PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
I. PENGERTIAN
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 (1) yang menyatakan :
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya merumuskan syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut system KUHP bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa “kejahatan” saja, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP memperlihatkan adanya pemikiran dari para perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti bahwa percobaan terhadap semua kejahatan dapat dipidana. Pengecualian tersebut misalnya :
· Percobaan duel / perkelahian tanding (pasal 184 ayat 5);
· Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);
· Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5);
· Percobaan penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2);
II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN
Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna?
Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua pandangan :
(1). Percobaan dipandang sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan perluasan pertanggungjawaban pidana).
Menurut pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana meskipin tidak memenuhi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila telah memenuhi rumusan pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang, bukan memperluas rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut pandangan ini, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen dekictsvorm). Termasuk dalam pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny. Hazewinkel-Suringa dan Porf. Oemar Seno Adji.
(2). Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan delik).
Menurut pandangan ini, percobaan melakukan sesuatu tindak pidana merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi merupakan delik yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa. Jadi merupakan delik tersendiri (delictum sui generis). Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno.
Alasan Prof. Moelyatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :
a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik;
b. Dalam konsep “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm), yang ada hanya delik selesai.
d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai, jadi baru merupakan percobaan. Misalnya delik-delik maker (aanslagdelicten) dalam pasal 104, 106, dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis. Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan penganjuran (poging tot uitloking) atau yang biasa juga disebut penganjuran yang gagal (mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri.
Mengenai adanya dua pandangan tersebut diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa pandangan pertama sesuai dengan alam atau masyarakat individual karena yang diutamakan adalah strafbaarheid van de person (sifat dipidananya orang); sedangkan pandangan yang kedua sesuai dengan alam atau masyarakat kita sekarang karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan.
III. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb:
1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel.
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :
2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.
2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran.
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers.
Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.
Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif, apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidak adilan.
IV. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :
IV.1. Niat.
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat :
a. Niat jangan disamakan dengan kesenjangan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau mengahadapi delik selesai.
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement.
c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi perbuatan.
Dari delik percobaan dapat mempunyai dua arti :
1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltoo-ide poging/completed attempt), niat sama dengan kesengajaan;
2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap/geschorste poging/incompleted attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif onrechtselement).
Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi;
Misal : A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam hal ini maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan hukum.
Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan.
IV.2. Ada permulaan pelaksanaan.
Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya percobaan. Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya.
Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat sbb :
a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik;
b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa mensyaratkan adanya perbuatan lain.
Contoh untuk delik formil :
A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap.
Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.
Contoh untuk delik materiil :
A bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan saklarnya.
Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan
2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya
Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu :
i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi;
iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
V. PERCOBAAN DALAM BEBERAPA YURISPRUDENSI
Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.
Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R).
Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya.
Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pasal 53 jo 187 KUHP.
H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran.
Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan.
Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :
- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons (Teori Obyektif Materiil);
- Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)
Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya ialah :
a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling berhubungan dan memenuhi rumusan delik;
b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini tidak tepat karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap.
Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb :
“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”.
IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri.
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sbb :
a. Adanya penghalang fisik;
Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan (misal : pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak).
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Misal : takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada obyek yang menjadi sasaran.
Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela, apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :
Ø Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
Ø Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah :
§ Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;
§ Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah mulai melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya.
Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini merupakan :
v Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe).
v Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).
v Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno).
Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat, seprti halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :
a. Mempunyai konsekuensi materiil
Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu.
Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu). Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena percobaan sumpah palsu?
HR dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya (saksi) tidak merupakan perbuatan terlarang.
b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang processuil)
Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur adalah masalah pertanggunganjawab.
Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility).
VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal : mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba membunuh orang dengan gula yang dikiranya racun).
Pembeda antara percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang menganut teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap batin atau watak si pembuat.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan :
“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan”.
Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara :
v Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan.
v Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari dua segi :
- Keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan
- Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak mudah :
a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :
- Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan warangan (arsenicum) adalah mampu;
- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu untuk membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan (untuk arsenicum 5 mg).
b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat dilihat dari keadaan konkrit tertentu.
- Gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh orang pada umunya, tetapi dapat menjadi alat yang mampu mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes;
- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan alat yang mampu untuk membunuh, tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan sejumlah itu tidak merupakan alat yang mematikan.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara absolute dan relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.
Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru.
Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu, tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam hal tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya.
Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu, maka para sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan tidak mampu.
Karena pada hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah hubungan kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons, Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran dalam hubungan kausal.
Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena memang dalam hal percobaan, akibat yang merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).
Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu adalah sbb :
1. SIMONS
Ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang tertentu itu dapat membahayakan benda hukum.
Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata-nyata ada dalam keadaan khusus dimana perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan tertentu dapat membahayakan dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat itu tidak berbahaya akan lenyap dengan diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPE
Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan (strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai.
Misal : - Mencoba membunuh orang dengan mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah percobaan yang mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal adalah mampu jika jumlahnya memang dapat mematikan orang yang normal.
- Ada orang membeli warangan di apotik untuk melakukan pembunuhan, tetapi karena kekeliruan apotik, bukan warangan yang diberikan tetapi gula sehingga tidak menimbulkan kematian. Dalam hal demikian, tetap dikatakan ada percobaan karena meskipun sifat gula adalah tidak mampu secara absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan perbuatan yaitu mencampurkan gula (yang diberikan oleh apotik) yang dikiranya warangan, kedalam makanan orang lain.
3. VAN HATTUM
Dalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat dengan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting adalah bagaimana merumuskan (memformulir) perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam memformulir perbuatan terdakwa secara adekuat kausal itu, van Hattum memberikan ukuran/pedoman sbb :
a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan jangan dimasukan, karena rasa keadilan tidak membenarkan hal demikian member keuntungan kepada si pembuat;
b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan yang dituju jangan dimasukkan, apabila pada hakekatnya perbuatan terdakwa membahayakan benda/kepentingan hukum (rechtsgoed).
Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang baik. Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan senapanya itu, sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain (musuhnya itu).
Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat yang relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb : “mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian menembakkannya”. Perbuatan demikian merupakan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi mempunyai hubungan kausal yang adekuat untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan percobaan yang mampu. Tidak berbeda dengan menembakkan senapan yang pelurunya macet. Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang kebetulan dan mengisi senapandengan peluru dan menembakkannya” merupakan perbuatan yang membahayakan benda hukum orang lain (berupa nyawa). Van Hattum menyatakan bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
4. MOELYATNO
Dalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak sampai menimbulkan kejahatan yang dituju (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, tetapi secara normatif.
Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada terjadinya delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, maka perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas dilakukan.
Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan) yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952).
Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong.
Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum.
Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan. “Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya sendiri. Jika si pembuat berbuat karena kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”.
5. MANGEL AM TATBESTAND
Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat dibedakan mengenai obyeknya maupun mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan antara tidak mampu yang absolute dan relative.
Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu. Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP (menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang benar-benar mengandung.
Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).
Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong yang ternyata kosong.
Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :
a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari kehendak terdakwa;
b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan melaksanakan delik yang dituju.
Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang percobaan.
Sehubungan dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau “percobaan tak terkenan”). Dalam hal menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:
- Orang yang melarikan perempuan yang ternyata sudah cukup umur;
- Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah menjadi miliknya.
Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah yang menurut Karni merupakan hakekat atau watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat dipidana karena memang tidak ada pasal yang dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang anasir delik” yang harus dibedakan dengan salah sangka tentang adanya undang-undang (putatief delict).
Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan “rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.
VII. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana.
Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338 KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan yangbersangkutan diancam pidana mati atau penajara seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai.