Senin, 09 April 2012

Menguak Cerita Di Balik G 30 S

Setelah menunggu empat dekade, akhirnya terbitlah buku yang menguak
misteri peristiwa Gerakan 30 September. Dalih Pembunuhan Massal:
Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, terjemahan dari buku Pretext
for Mass Murder karya John Roosa.

Oleh Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI; dikutip Blog Berita
dari Koran Tempo edisi 28 April 2008

Ketidakjelasan itu bertahan demikian lama karena rezim Orde Baru
melakukan monopoli sejarah dan memupuknya bertahun-tahun. Versi lain,
seperti yang ditulis oleh Ben Anderson dan kawan-kawan (kemudian
dikenal sebagai Cornell Paper), yang menganggap bahwa itu persoalan
intern AD (Angkatan Darat), dilarang dan penulisnya dicekal masuk
Indonesia. Perdebatan tentang Gerakan 30 September diharamkan, bahkan
usaha ISAI (Institut Studi Arus Informasi) menerbitkan buku tipis
tentang masing-masing versi Gerakan 30 September itu diganjal
Kejaksaan Agung pada tahun 1995.

Dalam suasana demikian, ketika Soeharto jatuh, bermunculanlah di tanah
air berbagai (terjemahan) tulisan tentang Gerakan 30 September sejak
tahun 1998. Analisis yang diberikan beragam, mulai dari kudeta
merangkak (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, Subandrio) sampai dengan
kudeta yang disengaja untuk gagal seperti yang ditulis Coen Hotzappel.

Memang ada berbagai kelompok yang diuntungkan dengan kegagalan kudeta
itu, namun apakah pihak tersebut mendesain peristiwa itu sedemikian
rupa dengan skenario yang rapi dan semuanya berjalan seperti yang
diharapkan mereka? Tampaknya tidak demikian.

Namun, masing-masing teori itu memiliki kelemahan. Kalau disebutkan
bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) secara keseluruhan melakukan
pemberontakan, kenapa 3 juta anggota partai ini tidak melakukan
perlawanan ketika diburu dan dibunuh setelah gerakan itu meletus?
Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia saat itu begitu mudah
dirontokkan?

Analisis yang menyebutkan bahwa itu persoalan intern Angkatan Darat
juga tidak memuaskan karena persoalannya tidak sesederhana itu.
Bukankah Sjam dan Pono juga terlibat? Sementara itu, versi Soekarno
sebagai dalang juga diragukan. Bila sang presiden mengetahui
sepenuhnya rencana aksi ini sebelumnya, kenapa ia berputar-putar di
kota Jakarta sebelum menuju pangkalan udara tanggal 1 Oktober 1965?
Mengapa Presiden Soekarno tidak langsung saja dari Wisma Yaso kediaman
Ratna Sari Dewi (sekarang Museum Satria Mandala di Jalan Gatot
Subroto) menuju Halim Perdanakusuma?

Demikian pula Soeharto tidaklah terlampau "jenius" untuk bisa
merancang suatu perebutan kekuasaan secara sistematis. Masih perlu
diinvestigasi lebih lanjut seberapa jauh Soeharto mengetahui rencana
tersebut sebagaimana disampaikan Kolonel Latif dalam pertemuan malam
sebelumnya di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto.

Amerika Serikat (AS) tidaklah ikut campur pada tanggal 30 September
dan 1 Oktober 1965, walaupun berbagai dokumen menyebut keterlibatan
mereka sebelum dan sesudah peristiwa berdarah tersebut. Bagi
pemerintah AS waktu itu, bila Indonesia dengan penduduk keempat atau
kelima terbesar di dunia itu¨Cdengan sumber daya alam berlimpah dan
posisi sangat strategis¨C jatuh ke tangan komunis, berarti telah
terjadi kiamat.

Judul buku: Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto
Pengarang: John Roosa
Penerjemah: Hersri Setiawan
Penerbit: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra
Tebal: 392 halaman

Riset yang dilakukan John Roosa menggunakan arsip yang jarang diulas
secara utuh selama ini, seperti dokumen Supardjo, tulisan-tulisan
Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam,
wawancara dengan tokoh-tokoh PKI seperti "Hasan" yang meminta
dirahasiakan identitasnya sampai ia meninggal.

Muhammad Munir adalah anggota Politbiro PKI dan Iskandar Subekti
adalah panitera Politbiro PKI, yang pada tanggal 1 Oktober 1965
mengetik pengumuman-pengumum an yang dikeluarkan Gerakan 30 September.
Adapun "Hasan" memiliki posisi yang dianggap logis mengetahui kegiatan
Biro Chusus. "Hasan" sendiri sudah menulis memoar yang sudah
diserahkan kepada penulis buku (John Roosa) yang dapat dipublikasikan
setelah ia meninggal. Di samping dokumen-dokumen penting itu, serta
wawancara mendalam dengan tokoh sentral organisasi kiri itu,
arsip-arsip yang berasal dari Departemen Luar Negeri AS membantu
menjelaskan berbagai hal.

Dokumen Supardjo dianggap cukup sahih¨Csebagai semacam
pertanggungjawaban setelah peristiwa itu terjadi¨Cyang ditulis ketika
ia belum tertangkap. Beberapa saksi, termasuk Letnan Kolonel Udara
Heru Atmodjo, yang sama-sama di penjara dengan Supardjo, mengakui
keberadaan surat tersebut. Pihak keluarga juga mengiyakan informasi
yang pernah disampaikan Supardjo.

Dokumen itu memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September
adalah karena tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok
pimpinan, yakni kalangan militer (Untung, Latief dan Sudjono) dan
pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, Bono dengan Aidit di latar
belakang). Sjam memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi
penghubung antara kedua pihak ini.

Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden
Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, maka kebingungan terjadi
dan kedua kelompok ini pecah. Kalangan militer ingin mematuhi
permintaan Soekarno, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkannya. Ini
dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua dan
ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya
kudeta merupakan kesalahan besar. Pada pagi hari mereka mengumumkan
bahwa Presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya
pada siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan
pembubaran kabinet).

Buku ini menyederhanakan kerumitan misteri itu dengan metode ala
detektif. Pembaca diyakinkan bahwa tokoh kunci Gerakan 30 September,
Sjam Kamaruzzaman, bukanlah agen ganda, apalagi triple agent,
melainkan pembantu setia Aidit sejak bertahun-tahun. Pelaksana Biro
Chusus PKI yang ditangkap tahun 1968 ini baru dieksekusi tahun 1986.
Ia bagaikan putri Syahrazad yang menunda pembunuhan dirinya dengan
menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu
bertahan selama 1001 malam. Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan
mengarang 1001 pengakuan.

Dokumen Supardjo mengungkapkan mengapa gerakan itu gagal dan tidak
bisa diselamatkan. Kerancuan antara "penyelamatan Presiden Soekarno"
dan "percobaan kudeta" dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan
gamblang. Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, AS telah memikirkan dan
mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk mendorong PKI melakukan
gebrakan lebih dahulu, sehingga dapat dipukul secara telak oleh
Angkatan Darat. Dan, Aidit pun terjebak. Karena sudah mengetahui
sebelum peristiwa itu terjadi, maka Soeharto adalah jenderal yang
paling siap pada tanggal 1 Oktober 1965 ketika orang lain bingung dan
panik. Nama Soeharto sendiri tidak dimasukkan dalam daftar perwira
tinggi yang akan diculik.

Seperti disampaikan sejarawan Hilmar Farid dalam peluncuran buku ini
di Yogyakarta, karya ini berjasa mengungkapkan bahwa Gerakan 30
September itu lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk menculik tujuh
jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai gerakan.
Karena peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan
Jawa Tengah yang dapat diberantas dalam waktu satu-dua hari.

Namun, aksi ini (yang kemudian ternyata menyebabkan tewasnya enam
jenderal) kemudian oleh Soeharto dan kawan-kawan dijadikan dalih untuk
memberantas PKI sampai ke akar-akarnya, yang di lapangan menyebabkan
terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari setengah juta
jiwa. Kalau para jenderal yang diculik itu tertangkap hidup-hidup,
mungkin sejarah Indonesia akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan
menuntut para jenderal itu dipecat. Presiden akan didesak untuk
memberikan kursi departeman kepada golongan kiri itu, karena sampai
tahun 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan pimpinan departemen
kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.

Buku ini memiliki kelemahan kecil, seperti penulisan Kapten Bambang
Widjanarko (hal 116; seharusnya kolonel) dan Kolonel H Maulwi Saelan
(hal 57; pada tahun 1965 Saelan belum naik haji). Saelan baru
menunaikan rukun Islam itu pada era Orde Baru dan memimpin Yayasan
Sekolah Islam Al Azhar.

Namun, di sisi lain, buku mempunyai banyak kelebihan. Pertama,
menggunakan dokumen yang selama ini diabaikan, seperti dokumen
Supardjo, pledoi Iskandar Subekti dan tulisan Muhammad Munir. Kedua,
Roosa berhasil melakukan wawancara mendalam dengan "Hasan", tokoh
kunci yang mengetahui kiprah unit yang disebut sebagai Biro Chusus
PKI.

Ketiga, sumber-sumber di atas dilengkapi dengan arsip-arsip Amerika
Serikat yang telah terbuka dari waktu ke waktu dan menjadi perangkat
yang andal untuk melakukan analisis sejarah. Keempat, John Roosa
berhasil menyusun narasi baru bahwa Gerakan 30 September sebenarnya
bukan gerakan, melainkan suatu aksi yang ternyata dijadikan dalih
untuk melakukan pembunuhan massal.

Kelima, upaya yang sudah dilakukan dosen sejarah Universitas British
Columbia, Kanada, ini menyebabkan perdebatan tentang siapa dalang G30S
itu sudah sepatutnya diakhiri. Seyogianya diskusi kini beralih tentang
bagaimana proses pembunuhan massal 1965 itu terjadi dan mengapa sampai
memakan korban demikian banyak. Jadi, yang patut dipertanyakan bukan
lagi "siapa dalang G30S" melainkan "siapa dalang pembantaian 1965¡Ã¥.

Buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto
telah berhasil menampilkan data baru (berbagai dokumen dari dalam dan
luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutsertakan sejarah lisan)
dan perspektif baru (ini adalah aksi bukan gerakan, tetapi kemudian
dijadikan dalih untuk peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat).[/left]

[left]sumber: http://blogberita. net/2008/ 05/10/terbongkar nya-misteri- g30spki/