Maruli Tobing
Inilah kondisi Republik
Di Jawa Barat, SM Kartosuwirjo memproklamirkan DI/ TII, diikuti oleh Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Di Maluku, mereka yang kecewa pada pemerintah pusat, bergabung dengan elemen-elemen eks tentara kolonial, membentuk RMS (Republik Maluku Selatan). Belanda ikut pula membantu persenjataan melalui Papua Barat.
Belum lagi usai pemberontakan DI/TII dihadapi, muncul PRRI dan Permesta di Sumatera dan
Semua ini menguras energi nasional. Pembangunan ekonomi terbengkalai. Kehidupan di berbagai sektor morat-marit. Namun bagi angkatan darat, keadaan ini membuka peluang untuk tampil sebagai garda republik. Mereka mentransformasikan organisasinya menjadi kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Bung Karno tidak mampu mengimbangi permainan Angkatan Darat, yang bergerak secara sistematis dengan roda organisasinya.
Bung Karno sendiri bukannya tidak menyadari keadaan yang membahayakan itu. Namun, semangat revolusionernya yang tidak pernah pudar, yang dirumuskannya sebagai "maju terus pantang mundur," mengharuskan bekerja sama dengan Angkatan Darat. Tanpa dukungan angkatan bersenjata, khususnya Angkatan Darat, semangat itu tidak akan terdengar gaungnya, karena revolusi tidak dapat lepas dari konfrontasi dan sejenisnya. Sedang konfrontasi membutuhkan angkatan perang.
Bagi Angkatan Darat di bawah Kolonel Nasution, inilah jembatan emas menuju puncak kekuasaan. Transformasi itu mencapai puncaknya pada periode Orde Baru. Atau seperti tulis Adam Schawarz dalam bukunya A Nation in Waiting, Indonesia in 1990's, mereka yang tadinya berada di bawah pemerintahan sipil, berbalik mendominasi sipil.
ANGKATAN Darat sendiri sesungguhnya penuh dengan bisul konflik. Namun, dialihkan kepada sipil, hingga membuat citra sistem demokrasi parlementer mengalami degradasi. Jatuh-bangunnya kabinet menjadi bulan-bulanan. Bahkan dianggap sebagai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Elite politik diidentikkan dengan pengacau. Sedang jajaran pejabat sipil dituding korup dan tidak becus mengurus pemerintah.
Padahal nyaris tidak satu pun konflik yang membahayakan bangsa absen dari keterlibatan para perwira Angkatan Darat. Singkatnya, konflik bersenjata yang terjadi selama ini sebagai solusi terhadap masalah-masalah politik, baik itu Peristiwa Madiun, DI/TII, RMS, PRRI-Permesta, hingga G30S, tidak lepas dari konflik dalam tubuh angkatan perang
Percobaan kudeta ini gagal, karena Bung Karno tidak mempan digertak. Sebaliknya, Nasution malah dipecat. Waktu itu pemerintah terpaksa menolak gagasan Nasution akibat munculnya protes dari para perwira eks Pembela Tanah Air (Peta). Dalam hal ini Nasution bukannya melakukan konsolidasi menyelesaikan masalah internal, sebaliknya justru mencari sasaran ke Istana.
Sejak peristiwa itu, Angkatan Darat makin percaya diri. Apalagi setelah berhasil mendesak mundur Kabinet PM Ali Sastroamidjojo tahun 1955. Tanggal
Semua peristiwa itu bersumber pada konflik intern Angkatan Darat. Bung Karno mendukung penunjukan kembali Nasution sebagai KSAD pada tahun 1955. Ia menaruh harapan besar atas rencana reorganisasi dan rasionalisasi Nasution yang pernah ditolaknya. Tapi kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Konflik internal Angkatan Darat makin memanas.
Disadari atau tidak, harapan Bung Karno untuk "mengandangkan" Angkatan Darat dan menjauhinya dari kudeta militer, mirip suatu kemustahilan. Angkatan darat telanjur ikut dalam proses politik. Lantas jika muncul ambisinya untuk memperoleh kekuasaan politik lebih besar, jelas sulit untuk dihempang.
Persoalannya, seperti kata Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia, Angkatan Darat lahir dari situasi perjuangan politik kemerdekaan. Embrionya adalah laskar-laskar yang dibentuk oleh masing-masing partai maupun organisasi politik. Faksi-faksi menjadi lumrah. Seperti halnya dalam politik, Angkatan Darat juga tidak bisa dilepaskan dari kegiatan bisnis.
Jika pendapat ini diformulasikan dalam suatu proposisi, maka sebaliknya adalah benar bahwa penolakan Angkatan Darat terhadap demokrasi parlemen tidak dapat dilepaskan dari substansi sistem parlementer, yang mustahil memberi tempat bagi hegemoni militer. Dengan konsep one men one vote saja, Angkatan Darat tidak akan pernah di atas sipil. Pendapat yang hampir sama dikemukakan Adam Schwarz.
Mundurnya Hatta, meningkatnya perlawanan di daerah, dan pertarungan antar-elite politik di
Bagi Bung Karno, PKI yang merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia dalam jumlah anggota, dapat pula dipakai mencegah subversi imperialis AS dan sekutu-sekutunya melalui solidaritas negara-negara sosialis.
Sebaliknya PKI merasa aman di bawah payung Bung Karno. Sebagai balas budi, PKI merapatkan barisan mendukung kepemimpinan Bung Karno secara konsekuen, dan mengganyang mereka yang menentang Pemimpin Besar Revolusi. Kedekatan Bung Karno dengan PKI menimbulkan kejengkelan di kalangan Angkatan Darat dan juga parpol, khususnya Masyumi dan PKI. Tahun 1960 Nasution memerintahkan penangkapan Aidit dan anggota politbiro PKI lainnya. Namun, segera dibebaskan setelah intervensi Bung Karno.
Dalam konteks Perang Dingin yang sedang mencapai titik didih ketika itu, sikap politik Bung Karno dipandang Presiden Eisenhower sebagai membahayakan kepentingan AS di Asia Tenggara. Terlebih lagi setelah PKI mendapat suara yang begitu besar dalam pemilu. Sedang sukses Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah bukti Soekarno condong ke kiri. Maka jika awal 1950 Gedung Putih masih hati-hati menyikapi Bung Karno, setelah pertengahan 1950-an pendapatnya bulat, Bung Karno berbahaya. CIA, Dinas Intelijen AS, mulai menyusun rencana rahasia.
CIA sendiri sebenarnya sudah sejak tahun-tahun sebelumnya bergerak di
Peristiwa Cikini yang hampir menewaskan Bung Karno adalah indikasi perubahan sikap AS. Bung Karno sendiri menuding CIA dalangnya, walaupun sulit membuktikannya. Tapi tahun 1975 komisi yang diprakarsai Senator Frank Chuch mengusut kegiatan CIA, menemukan indikasinya. Di depan komisi ini, Richard M. Bissel Jr, mantan wakil direktur CIA pada masa pemerintahan Eisenhower, mengaku dinas intelijen pernah mempertimbangkan membunuh Bung Karno. Namun perencanaannya terbatas pada mengumpulkan aset yang memungkinkan untuk melaksanakannya.
Bagi Eisenhower, tidak ada jalan lain kecuali menetralisasi (baca: meniadakan) Bung Karno, entah dengan cara apa pun. Sebab, jika
Kebijakan garis keras ini diteruskan oleh Presiden Kennedy dan Lyndon B Johnson. Tapi apa sesungguhnya yang membuat AS habis-habisan intervensi di wilayah RI tidak lebih dari upaya untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan geopolitiknya, karena kekayaan sumber alam
Selain kepentingan ekonomi, posisi
Tahun 1962, satu memorandum Presiden Kennedy dengan PM Inggris Macmillan, berisi kesepakatan untuk "melikuidasi" (baca: membunuh) Presiden Soekarno, jika ada peluang untuk itu. Tahun 1966, setahun setelah meninggalkan posnya sebagai duta besar AS di Jakarta, Howard Jones mengatakan, sedikitnya ada tiga kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno setelah Peristiwa Cikini. Semuanya hampir berhasil.
Dalam bukunya Killing Hope, William Blumn malah menyebut, CIA dengan bantuan agen FBI di
Mantan anggota CIA menambahkan, dinas intelijen AS pernah pula menyebarkan berita bohong mengenai tindakan tidak senonoh Bung Karno terhadap pramugari Soviet dalam suatu penerbangan. Semua ini, ujar Blumn, dimaksud untuk mendiskreditkan Bung Karno. Namun tidak berhasil, karena rakyat
Mantan penerbang CIA, Poultry Fletcher yang menulis buku The Secret War, menyebut begitu ambisiusnya Gedung Putih menggusur Bung Karno, hingga operasi rahasia membantu PRRI-Permesta merupakan terbesar dalam sejarah CIA. Mantan kolonel penerbang AU-AS ini mengatakan, CIA telah menyiapkan peralatan militer bagi 40.000 personel PRRI-Permesta. CIA juga mengoperasikan 15 pesawat pembom B-26 yang dikemudikan penerbang
Akan tetapi sejarawan terkemuka George McT Kahin (Subversion as Foreign Policy) mengatakan, AS memasok sebagian besar persenjataan bagi 8.000 personel pemberontak di Sumatera. AS juga melibatkan elemen-elemen Armada VII dan kapal-kapal selam untuk memasok senjata.
Setelah PRRI-Permesta mulai surut, Gedung Putih menerapkan politik bermuka dua. Selain membantu militer dan perguruan tinggi
David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia mengatakan, pada periode itu AS mengirim Guy Pauker untuk menginfiltrasi Angkatan Darat melalui pembenahan Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad). Pauker juga membangun jaringan dengan intelektual PSI dan Masyumi, yang sejak lama dikenal CIA dan disebut sebagai patriot. Pauker mengenalkan konsep bakti sosial, yang tidak lain adalah bagian dari teror dan perang urat syaraf, dalam kurikulum Seskoad. Istilah "sapu bersih" pertama kali digunakan oleh Pauker. Menurut Dr Peter Dale Scott (How the US and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967), Pauker dan sahabatnya, Mayjen Suwarto, merancang struktur kurikulum yang menyiapkan Angkatan Darat mengambil alih bisnis dan pemerintahan.
Selain pembenahan Seskoad, CIA membantu program pendidikan di AS bagi perwira Angkatan Darat. Menjelang tahun 1965, sedikitnya dua pertiga perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat pernah dididik di AS.
DENGAN diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, porsi kekuasaan Angkatan Darat makin besar. Sebagai golongan fungsional, kini mereka berhak mempunyai wakil di pemerintahan. Kekuasaannya makin tidak tertandingi lagi, karena sebelum mengembalikan mandatnya PM Ali Sastroamidjojo memenuhi permintaan Nasution bagi keadaan darurat perang (SOB) secara nasional.
Nasution dengan cerdik segera memerintahkan para perwiranya mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda dari tangan buruh. Melalui perusahaan yang disita
Nasution secara ajaib berhasil mengangkat Angkatan Darat menjadi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi, hanya dalam tempo dua tahun. Sedang Bung Karno yang gembira diakhirinya sistem parlementer, tidak keberatan atas SOB. Ia mengira SOB akan menunjang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara konsekuen. Padahal kedua hal ini merupakan jembatan emas bagi Angkatan Darat menuju puncak kekuasaan.
Demikian pula ketika November 1958 ia menawarkan konsep Jalan Tengah (dwifungsi) dan kembali ke UUD 1945, yang disebutnya untuk mencegah kudeta militer. Bung Karno menyambutnya gembira melalui Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945, serta pembubaran Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955.
Sejak itu hampir sepertiga anggota kabinet diisi kalangan militer. Demikian pula pemerintahan di daerah. Tahun 1964 misalnya, dari 24 jabatan gubernur 12 dipegang oleh perwira Angkatan Darat.
Angkatan Darat de facto sudah memegang kendali kekuasaan RI. Itu sebabnya ketika Bung Karno menyerukan konfrontasi terhadap
Bung Karno amat terpukul setelah kemudian mendapat laporan dari TNI AU dan
Wakil Panglima Siaga Mayjen Soeharto, yang juga Pangkostrad, ternyata bukan saja enggan bergerak, tapi malah melakukan kontak-kontak rahasia dengan
TANGGAL 21 Januari 1965 pukul 21.48, satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta masuk ke Deplu di Washington. Isinya informasi pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada hari itu. Mengutip seorang perwira tinggi yang hadir disebutkan, ada rencana untuk mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno berhalangan. Kapan rencana ini akan dijalankan, tergantung pada keadaan konflik yang sedang dibangun beberapa pekan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian Angkatan Darat akan menyapu PKI.
Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B Johnson Lybrary dengan nomor kontrol 16687 itu menyebut, berberapa perwira yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Maret tahun itu juga Dubes Howard Jones, sebagai mana dikemukakan George Kahin, mengatakan kepada pejabat senior
Dalam analisa intelijen AS, merontokkan PKI akan membuat Bung Karno lumpuh. Atau meminjam pendapat Dr John W. Tate (From the Sukarno to the Soeharto Regimes), PKI merupakan pendukung utama Bung Karno. Tanpa PKI, Presiden Soekarno akan berhadapan dengan Angkatan Darat dan kelompok Islam yang menudingnya sekuler.
Bulan Agustus 1965 tiba-tiba muncul isu merosotnya kondisi kesehatan Presiden Tidak jelas dari mana sumber isu ini, walaupun disebut-sebut nama tim dokter RRC. Namun dalam kabel perwakilan CIA di Jakarta dengan nomor TDCS-314/ 11665-65, salah satu bagian mengutip informasi dari salah satu pembantu dekat Soekarno mengenai penyakit ginjal presiden yang sangat kronis. "Diperkirakan Soekarno bisa saja meninggal mendadak dalam waktu dekat".
Dua pekan kemudian muncul pamflet gelap yang mengungkap detail rapat-rapat CC-PKI, membahas kemungkinan mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno meninggal secara mendadak. Isi pamflet itu menimbulkan kecemasan di kalangan perwira tinggi Angkatan Darat, karena memuat daftar nama-nama jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, PKI juga mendapat pamflet gelap yang berisi rencana detail Dewan Jenderal merebut kekuasaan dan kemudian akan mengeksekusi pimpinan dan kader-kader PKI.
Dua minggu sebelum meletusnya G30S,
Mantan veteran CIA itu menyebut, inilah rekayasa disinformasi. Bahkan kemudian dibuat dokumen-dokumen palsu hingga sulit dibedakan dengan aslinya, seperti halnya juga dokumen (palsu) PKI berikut daftar nama jenderal yang akan dibunuh. Dengan cara ini CIA berhasil menimbulkan ketegangan dan saling curiga yang gawat. Sebuah pemantik kecil akan menyulutnya menjadi banjir darah.
Puncak dari semua ini adalah ketika sekelompok perwira dipimpin Letkol Untung, mantan bawahan Soeharto di Kodam Diponegoro, mencoba anggota Dewan Jenderal kepada Bung Karno. Namun entah bagaimana kemudian, atas perintah Syam (Kamaruzaman), para jenderal itu dieksekusi.
Syam-yang disebut-sebut tokoh misterius-menurut berbagai peneliti asing, pernah menjadi kader PSI dan dekat dengan Soeharto ketika di
Melalui corong RRI tersebut Untung mengatakan adanya rencana jahat Dewan Jenderal untuk menggulingkan Bung Karno. Pasukan didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal pasukan ini disiapkan untuk parade HUT ABRI 5 Oktober. Untung sendiri ikut dalam perencanaan parade tersebut. Anehnya lagi, di seberang stasiun RRI yang dikuasai gerakan ini terletak markas utama Kostrad, yang sama sekali tidak disentuh.
Sama seperti Biro Khusus, peran Untung yang sesungguhnya sulit diketahui. Ia mengalami nasib yang sama seperti Aidit. Dieksekusi ketika tertangkap dalam pelarian ke Jawa Tengah.
Situasi Jakarta sendiri tidak menentu setelah meletusnya G30S. Namun, Norman Reedway, pakar perang urat syaraf MI-6 yang berpangkalan di Singapura, mengaku bekerja sama dengan CIA menyebarkan disinformasi keterlibatan PKI. Saluran radio
Presiden Johnson melalui radiogram tanggal 9 Oktober 1965 memberi petunjuk ke Kedubes AS di Jakarta. Isinya antara lain berbunyi, inilah saat kemenangan yang paling tepat bagi pimpinan Angkatan Darat untuk bertindak, karena posisi mereka sangat menentukan atas kekuasaan Soekarno. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan, bukan mustahil akan mendapat pembalasan yang lebih keras dari oposisi. Tapi jika Angkatan Darat memenangkannya, Soekarno tidak akan pernah kembali berkuasa.
Itu pula sebabnya ketika utusan Mayjen Soeharto meminta bantuan melalui Kedubes AS di Jakarta untuk mempersenjatai milisi Muslim menghancurkan PKI di Jateng dan Jatim, Gedung Putih segera memenuhinya dengan bersembunyi di balik kiriman bantuan obat-obatan. Bahkan, seperti ungkap wartawati Kathy Cadane, Pemerintah AS melalui Kedubesnya di Jakarta memberi daftar nama 5.000 kader PKI kepada Mayjen Soeharto melalui Adam Malik.
Kolonel Latief-yang dalam pledoinya menyebut amat sangat dekat dengan mantan komandannya, Mayjen Soeharto-mengaku telah dua kali menyampaikan informasi mengenai rencana kudeta Dewan Jenderal itu. Namun, Soeharto tidak memberi reaksi apa pun. Latief yang disebut-sebut pada masa itu sebagai orang kedua setelah Letkol Untung, berkesimpulan dalam pledoinya, Dewan Jenderal itu terbukti memang ada dan berhasil menggulingkan Bung Karno.
Tapi apa pun bukti-bukti sejarah yang kelak diperoleh dalam peristiwa ini, semua tidak akan menolong 500.000-1 juta jiwa korban tewas dibunuh dalam tragedi berdarah itu hanya karena diduga kader, anggota atau simpatisan PKI. Pengungkapan kasus ini kembali tidak akan bisa pula memulihkan penderitaan 700.000 orang rakyat Indonesia, berikut keluarganya, yang ditangkap dan disiksa selama bertahun-tahun atas tuduhan yang sama.
Laporan CIA tahun 1967 menyebut, pembantaian setelah peristiwa G30S sebagai salah satu peristiwa yang sangat mengerikan dalam abad kedua puluh. Tidak kalah dengan pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman.
Inilah yang disebut sebagai tumbal tujuh Pahlawan Revolusi. Banyak elite politik kita yang hingga saat ini bangga atas pembantaian rakyat
Padahal, menurut Peter Dale Scott, empat dari enam perwira tinggi pro Jenderal Yani yang mengikuti pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada Januari 1965, tewas dalam peristiwa G30S bersama pimpinan Angkatan Darat tersebut. Ahmad Yani sendiri dikenal sebagai sangat loyal kepada Bung Karno. Sedangkan tiga dari
Peter Scott melihat peristiwa ini lebih merupakan konflik intern Angkatan Darat, yang kemudian digiring menghancurkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Tapi peneliti lainnya ada yang melihat peristiwa ini memang melibatkan unsur PKI.
Bung Karno dipaksa mendelegasikan kekuasaan melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto. Seperti halnya misteri G30S, Supersemar juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Apakah benar ada, apakah benar sudah ditandatangani Soekarno. Naskah aslinya sendiri "lenyap".
Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Proklamator ini, seperti dikemukakan Adam Schwarz dan John Tate, kembali dipaksa menyerahkan kedudukannya, setelah diancam akan diseret ke pengadilan. Bung Karno akhirnya lengser dan dikenai status tahanan rumah. Ia diinterogasi secara maraton oleh perwira militer. Proklamator dan Bapak Bangsa ini menjadi pesakitan oleh bangsanya sendiri.
Lantas apakah masuk akal Proklamator ini terlibat dalam pembunuhan para jenderal yang loyal kepadanya, dan tidak disukai oleh Soeharto yang anti-Bung Karno?
* Maruli Tobing Wartawan Kompas.