Jumat, 25 Mei 2012

Kapitalisme, Konsumerisme, Inkonsistensi, dan Kesederhanaan

Dan di antara manusia ada yang berkata- kata tapi tidak sesuai dengan perilakunya: “Kapitalisme adalah biang keladi dari lingkaran setan problem negeri ini…!!!“ Dengan lantang penuh keyakinan berorasi di tengah jalan, mengepal tangan kiri, toa di tangan kanan, “Wahai saudara-saudara, tegakkan kemerdekaan! Kokohkan kemandirian! Perangi ketergantungan! Hancurkan kapitalisme, stop budaya konsumerisme, nyalakan patriotisme dan kobarkan nasionalisme…!!!“

Sementara atribut dan kesehariannya sudah menyatu dengan kapitalisme dan pola hidup konsumerisme. Baju yang dipakai buatan Paris, produk kapitalis. Celana jeans Amerika, produk kapitalis. Jam tangan Swiss, produk kapitalis. Sepatu buatan Italy, ikat pinggang merk Inggris, HP Finlandia, pena Jerman, dan toa Korea, semua produk kapitalis.

Lalu pulang ke rumah naik kendaraan, motor atau mobil buatan Jepang, sampai di rumah bertumpuk perabotan dan perkakas rumah tangga, TV, komputer, mesin cuci, lemari es, lampu, seterika, senter, sabun mandi hingga sabun cuci, semuanya produk kapitalis. Barang- barang mewah dan pola hidup mewah. Kebiasaan, tradisi, pergaulan, gaya. Sudah tak ada bedanya dengan mereka yang dituding sebagai musuh yang harus diperangi, kapitalisme.

Apa hendak dikata ? Memang begitulah adanya. Jiwa- jiwa memberontak, tapi tiada keselarasan antara hati, ucapan dan perbuatan. Inkonsistensi. Tidak istiqomah. Tetap saja tak mengubah apa- apa. Apa hendak dikata ?

Jika memang benar hendak menghancurkan kapitalisme, perangi itu dari diri sendiri dulu, buktikan bahwa musuh memang harus disingkirkan. Tanam kapas, tenun benang, sulam dengan tangan, lepaskan arloji, buang HP, pakai sandal bakyak, ikat sarung dengan pelepah pisang, lalu berteriak ke tengah jalan dengan suara lantang :

“ Hancurkan kapitalisme, stop pola konsumerisme, lihatlah, telah ada satu orang contoh nyata di depan Anda, sayalah orang pertama yang membuktikan dengan kasi nyata agar Anda percayanya…!!! “

Kapitalisme dan konsumerisme adalah pasangan sejoli sehidup semati. Jika ingin menghancurkannya, hancurkan salah satunya. Bila kapitalisme terlalu kuat untuk dijatuhkan, ‘bunuh’ jiwa konsumerisme, kapitalisme musnah dengan sendirinya. Jika ingin mengukuhkan kapitalisme, suburkan konsumerisme, kapitalisme akan tumbuh menjadi raksasa. Benalu dan inang pohon adalah simbiosis parasitisme. Meski benalu mengambil keuntungan dari kerugian inang pohon, tapi simbiosis tetap saja simbiosis, keberadaannya tergantung dari dua pihak. Buktinya, bila inang pohon kering dan mati, benalu ikut mati juga. Nasib benalu tergantung dari ‘kebaikan budi’ inang pohon.

Kapitalisme dan konsumerisme adalah tabiat jiwa manusia. Semua punya potensi menjadi kapitalis, dan juga sekaligus konsumeris. Tinggal bisa atau tidakkah jiwa mengendalikannya agar tidak melampaui batas-batas kemanusiaan dan pelanggaran hak-hak sesama. Bukan simbiosis parasitisme, tapi simbiosis mutualisme, hubungan kerjasama dua pihak saling menguntungkan. Itulah tatanan keadilan perekonomian berkeadaban kemanusiaan.

Namun ketika posisi memaksa ‘si lemah’ tak berdaya melawan ‘sikuat’ dengan segenap upaya, masih ada senjata jitu dan sederhana, cukup kesederhanaan itu sendiri. Pola hidup sederhana akan melemahkan kapitalisme untuk menciptakan posisi tawar yang seimbang dalam perniagaan. Kesederhaan lebih menyelamatkan nilai-nilai peradaban dan martabat kemanusiaan. Dan konsistensi, jauh lebih membawa seseorang mencapai derajat kemuliaan yang sesungguhnya sebagai manusia. Tanpa konsistensi, seluruh perjuangan hanyalah retorika, ia hanya indah di telinga dan nampak heroik di mata, namun namun hanya menjaring udara hampa. Tinggal masalahnya, masih adakah di antara kita yang bersedia memulainya? ***

Sumber