pesawat kita :
Cureng & Guntei
musuh kita (belanda) :
P-40 Kittyhawk
Ceritanya pada pagi buta tanggal 29 Juli 1947, dari Pangkalan Udara Maguwo di Jogjakarta terdengarlah suara mesin pesawat terbang menderu-deru. Pangkalan Udara Maguwo ketika itu tidak memiliki fasilitas lampu landasan sehingga tiga pesawat yang akan lepas landas dibantu dengan lampu sorot besar yang biasanya digunakan untuk mencari pesawat musuh di udara.
Pukul 05.00, roda-roda pesawat mulai merayap dan tak lama kemudian pesawat pertama—jenis Guntei—lepas landas, diterbangkan oleh Penerbang Mulyono. Pesawat kedua, sebuah Cureng, menyusul sesaat kemudian, diterbangkan oleh Penerbang Sutarjo Sigit. Yang terakhir lalu menyusul, juga sebuah Cureng, yang diterbangkan oleh Penerbang Suharnoko Harbani.
Ketiga penerbang saat itu masih tercatat sebagai Kadet Penerbang dari Sekolah Penerbang yang didirikan 15 November 1945 dengan Komandan Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto.
Guntei dan Cureng merupakan pesawat peninggalan Jepang dengan peralatan sederhana. Keduanya tak memiliki lampu dan radio. Ketiga penerbang waktu itu hanya dibekali dengan lampu senter untuk saling memberi isyarat, dengan cara menyorot pesawat agar diketahui oleh rekannya.
Tutup kokpit pesawat dilepas, badan dan sayap, diberi cat warna hijau militer. Sedangkan, modifikasinya terletak pada pemasangan mekanisme untuk menjatuhkan bom yang digantungkan di kedua sayapnya, masing-masing sayap dibebani sebuah bom seberat 50 kg.
Pesawat yang dikemudikan Suharnoko Harbani dilengkapi senapan mesin dengan penembak udara Kaput menyerang Ambarawa .Sedangkan, pesawat Sutardjo Sigit dibekali bom-bom bakar dan penembak udaranya Sutardjo menyerang Salatiga
Kadet penerbang Mulyono diperintahkan menyerang Semarang dengan menggunakan pesawat pengebom tukik ”Driver Bomber” Guntei berkekuatan 850 daya kuda. Pesawat berkecepatan jelajah 265 km/jam itu dibebani bom 400 kg dan dilengkapi dua senapan mesin di sayap dan sebuah dipasang dibelakang penerbang serta sebagai penembak udara Dulrachman.
Sementara itu, Kadet Penerbang Bambang Saptoadji yang menggunakan pesawat buru sergap Hayabusha dan bertugas mengawal pesawat yang diawaki Kadet Penerbang Mulyono, terpaksa dibatalkan karena pesawat yang telah dipersiapkan sejak pagi itu belum selesai diperbaiki setelah mengalami kerusakan.
Meski menghadapi kesulitan teknis karena primitifnya sarana pelepasan bom, misi bisa dikerjakan dengan baik. Bahkan Sutardjo Sigit menjatuhkan bom bom bakar dengan menggunakan kedua tangan. Untuk menghindari sergapan pesawat pemburu Belanda P-40 Kitty Hawk (Curtiss), ketiga penerbang terbang rendah di atas puncak- puncak pohon. Begitu penerbang ketiga mendarat pukul 06.20, ketiga pesawat yang baru saja menunaikan misi pengeboman tadi segera disembunyikan. Aksi pembalasan Belanda datang tak lama kemudian. Pukul 07.05 dua Kitty Hawk meraung-raung di atas Yogyakarta. Mereka menembak dengan gencar, tetapi tidak ada korban jiwa.
Aksi ketiga penerbang AU RI di atas merupakan operasi udara pertama dalam sejarah RI melawan agresor, sekaligus juga aksi balasan terhadap Belanda yang sejak tanggal 21 Juli 1947 terus menyerbu Republik dengan membabi buta.
Ada tiga efek yang ditimbulkan dari operasi udara itu. Pertama, meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia dan menambah rasa percaya diri. Kedua, aspek diplomasi yaitu pengakuan atas keberadaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia di masyarakat dunia. Ketiga, aspek militer yaitu keberadaan Angkatan Udara RI diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda.
Serangan yang dilancarkan di pagi buta itu, tidak hanya memporakporandakan kubu-kubu pertahanan Belanda, namun lebih dari itu menurunkan mental dan semangat pasukannya. Ini terbukti dengan pemadaman lampu di seluruh kota besar di Jawa Tengah pada malam hari untuk mencegah serangan udara dari pasukan Indonesia. Untuk mengembalikan semangat tempur tersebut, Belanda melancarkan serangan balasan dan tidak mengindahkan lagi aturan perang.
Pada sore harinya Belanda menembak jatuh pesawat carteran republik Indonesia dari Singapura yang sedang membawa obat-obatan PMI. akibatnya putra terbaik AU kita yaitu Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara Adisumarmo yang saat itu turut serta di dalam pesawat gugur.
Cureng & Guntei
musuh kita (belanda) :
P-40 Kittyhawk
Ceritanya pada pagi buta tanggal 29 Juli 1947, dari Pangkalan Udara Maguwo di Jogjakarta terdengarlah suara mesin pesawat terbang menderu-deru. Pangkalan Udara Maguwo ketika itu tidak memiliki fasilitas lampu landasan sehingga tiga pesawat yang akan lepas landas dibantu dengan lampu sorot besar yang biasanya digunakan untuk mencari pesawat musuh di udara.
Pukul 05.00, roda-roda pesawat mulai merayap dan tak lama kemudian pesawat pertama—jenis Guntei—lepas landas, diterbangkan oleh Penerbang Mulyono. Pesawat kedua, sebuah Cureng, menyusul sesaat kemudian, diterbangkan oleh Penerbang Sutarjo Sigit. Yang terakhir lalu menyusul, juga sebuah Cureng, yang diterbangkan oleh Penerbang Suharnoko Harbani.
Ketiga penerbang saat itu masih tercatat sebagai Kadet Penerbang dari Sekolah Penerbang yang didirikan 15 November 1945 dengan Komandan Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto.
Guntei dan Cureng merupakan pesawat peninggalan Jepang dengan peralatan sederhana. Keduanya tak memiliki lampu dan radio. Ketiga penerbang waktu itu hanya dibekali dengan lampu senter untuk saling memberi isyarat, dengan cara menyorot pesawat agar diketahui oleh rekannya.
Tutup kokpit pesawat dilepas, badan dan sayap, diberi cat warna hijau militer. Sedangkan, modifikasinya terletak pada pemasangan mekanisme untuk menjatuhkan bom yang digantungkan di kedua sayapnya, masing-masing sayap dibebani sebuah bom seberat 50 kg.
Pesawat yang dikemudikan Suharnoko Harbani dilengkapi senapan mesin dengan penembak udara Kaput menyerang Ambarawa .Sedangkan, pesawat Sutardjo Sigit dibekali bom-bom bakar dan penembak udaranya Sutardjo menyerang Salatiga
Kadet penerbang Mulyono diperintahkan menyerang Semarang dengan menggunakan pesawat pengebom tukik ”Driver Bomber” Guntei berkekuatan 850 daya kuda. Pesawat berkecepatan jelajah 265 km/jam itu dibebani bom 400 kg dan dilengkapi dua senapan mesin di sayap dan sebuah dipasang dibelakang penerbang serta sebagai penembak udara Dulrachman.
Sementara itu, Kadet Penerbang Bambang Saptoadji yang menggunakan pesawat buru sergap Hayabusha dan bertugas mengawal pesawat yang diawaki Kadet Penerbang Mulyono, terpaksa dibatalkan karena pesawat yang telah dipersiapkan sejak pagi itu belum selesai diperbaiki setelah mengalami kerusakan.
Meski menghadapi kesulitan teknis karena primitifnya sarana pelepasan bom, misi bisa dikerjakan dengan baik. Bahkan Sutardjo Sigit menjatuhkan bom bom bakar dengan menggunakan kedua tangan. Untuk menghindari sergapan pesawat pemburu Belanda P-40 Kitty Hawk (Curtiss), ketiga penerbang terbang rendah di atas puncak- puncak pohon. Begitu penerbang ketiga mendarat pukul 06.20, ketiga pesawat yang baru saja menunaikan misi pengeboman tadi segera disembunyikan. Aksi pembalasan Belanda datang tak lama kemudian. Pukul 07.05 dua Kitty Hawk meraung-raung di atas Yogyakarta. Mereka menembak dengan gencar, tetapi tidak ada korban jiwa.
Aksi ketiga penerbang AU RI di atas merupakan operasi udara pertama dalam sejarah RI melawan agresor, sekaligus juga aksi balasan terhadap Belanda yang sejak tanggal 21 Juli 1947 terus menyerbu Republik dengan membabi buta.
Ada tiga efek yang ditimbulkan dari operasi udara itu. Pertama, meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia dan menambah rasa percaya diri. Kedua, aspek diplomasi yaitu pengakuan atas keberadaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia di masyarakat dunia. Ketiga, aspek militer yaitu keberadaan Angkatan Udara RI diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda.
Serangan yang dilancarkan di pagi buta itu, tidak hanya memporakporandakan kubu-kubu pertahanan Belanda, namun lebih dari itu menurunkan mental dan semangat pasukannya. Ini terbukti dengan pemadaman lampu di seluruh kota besar di Jawa Tengah pada malam hari untuk mencegah serangan udara dari pasukan Indonesia. Untuk mengembalikan semangat tempur tersebut, Belanda melancarkan serangan balasan dan tidak mengindahkan lagi aturan perang.
Pada sore harinya Belanda menembak jatuh pesawat carteran republik Indonesia dari Singapura yang sedang membawa obat-obatan PMI. akibatnya putra terbaik AU kita yaitu Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara Adisumarmo yang saat itu turut serta di dalam pesawat gugur.