Sabtu, 26 Mei 2012

ISLAM, PENDIDIKAN DAN PEREMPUAN

13380347121696019606

Model : Hana Tajima (Japanese Muslim) (facebook.com/assyarkhan)

Proses pendidikan umat Islam dimulai dari Nabi SAW, yang mengajarkan sendiri prinsip-prinsip Islam kepada sahabat-sahabatnya. Dia mengajar secara sembunyi dan terang-terangan. Secara sembunyi dilakukannya di rumah Al-Arqom. Di sana tidak ada pemisahan laki-laki dan perempuan. Semua diajarkannya bersama-sama dan dengan kapasitas yang sama. Karena memang semuanya harus mendapatkan kebutuhan mereka akan pengetahuan terhadap ajaran Islam.

Nabipun tidak segan-segan membuka ruang dialog untuk pemahaman yang lebih mendalam, dan dalam masa itu dia tidak pernah membatasi dialog diantara sahabat-sahabatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Lalu, ketika hijrah ke Madinah, proses pendidikan yang dilakukannya secara terbuka. Proses dimana beliau harus kembali mengajarkan prinsip-prinsip Islam kepada semua kaumnya. Berbeda dengan di Mekkah, proses pendidikan di Madinah dilaluinya dengan terang-terangan. Beliau juga segera memulai proses penghapusan buta huruf. Dan pada masa itu masjid adalah pusat pendidikan umat Islam. Dan untuk ini Nabi sangat memperhatikan persoalan pengentasan buta huruf. Salah satu bentuk perhatiannya tercermin dari kebijakan yang diambilnya setelah umat Islam memenangkan perang Badar.

13380347621537965427

Model : Hana Tajima (Japanese Muslim) (facebook.com/assyarkhan)

Pada waktu itu Nabi tidak meminta tebusan harta, atau lainnya tetapi dia segera memerintahkan setiap tawanan Mekkah yang “melek” huruf tersebut untuk mengajari sepuluh orang muslim cara membaca dan menulis, sebagai tebusan bagi kebebasan mereka. Dari sinilah kemudian berangsur-angsur terbangun pola sekolah (madrasah). Walaupun pada masa itu pola sekolah (madrasah) yang dimaksud sangat sederhana, tidak terbatas hanya di masjid, dimana Nabi sering menjadikan masjid sebagi pusat pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan, tetapi mulai berkembang menjadi bangunan sistem dari komunitas tertentu untuk melakukan interaksi belajar mengajar.

Sistem pendidikan telah didirikan Nabi di atas pondasi kualitas-kualitas moral dan spiritual. Sistem inipun tidak mengenal adanya pemisahan antara pendidikan agama dengan pendidikan sekuler, tidak mengenal pemisahan laki-laki dan perempuan. Karena semua forum yang digelar Nabi dapat menggali pengetahuan apa saja, dari masalah sosial, ekonomi, strategi perang, sampai urusan interpersonal suami istri dalam rumah tangga dan mengasuh anak. Semua dilakukan didepan khalayak majlis baik laki-laki maupun perempuan.

Meskipun sistem pendidikan Islam sesungguhnya meliputi sendi seluruh sendi kehidupan umat Islam terdahulu, namun dia juga mengenal adanya fase-fase atau tahap pendidikan. Tahap pendidikan yang pertama dimulai di rumah yang merupakan tempat kedua orang tua bertindak sebagai “guru” dalam beberapa “materi” pelajaran seperti agama, bahasa, konstruksi budaya, dan kebiasaan-kebiasaan sosial. Dari sini peran orang tua sangatlah besar, baik Bapak maupun Ibu, mereka adalah “pembentuk” awal dari pola pendidikan yang didapati seorang anak.

Pelajaran bahasa, baik itu bahasa tubuh berupa prilaku keseharian hingga bahasa verbal, jelas didapat anak dari kedua orang tuanya terlebih dahulu. Lalu tahap pendidikan selanjutnya yaitu pada lingkup di luar rumah. Pada sekarang ini kita lebih mengenal dengan nama sekolah atau madrasah. Jika melihat kembali sejarah perkembangan dunia ilmu pengetahuan Islam, madrasah sesungguhnya menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat dan berkembang menjadi rintisan awal bagi institusi pendidikan yang memainkan peranan penting dalam dunia muslim. Contoh yang bisa diebutkan misalnya Qayrawan di Maroko, Al Azhar di Mesir, An Nizamiyah dan Al Mustansiriyah, dan An Nuriyah di Damaskus. Seiring dengan perkembangan itu, muncul juga observatorium dan rumah sakit yang berdiri independen sebagai akibat dari perkembangan madrasah dan lembaga ilmu pengetahuan tersebut, bagian dari eksperimen (penelitian), dan ada pula yang tergabung dengan perguruan tinggi tersebut. Observatorium Syamsiyyah milik khalifah al-Makmun misalnya.

Para tokoh yang berada di balik observatorium atau rumah sakit itu tidak hanya berfungsi sebagai seorang guru dalam sense intelektual, tetapi juga berfungsi sebagai seorang teladan dalam tingkah laku moralnya.[S.H. Nasr, "Islamic Education and Science", dalam Dr. Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak perempuan perspektif Islam dan Kesetaraan jender, Fajar Pustaka, Oktober 2002] Dari tahapan perkembangan pendidikan Islam dan sistem yang terbangun di dalamnya, sesungguhnya tidak pernah mengenal pembedaan, pemisahan antara yang teologis dan sekuler, kekhususan pendidikan untuk jenis kelamin tertentu, ataupun mengukuhkan konstruksi yang bias gender. Sistem pendidikan Islam terbangun dan berkembang karena tantangan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Tidak seharusnya ia menciptakan penindasan dan penderitaan, baik penindasan berdasarkan ras, agama maupun gender. Karena Islam datang sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Pada dasarnya Islam mendukung pendidikan perempuan dalam wilayah agama maupun sosial. Islam tidak mengenal prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama didukung untuk memperoleh pendidikan, bahkan dinyatakan Nabi dari semenjak di ayunan sampai masuk liang lahat. Semua ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan dan yang menganjurkan untuk menuntut Ilmu pengetahuanpun ditujukan secara setara baik kepada laki-laki maupun perempuan. Perhatian Nabi SAW terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa beliau sendiri biasa mengajar perempuan bersama laki-laki. Beliau juga memerintahkan kepada sekalian umatnya agar tidak hanya mendidik keluarga perempuan mereka saja, namun juga budak-budak perempuan mereka, seperti tercantum dalam hadits “Seorang laki-laki yang mendidik budak perempuannya, memerdekakannya dan kemudian menikahinya, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda”.

Sesuai dengan semangat al-Qur’an dan Hadits yang mendorong kaum perempuan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian mereka, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang terdidik tidak hanya memancarkan kualitas-kualitas moralnya di lingkungan rumah, namun juga harus memiliki sebuah peran aktif di lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan perkembangan politik. Secara khusus dalam surat At-Taubah ayat 71-72, al-Qur’an memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk mendirikan sholat, membayar zakat, beramar ma’ruf dan nahi munkar dalam segala bentuk; sosial, ekonomi, dan politik. Ini berarti laki-laki dan perempuan setara dalam mengemban perintah tersebut dan untuk itu mereka harus sama memiliki akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan. Lalu bagaimana perempuan bisa membenarkan kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang baik atau tidak menyepakatinya, kalau secara intelektual dia tidak dipersiapkan untuk tugas itu?

Bila kita kembali berkaca kepada sejarah Islam, sesungguhnya Islam tidak pernah sepakat dalam pembatasan terhadap perempuan. Islam telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para perempuan-perempuan untuk menimba ilmu apa saja. Dan ini terbukti dengan munculnya beberapa nama perempuan-perempuan yang menghiasi tinta sejarah Islam. Sebutlah misalnya Aisyah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, Al Khansa yang dipuji Nabi karena keindahan puisinya, Zainab dari Bani Awd dan Ummu Al-Hasan binti Qadi Abi Ja’far al-Tanjali yang terkenal menguasai ilmu kedokteran, dan sering menunaikan tugasnya untuk mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, lalu Nusaibah yang pandai dalam strategi perang, dan mungkin masih ada banyak lagi. Dan jika memang pendidikan adalah fondasi bagi transformasi sosial, maka pembatasan hak pendidikan kepada perempuan tidak relevan. Maka saatnya mengutamakan pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan tidak diskriminatif untuk semua?

SUMBER