya yang marginal, termasuk di Indonesia. Kalau dilihat dari struktur demografi ekonomi, kaum perempuan masih terpinggirkan. Dari jumlah penduduk miskin absolut di Indonesia, apabila dibedakan menurut jenis kelaminnya, maka penduduk perempuan miskin (16,72%) lebih banyak jumlahnya dibanding laki-laki (16,61%).

miskin

kemiskinan perempuan / kompas.com

Kalau kita merinci menurut rumah tangga, maka rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan jumlahnya makin bertambah dari tahun ke tahun. Kemiskinan di Indonesia sangat lekat dan dekat dengan perempuan. Dana BLT yang diterima dari Pemerintah sebagian besar diterima oleh laki laki, karena definisi kepala keluarga di Indonesia masih menempatkan laki-laki sebagai subjeknya.
Dampak dari kemiskinan tersebut dapat ditebak, prioritas akses pada berbagai layanan akan diberikan lebih banyak pada laki-laki. Tidak mengherankan jika perempuan identik dengan kemiskinan. Budaya patriarkat yang masih melekat di Indonesia menyebabkan perempuan tertinggal di setiap sektor. Di sektor pendidikan dapat kita lihat bahwa persentase rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan yang berpendidikan SD dan SLTP lebih tinggi jumlahnya dibandingkan rumah tangga miskin yang dikepalai laki-laki. Sebaliknya, persentase rumah tangga miskin yang dikepalai laki-laki dengan pendidikan sekolah menengah ke atas jumlahnya lebih tinggi.

Adalah Mohammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh yang mencoba untuk mengangkat harkat perempuan dalam perekonomian. Skema kredit mikro yang dirancangnya khusus diperuntukkan untuk perempuan. Ia setiap hari menawarkan kredit murah kepada para perempuan miskin, guna menolong suami mereka yang terlilit lintah darah. Pemberdayaan perempuan, melalui kredit murah ini, ternyata berjalan dengan baik. Martabat mereka terangkat dan Grameen Bank menjadi besar. Skema ini kemudian ditiru di banyak negara. Tujuannya sama, untuk mengangkat harkat kaum perempuan.

Di Indonesia, kita punya kementerian pemberdayaan perempuan. Dengan adanya kementerian itu, sebenarnya kaum perempuan Indonesia punya harapan. Di bidang ekonomi, banyak sudah perbankan yang menyediakan kredit mikro khusus untuk ibu-ibu. Jumlah kreditnya mulai dari yang kecil, dari Rp50.000 sampai Rp 1 juta untuk ibu-ibu pedagang kecil. Selain itu, Perum Pegadaian sejak tahun lalu juga telah menyediakan pinjaman khusus bagi wanita. Apabila langkah ini dilakukan terus secara serius, kita berharap kaum perempuan bisa diangkat derajatnya.

Meski begitu, saat ini tantangan ke depan masih berat. Masalah ketimpangan gender, angka kematian ibu, masalah buruh perempuan, Tenaga Kerja Wanita yang kerap disiksa, Pekerja Rumah Tangga Wanita, dan berbagai permasalahan lainnya masih menggelayuti negeri ini.

Bangsa ini tak bisa jalan tanpa perempuan. Andai para ibu rumah tangga mogok saja dalam sehari, maka mandeklah perekonomian Indonesia. Bisa repot kita kaum bapak-bapak. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi Indonesia tak mungkin mencapai puncaknya, bila kaum perempuan masih termarjinalkan.

Di hari Kartini ini, kiranya kita perlu merenungkan kembali, sudahkah perempuan diangkat harkat dan martabatnya dalam ekonomi. Selamat Hari Kartini. Salam.

Junanto Herdiawan

Sumber