Marhaenisme Sintesa Bung Karno adalah sintesa yang tajam dan berani. Sintesa itu tidak hanya hasil dari renungannya seorang pejuang, yang gandrung kepada persatuan, tapi pula hasil dari pada situasi tahun 1926-1927 itu sendiri. Tahun 1926-1927 adalah tahun-tahun memuncaknya reaksi; tapi iapun adalah tahun-tahun memuncaknya kekuatan-kekuatan revolusi. Malahan justru karena kekuatan-kekuatan revolusi meningkat kekuatan-kekuatan reaksi bersiap-siap. Apakah jaman 1926-1927 itu? Ia adalah jaman Internationale Democratische Congres di Bierville, dimana Perhimpunan Indonesia, perhimpunan mahasiswa-mahasiswa kita di negeri Belanda bekerja sama dengan kaum sosialis internasional. Ia adalah jaman Kongres Liga melawan koloniale onderdrukking di Brussel, dimana mahasiswa-mahasiswa seluruh Asia bertemu dengan gerakan progressif internasional. Ia adalah jaman konvensi Hatta-Semaun dimana kaum komunis menyatakan kesediannya untuk bekerja erat dengan kaum nasionalis dibawah pimpinan Perhimpunan Indonesia. Ia adalah pasang naiknya gerakan rakyat yang revolusioner. Tapi ia juga adalah jaman penghantaman dan pemukulan oleh kolonialisme terhadap gerakan kemerdekaan ini. Di Indonesia PKI dihantam; SI dihalang-halangi; dinegeri Belanda pemuda-pemuda, Hatta, Ali Sastroamijojo, Nazir Pamuncak diproses. Dan ditengah-tengah keadaan demikian itulah Bung Karno menghasilkan sintesa tersebut; dimaksud untuk menyelamatkan dan melanjutkan cita-cita kemerdekaan, demokrasi dan sosialisme. Pada tanggal 4 Juli 1927, ditengah-tengah gemuruhnya reaksi maka didirikan PNI dipimpin oleh Bung Karno, Mr. Iskaq, dr. Samsi, Mr. Budiarto, Mr. Sartono, Mr. Sunario dan Ir. Anwari. Karena itu tepat sekali apa yang dikatakan oleh Benda dan Ruth McVey, bahwa taun 1926-1927 adalah a decisive turning point, yaitu karena: 1. politik kaum ethici Belanda terhadap Indonesia gagal 2. aliran kanan dalam pemerintahan Hindia Belanda menang 3. gerakan nasionalis kiri tampil kemuka di Indonesia. Kesemuanya ini mengakibatkan bahwa sepanjang tahun-tahun 1929, 1934,1941 dan sejak Proklamasi kita sampai sekarang (1964) tidak dimungkinkan adanya asosiasi politik antara kaum nasionalis Indonesia dengan kaum kolonialis Belanda. Jikalau kita membaca dengan teliti segala buah pena pemimpin-pemimpin kita pada waktu itu, juga mempelajari pidato-pidato mereka maka pengaruh sintesa anatar Marxisme, Nasionalisme dan Islam sangat mendalam sekali. Jiwanya tetap sosialistis, nasional dan revolusioner. Pengaruh tulisan-tulisan Kausky, terutama yang dipaparkan dalam referaatnya bernama : Sosialismus und Koloniale Politik, dimuka Kongres Internasionale ke-II tahun 1907, yang menganalisir semua situasi koloni dan yang mengadakan perbedaan-perbedaan antara Arbeidkolonien (koloni-koloni untuk memindahkan tenaga-tenaga buruh) dan Ausbeutungskolonien (koloni-koloni untuk penghisapan), terbagi lagi dalam Ausbeutungskolonien alten Stils (kolonie untuk handels kapitaal) dan Ausbeutungskolonien neuen Stils (koloni-koloni modern untuk pasaran industri dan penanaman modal), terlihat sebagai benang merah di seluruh karya-karyanya pemimpin-pemimpin kita. Petunjuk-petunjuk Kausky untuk machtsvorming dan massa aksi di dalam bukunya Der Weg zur Macht, juga menjadi pedoman-pedoman yang berharga bagi pemimpin-pemimpin kita dewasa itu. Terutama Bung Karno baik dalam Suluh Indonesia Muda, dalam pembelaannya Indonesia Menggugat, dalam majalah-majalah Fikiran Rakyat, dalam karyanya Mencapai Indonesia Merdeka, bulan Maret 1933, yang menyebabkan beliau dibuang ke Flores, memperlihatkan dengan tegas sekali benang merah itu. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya Bung Hatta, Sjahrir, Ali Sastroamijoyo, Sartono, Suwandi dan lain-lain lagi dalam majalah-majalah Daulat Rakjat, Suluh Indonesia Muda, dan sebagainya; ya, dalam buku kecil Kamus Marhaen karyanya Sdr. Doel Arnowo yang menyebabkan beliau harus bertamasya dan melihat tembok-tembok penjara dari dalam untuk 15 bulan lamanya. Kesemuanya cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial seluruh lapisan rakyat ini, dicakup oleh Bung Karno dalam paham Marhaenisme; Marhaen adalah nama seorang tani yang beliau jumpai di selatan Bandung, dan yang beliau simbolisir bagi verzamelnaam setiap rakyat Indonesia, yang menjadi korban daripada kolonialisme tanpa memandang agamanya ataupun paham politiknya. Pengertian kolonialisme dalam hubungan ini adlah kolonialisme sebagai anak kelahiran sistem imprealisme, sedangkan imprealisme adalah tingkat tertinggi dari kapitalisme. Menurut Bung Karno maka dengan menggunakan ajaran-ajaran Marx sebagai suatu metode kerja, maka masyarakat Indonesia, in groszen Ganzen tidak mengenal lagi kelas-kelas lapisan bangsa sendiri. Pada umumnya semua sudah diverproletarisir atau dijembelkan. Berbeda dengan hasil tinjauannya Karl Marx, mengenai masyarakat Eropah Barat, yang telah mengalami Revolusi Industri, yang sistem kapitalismenya disana menghasilkan kaum buruh massal dan menderita kemiskinan, dengan sebutan kaum proletar, maka Bung Karno di Indonesia datang dengan satu kesimpulan bahwa tidak hanya kaum buruh saja (proletar) yang sengsara, tapi semua golongan, ya taninya, ya pedagangnya, ya nelayannya, ya beambtenya, ya alim ulamanya, semuanya menderita kemiskinan dan kemelaratan. Berhubungan dengan hal itu maka pesanan Bung Karno ialah bukan klassenstrijd antar bangsa sendiri, melainkan persatuan nasional untuk melawan sistem kolonialisme Belanda. Di Indonesia pada hakekatnya klassenstrijd adalah jatuh bersamaan dengan raciale-strijd. Karena itu bagi Bung Karno jeritannya bukanlah kaum proletar sedunia bersatulah, melainkan kaum marhaen Indonesia bersatulah!. Seorang penulis Amerika Louis Fischer, pernah mengumpamakan Marhaenisme itu Smith-isme untuk masyarakat Amerika, karena disana Smith adalah nama yang paling banyak dipakai oleh orang-orang kecil; dan andaikata Bung Karno pada waktu itu tidak berjalan-jalan di Bandung Selatan, tapi di desa-desa di sekitar Malang sini, dan ia berjumpa dengan Pak Kromo atau Pak Bakat, maka ia tentu akan menamakan teorinya; Kromoisme atau Bakat-isme. Jikalau kita hendak mengikuti ajaran-ajaran Marhaenisme itu dari bapak penciptanya sendiri, maka baiklah kita ikuti apa yang diputuskan oleh Konferensi Partindo di Mataram tahun 1933, tentang Marhaen dan Marhaenisme yang berbunyi: 1. Marhaenisme adalah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi 2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain 3. PARTINDO memakai perkaraan marhaen dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu maka kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya 4. Karena PARTINDO berkeyakinan bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya maka PARTINDO memakai perkataan marhaen itu. 5. Didalam perjuangan marhaen itu maka PARTINDO berkeyakinan bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali 6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen 7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu yang oleh karenanya harus suatu cara perjuangan yang revolusioner. 8. Jadi Marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imprealisme 9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang Indonesia yang menjalankan Marhaenisme. Itulah 9 pokok tentang Marhaen dan Marhaenisme, seperti yang diputuskan dalam Konferensi Partindo tahun 1933 itu. A un bon entendeur, un demi mot suffit, demikian kata peribahasa Perancis yang berarti bahwa bagi seorang pendengar pendengar yang tajam kata separo itu cukup. Dan bagi seorang pendengar yang tajam demikian itu, dapat dilihat dalam 9 pokok ini bahwa Marhaenisme adalah sosialisme, yang mengunakan Marxisme sebagai metode analisa masyarakat Indonesia. Sewaktu dalam tahun-tahun yang akhir ini Bung Karno mengkonstartir adanya kesimpang-siuran tentang pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis, maka beliau menjelaskan sekali lagi pengertian-pengertian tersebut dalam amanatnya di muka Kongres Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (G.m.n.I.) di Tawang Mangu pada bulan Februari 1959. Bunyi amanat itu antara lain: 1. Marhaenisme adalah azas, yang menghendaki susunan masyarakat kaum Marhaen. 2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya. 3. Marhaenisme adalah dus azas dan cara perjuangan tegelijk, menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Secara positif, maka Marhaenisme saja namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang sosial bewust pula. Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu? Yang saya namakan kaum Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur: Pertama : unsur kaum proletar Indonesia (buruh) Kedua : unsur kaum tani melarat Indonesia, dan Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain. Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot bangsa,yang mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen itu, dan yang bersama-sama dengan tenaga massa marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imprealisme dan kolonialism, dan yang bersama-sama dengan massa marhaen itu membanting tulang untuk membangunkan negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur. Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan diatas tadi. Camkan benar-benar!; setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama dengan kaum Marhaen! Demikianlah isi amanat Bung Karno itu. Jikalau kita meneliti kesemuanya itu, maka beralasanlah kiranya pendapat orang bahwa Marhaenisme adalah Marxisme, yang disesuaikan dengan kondisi dalam masyarakat Indonesia sendiri. Bung Karno sendiri berkali-kali menegaskan, bahwa orang tidak akan dapat mengerti Marhaenisme, jikalau ia tidak mempelajari dan mengerti Marxisme. Bahwa Bung Karno sendiri berkali-kali mengatakan ia seorang marxis, itu sudah saya buktikan dari berberapa ucapan-ucapannya. Malahan pernah Dr. Cipto Mangunkusumo menulis tentang Bung Karno dalam Hing Po tahun 1941, bahwa faham Marxisme adalah; “membakar Sukarno punya jiwa”. Dengan kontan Bung Karno menjawab dalam surat kabar Pemandangan tahun 1941 itu juga; “Saya ucapkan terimakasih atas kehormatan yang Dr. Cipto Mangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang!” dan Bung Karno dalam artikelnya, Sukarno, oleh…… Sukarno sendiri” dalam surat kabar Pemandangan 1941, menulis: “Dan kini saya bertanya kepada Tuan; kenalkah Tuan ‘cap Sukarno’ itu di dalam garis-garisnya yang besar”. Ada orang yang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan adalagi yang mengatkan dia bukan nasionalis, bukan islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis dia……. Sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia ‘gila’ kepada Marxisme itu. Baiklah saya tuturkan kepada tuan, betapakah………. Sukarno itu. Apakah Sukarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah …… campuran dari semua isme-isme itu!” Dengan pengakuan tentang dirinya ini, yang dalam bukunya “Sarinah” tahun 1947. diulangi lagi dengan kata-kata: “Dalam cita-cita politikku, Aku ini nasionalis, Dalam cita-cita sosialku, Aku ini sosialis, Dalam cita-cita sukmaku, Aku ini sama sekali theis, Sama sekali percaya kepada Tuhan, Sama sekali mengabdi kepada Tuhan”, Beliau pada hakekatnya menjadikan anjuran sintesanya pada tahun 1926 darah daging dalam jiwanya sendiri. Psikologis hal ini dapat diterangkan, bahwa semula berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia disekitar tahun-tahun 1920-1926 Bung Karno, menganjurkan keharusan sintesa itu. Penghidupannya dalam penjara dan pembangunan mendorong beliau untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai verpersoonlijking dari sintesa tersebut. Dan pada waktu menjelang pecahnya revolusi 17 agustus 1945 maka sintesa itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Panca Sila, ideologi pemersatu seluruh rakyat Indonesia. Karena historis-ge-interpreteerd dapat disimpulkan bahwa filsafah Pancasila itu adalah filsafah yang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat; pula berdasarkan ilmu, dan ilmu yang mendorong amal. Ilmu yang revolusioner untuk amal yang revolusioner! Dan revolusioner dalam arti kata tegas menentang sumber kemiskinan dan penghisapan di dunia ini, yaitu kapitalisme dan imprealisme. Tentang istilah-istilah ini hendaknya jangan ada kekacauan semantik; atau usaha mengacaukan semantik itu. Dan kini, dalam fase sosial ekonomis dari revolusi kita, yang beliau canangkan dalam pidato 17 Agustus 1957, sintesa itu beliau tegaskan dalam gagasan Sosialisme ala Indonesia dengan jalan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin. Saudara-saudara sekalian, Dalam hubungan perkembangan cita-cita sosialisme ini, maka sangat menarik sekali pidato Bung Hatta di RRT pada tahun 1957 dimana beliau antara lain berkata bahwa: “Marxism as a social-economie theory- a scientific theory- is used by non-comunnist in Indonesia to annalyss social development. Three objective factor have strengthened socialist ideals in Indonesia, namely: a. Marxism b. Islamic religion c. The old pattern of Indonesia”. (“Marxisme sebagai teori sosial ekonomi- suatu teori ilmiah- di Indonesia oleh kaum non-komunis digunakan untuk menganalisa pertumbuhan-pertumbuhan sosial. Tiga faktor objektif mengokohkan ide sosialisme di Indonesia, yakni: a. Marxisme b. Agama Islam c. Pola sosial Indonesia yang asli”) Dari kesemuanya itu kiranya tidak berkelebihan, jika kita menarik kesimpulan, bahwa sejarah perkembangan cita-cita sosialisme di Indonesia ini adalah kelanjutan dan peyempurnaan daripada cita-cita sejak dulu kala, dan memang benar-benar mencerminkan amanat penderitaan rakyat. Sumber: Sosialisme Indonesia, Dr. H. Roeslan Abdulgani, (1965) terbitan Jajasan Prapantja, cetakan ke-7. |