Sabtu, 24 November 2001
Sabtu, 17 November 2001
Pengantar Ilmu Hukum
I. Pengertian hukum
Pengertian
Hukum dapat dilihat dari 2 cara yaitu : secara etimologis dan dari para ahli.
Secara etimologis Hukum dapat di bagi menjadi 4 yaitu : Hukum , Recht,Lex, Ius.
- Hukum berasal dari bahasa Arab dan bentuk tunggal, jamaknya dari istilah Alkas yang diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi hukum.
- Recht berasal dari bahasa Latin Rechtum yang mempunyai arti tuntunan,bimbingan , pemerintahan. Selalu didukung oleh kewibawaan. Menimbulkan istilah Bahasa Belanda Gerechtigdheid dan Gerechtigkeit dari Bahasa Jerman yang berarti keadilan.
- Lex berasal dari bahasa Latin berasal dari kata Lesere artinya mengumpulkan orang-orang yang diberi perintah.
- Ius berasal dari bahasa latin yang berarti hukum. Dari kata Lubere yang berarti mengatur / memerintah. Secara Etimologis disimpulkan ius yang berarti hukum bertalian erat dengan keadilan yang mempunyai 3 unsur : wibawa, keadilan, dan tata kedamaian.
Jadi dapat disimpulkan hukum :
- Pengertian hukum bertalian erat dengan keadilan.
- Pengertian hukum
bertalian erat dengan kewibawaan.
- Pengertian hukum
bertalian erat dengan ketataan.
- Pengertian hukum bertalian erat dengan peraturan (yang berisi norma).
Sedangkan menurut para ahli :
1.Prof. Dr. P. Borst :
Hukum adalah keseluruhan peraturan
bagi kelakuan / perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaanya dapat
dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata / keadilan dan kedamaian.
2. Prof . DR. Van Kan :
Hukum adalah keseluruhan peraturan
hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam
masyarakat.
3. Suardi Tasrif, S.H :
Hukum adalah keseluruhan
peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa dan dibuat oleh yang berwenang
berisikan suatu perintah/ larangan/ izin untuk berbuat sesuatu serta dengan
maksud untuk mengatur tata tertib kehidupan masyarakat.
4. M.H. Tirtaanardjaja, S.H :
Hukum adalah semua aturan / norma
yang harus ditaati dalam tingkah laku,tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup
dengan ancaman harus mengganti kerugian jika melangggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri/ harta (umpama orang akan hilang
kemerdekaannya,didenda,dsb).
Kesimpulan hukum dari para ahli
dari 4 unsur :
- Hukum bersifat memaksa dan ditaati.
- Peraturan dibuat dari yang berwenang.
- Hukum memerintahkan dan melarang.
- Mengatur tata tertib masyarakat.
Hukum adalah : Peraturan atau
norma, petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Norma hukum
diadakan guna ditujukan pada kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat
dengan demikian pengertian hukum adalah pengertian sosial. Pelaksanaan hukum
dapat dipaksakan ( hukum mempunyai sanksi bagi yang melanggarnya). Adapun
sanksi dari pelanggaran tersebut adalah : Denda, Ganti Rugi, Sosial, Penjara.
II. KETAATAN PADA HUKUM.
a. Karena orang merasakan bahwa
peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum.
b. Supaya ada rasa ketentraman.
c. Karena masyarakat
menghendakinya.
d. Karena adanya paksaan ( sanksi )
sosial.
Beberapa teori dan aliran yang menyebabkan hukum ditaati orang :
a. Mazhab Hukum Alam atau Hukum Kodrat
Mazhab hukum Alam adalah suatu
aliran yang menelaah hukum dengan bertitik tolak dari keadilan yang mutlak
artinya bahwa keadilan tidak boleh digangggu.
Hukum Alam adalah hukum yang
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1.
Terlepas dari kehendak manusia, atau tidak
bergantung pada pandangan manusia.
2.
Berlaku tidak mengenal batas waktu, artinya
berlaku kapan saja.
3.
Bersifat universal artinya berlaku bagi semua
orang.
4.
Berlaku di semua tempat atau berlaku dimana saja
tidak mengenal batas tempat.
5.
Bersifat jelas bagi manusia.
Adapun ajaran hukum alam ini
meliputi :
1. Ajaran hukum alam Aristoteles.
Aristoteles menyatakan bahwa ada dua
macam hukum yaitu : Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara
dan Hukum yang tidak tergantung dari
pandangan manusia. Hukum yang kedua ini adalah hukum alam yaitu hukum yang
tidak tergantung dari pandangan manusia akan tetapi berlaku untuk semua
manusia, kapan saja dan dimanapun dia berada.
2. Ajaran hukum alam Thomas Aquino
Thomas Aquino berpandangan bahwa
alam itu ada ,yaitu dalam hukum abadi yang merupakan rasio Ketuhanan ( Lex
Aeterna ) yang menguasai seluruh dunia sebagai dasar atau landasan bagi
timbulnya segala undang-undang atau berbagai peraturan hukum lainnya dan
memberikan kekuatan mengikat pada masing-masing peraturan hukum tersebut.
3. Ajaran hukum alam Hugo de Groot
( Grotius)
Hugo de Groot berpendapat bahwa
hukum alam bersumber dari akal manusia. Hukum kodrat adalah pembawaan dari
setiap manusia dan merupakan hasil perimbangan dari akal manusia itu sendiri,
karena dengan menggunakan akalnya manusia dapat memahami apa yang adil dan apa
yang tidak adil, mana yang jujur dan mana yang tidak jujur.
b. Mazhab Sejarah
Mazhab sejarah dipelopori oleh
Friedrich Carl von Savigny.
Mazhab ini merupakan reaksi
terhadap para pemuja hukam alam atau hukum kodrat yang berpendapat bahwa hukum
alam itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala bangsa, untuk semua
tempat dan waktu.Mazhab sejarah berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu
ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempat.
c. Teori Theokrasi
Teori ini menganggap bahwa hukum
itu kemauan Tuhan.
Dasar kekuatan hukum dari teori ini
adalah kepercayaan kepada Tuhan.
d. Teori Kedaulatan Rakyat (
Perjanjian Masyarakat )
Pada zaman Renaissance timbul teori
yang mengajarkan bahwa dasar hukum itu adalah “ akal atau rasio “ manusia (
aliran Rasionalisme rakyat ). Menurut aliran Rasionalisme ini bahwa Raja dan
penguasa negara lainnya memperoleh kekuasaanya itu bukanlah dari Tuhan , tetapi
dari rakyatnya.
e. Teori Kedaulatan Negara
Teori ini timbul pada abad 19 pada
waktu memuncaknya ilmu pengetahuan alam. Teori ini menentang teori perjanjian
masyarakat. Menurut teori ini :
- Hukum adalah kehendak negara.
- Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.
f. Teori kedaulatan hukum
Teori ini merupakan penentang teori kedaulatan
negara, teori ini berpendapat :
- Hukum berasal dari perasan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat.
- Hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat.
- Oleh karena itu hukum ditaati oleh anggota masyarakat.
Kodifikasi dan Perkembangan hukum
Pengertian Kodifikasi hukum
adalah : pembukuan hukum dalam suatu
himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama.
Tujuan kodifikasi hukum adalah agar
didapat suatu rechtseenheid ( kesatuan hukum ) dan suatu rechts-zakerheid (
kepastian hukum).
Aliran –aliran Hukum
Sebagai akibat kemajuan dan
perkembangan masyarakat maka timbullah aliran –aliran hukum sebagai berikut :
1. Aliran Freie Rechtslehre.
Ajaran ini timbul pada tahun 1840, karena Ajaran Legisme dianggap tidak
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Aliran Legisme berpandangan bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang dan di luar Undang- Undang tidak
ada hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi.
Menurut paham Freie Rechtslehre
atau hukum bebas menyatakan bahwa hukum tumbuh didalam masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat
berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam ( kodrat) yang sudah merupakan
tradisi sejak dahulu, baik yang diajarkan oleh agama maupun yang merupakan adat
istiadat.
Selanjutnya aliran Freie
Rechtslehre berkembang menjadi dua aliran yaitu :
- Aliran hukum bebas sosiologis, yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis.
- Aliran hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum bebas adalah hukum alam.
- Aliran
Rechtsvinding ( Penemuan hukum )
Aliran ini bertolak belakang dengan
aliran hukum bebas, kalu aliran hukum bebas bertolak pada hukum di luar Undang-
Undang, maka aliran Rechtsvinding mempergunakan Undang-Undang dan Hukum di luar
undang-undang. Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada
Undand-Undang dan apabila ia tidak menemukan hukumnya, maka ia harus
menciptakan hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interpretasi
( penafsiran terhadap Undang- Undang ) dan melakukan konstruksi hukum apabila
ada kekosongan hukum.
Menurut aliran Rechtsvinding ,
hukum terbentuk dengan beberapa cara :
- Karena Wetgeving ( pembentukan Undang-Undang )
- Karena administrasi ( tata usaha negara )
- Karena peradilan rechtsspraak atau peradilan
- Karena kebiasaan/ tradisi yang sudah mengikat masyarakat.
- Karena ilmu ( wetenschap)
3. Aliran Legisme
Aliran berpendapat bahwa :
- Satu-satunya aliran hukum adalah Undang-Undang
- Di Luar Undang-Undang tidak ada hukum
Dalam aliran Legisme ini hakim
hanya didasarkan pada Undang – Undang saja.
Aliran yang berlaku di Indonesia , Indonesia mempergunakan
Rechtsvinding. Hal ini berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang
pada Undang- Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat. Apabila
ada perkara , hakim melakukan tindakan sebagai berikut :
- Ia menempatkan perkara dalam proporsi yang sebenarnya.
- Kemudian ia melihat pada Undang- Undang :
Apabila UU menyebutnya, maka perkara diadili
menurut Undang-Undang.
Apabila UU kurang jelas, ia mengadakan penafsiran.
Apabila ada ruangan-ruangan kosong, hakim mengadakan konstruksi hukum, rechtsverfijni atau argumentum a contrario.
Apabila UU kurang jelas, ia mengadakan penafsiran.
Apabila ada ruangan-ruangan kosong, hakim mengadakan konstruksi hukum, rechtsverfijni atau argumentum a contrario.
- Hakim juga melihat jurisprodensi,hk. Agama , adat yang berlaku.
Cara Penafsiran Hukum
·
Subyektif : Apabila ditafsirkan seperi yang
membuat uandand-undang.
·
Obyektif : 1. Penafsiran lepas dari pendapat
pembuat Undang- Undang
dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
2. Penafsiran
Luas dan Sempit.
Penafsiran secara luas adalah :
apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang seluas-luasnya.
Penafsiran sempit adalah : apabila
dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sempit.
Dilihat dari sumbernya penafsiran
ada 3 yaitu : otentik,ilmiah,hakim.
Otentik : Penafsiran yang diberikan
oleh pembuat Undang-Undang seperti dalam Undang-Undang tersebut.
Ilmiah : Penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil karya para
ahli.
Hakim : Penafsiran yang bersumber dari hakim atau peradilan yang hanya mengikat pihak bersangkutan yang berlaku bagi
kasus-kasus tertentu.
Metode Penafsiran
·
Penafsiran gramatikal / tata bahasa :
Penafsiran
menurut bahasa atau kata-kata.
·
Penafsiran Historis :
Meneliti sejarah
daripada Undang – Undang yang bersangkutan .
·
Penafsiran
Sistematis :
Suatu penafsiran
yang menghubungkan pasal yang satu dengan yang lain . Dalam suatu
perundang-undangan yang bersangkutan / pada perundang-undangan hukum yang
lainnya atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan sehingga kita mengerti
apa yang dimaksud.
·
Penafsiran Sosiologis :
Penafsiran yang
disesuaikan dengan keadaan masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan
tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat.
·
Penafsiran Otentik :
Penafsiran secara
resmi yang dilakukan oleh pembuat Undang- Undang itu sendiri atau oleh instansi
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dan tidak boleh oleh
siapapun dan pihak manapun.
·
Penafsiran Perbandingan :
Suatu penafsiran
dengan membandingkan antara hukum lama dan hukum positif yang berlaku saat ini.
Antara hukum Nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial.
Bentuk konstruksi Hukum
Bentuk konstruksi hukum ada 3 yaitu
: Analogi, Penghalusan Hukum, Argumentum a Contrario.
1. Penafsiran Analogis
Penafsiran daripada peraturan hukum
dengan memberi ibarat pada kata –kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
Sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan dianggap sesuai
dengan peraturan tersebut.
2. Penghalusan Hukum (
Rechtsvertjining )
Memperlakukan hukum sedemikian rupa
,sehingga seolah –olah tidak ada pihak yang disalahkan.
3. Argumentum a Contrario
Pengungkapan secara berlawanan,
yaitu penafsiran Undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran. Artinya
berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam
suatu pasal dalam Undang-Undang. Penafsiran ini mempersempit perumusan hukum/
perundang- undangan lebih mempertegas kepastian hukum sehingga tidak
menimbulkan keraguan.
Sumber – Sumber Hukum
Sumber Hukum adalah : Segala
sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga
apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi
pelanggarnya.
Macam-macam Sumber Hukum :
1. Algra : Sumber hukum dibagi dua
macam yaitu formil dan materil.
Sumber hukum materil : tempat
darimana materi hukum itu di ambil,faktor
Pembentukan hukum
Sumber hukum formil : Tempat/
sumber dariman suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan menyebabkan peraturan itu berlaku
secara formal.
2. Van Apeldorn membedakan 4 macam
sumber hukum : Historis, Sosiologis, Filosofis, Dan Formil.
* Historis : Tempat menemukan
hukumnya dalam sejarah.
*Sosiologis : Faktor –faktor yang
menentukan isi hukum positif.
* Filosofis :
1. Sumber isi hukum ada 3
pandangan : 1. menurut Teoritis,
Menurut
Pandangan Kodrat, Mazhab Historis.
2.
Sumber Kekuatan Mengikat hukum.
* Formil : Sumber hukum yang dilihat dari cara
terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulakan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan penduduk.
3. Achmad Sanusi
Hukum terbagi 2 kelompok yaitu : Normal dan Abnormal
Abnormal : Proklamasi, Kudeta,
Revolusi.
Undang – Undang
Undang –undang adalah : Suatu peraturan negara yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara
oleh penguasa negara.
Undang undang adalah produk daripada pembentukan Undang-
Undang yang terdiri dari Presisen dan DPR. Sistem pembuatan Undang-Undang yaitu
sistem umum dan sistem lengkap. Sistem Umum adalah sistem penyusunan daripada
Undang-Undang dengan mengisi pokok-pokoknya saja. Sistem lengkap adalah Undand-
Undang oleh pembuatnya diisi oleh pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan
lebih banyak mengarah ke hukum dalam bentuk kodifikasi.
Undang- Undang dalam arti Formil dan Materil :
Dalam arti Formil :
Keputusan penguasa yang diberi nama Undang- Undang / UU yang
dilihat dari segi bentuknya. Undang-Undangnya ini dibuat serta dikeluarkan oleh
Badan Perundang-undangan yang berwenang dan dari segi bentuknya dapat disebut
undang-undang.
Dalam arti Materil :
·
Penetapan yang diikuti penetapan kaidah hukum
yang disebutkan dengan tegas.
·
Semua peraturan perundangan bersifat mengatur/
berlaku untuk umum.
·
Keputusan penguasa yang dilihat dari segi isi
mempunyai kekuatan mengikat untuk umum.
Hukum
kebiasaan
Kebiasaan adalah:
Tindakan menurut pola tingkah laku yang
tetap, lazim, normal, /adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu.
Kebiasaan juga dapat diartikan :
Suatu perbuatan manusia yang dilakukan
berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu
masyarakat yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa sehingga
masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian.
Syarat timbulnya Kebiasaan :
1. Syarat materil : Adanya perbuatan tingkah
laku, yang dilakukan berulang- ulang di dalam masyarakat
tertentu.
2. Syarat Intelektual : Adanya keyakinan
hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
3. Adanya akibat hukum bila hukum itu
dilanggar.
Hukum Kebiasaan adalah :
Himpunan kaidah-kaidah yang biarpun tidak
ditentukan oleh badan-badan perundand-undangan dalam kenyataannya ditaati juga.
Karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan ternyata
kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat yang
tidak termasuk hubungan badan-badan perundang-undangan.
Supaya hukum kebiasaan ditaati ada 2 syarat yaitu :
1. Suatu perbuatan yang tetap dilakukan
orang.
2. Keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah
merupakan kewajiban.
Kelemahan Hukum kebiasaan :
- Bahwa hukum kebiasaan mempunyai kelemahan yatu bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara dan pada umumnya sukar menggantinya.
- Tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara karena bentuk kebiasaan mempunyai sifat beraneka ragam.
Persamaan Undang- Undang dan Hukum Kebiasaan adalah :
v
Kedua-duanya merupakan penegasan pandangan hukum
yang terdapat dalam masyarakat.
v
Kedua-duanya perumusan kesadaran hukum suatu
bangsa.
Sedangkan Perbedaan Undang-Undang dan Hukum adalah :
v
Undang –Undang keputusan pemerintah yang
dibebankan kepada orang,subyek hukum. Sedangkan kebiasaan merupakan peraturan
yang timbul dari pergaulan.
v
Undang-Undang lebih menjamin kepastian hukum
daripada kebiasaan. Sedangkan kebiasaan hanya sebagai pelengkap.
KESIMPULAN
1. Dapat disimpulkan hukum adalah :
v
Pengertian Hukum bertalian erat dengan keadilan.
v
Pengertian Hukum bertalian erat dengan
kewibawaan.
v
Pengertian Hukum bertalian erat dengan ketataan
v
Pengertian Hukum bertalian erat dengan peraturan
(berisi norma)
2. Orang mentaati Hukum ada beberapa sebab yaitu :
v
Orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu
sebagai hukum.
v
Supaya ada rasa ketentraman.
v
Karena masyarakat menghendakinya.
v
Karena adanya paksaan / sangsi sosial
3. Kekuatan suatu Undang- Undang
dipengaruhi oleh beberapa hal :
v
Undang-Undang yang lebih rendah derajatnya tidak
boleh bertentangan dengan Undang- Undang yang lebih tinggi.
v
Undang- Undang yang lebih tinggi derajatnya
dapat membatalkan Undang- Undang yang derajatnya lebih rendah.
v
Dalam Undang- Undang yang sama derajatnya serta
sama persoalan yang diaturnya berlaku asas bahwa Undang- Undang yang baru
menekan / membatalkanUndang- Undang yang lebih dahulu keluar.
v
Undang-Undang yang mengikat hal-hal yang akan
datang
Sabtu, 03 November 2001
BUKU 1 BAB 5
BAB V
PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
Pasal 55
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 57
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 58
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Pasal 59
Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal 60
Membantu melakukan pelangaran tidak dipidana.
Pasal 61
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertiban selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
(2) Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.
Pasal 62
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.
(2) Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut sudah menetap di luar Indonesia.
PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA
Pasal 55
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 57
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 58
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Pasal 59
Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Pasal 60
Membantu melakukan pelangaran tidak dipidana.
Pasal 61
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penertiban selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan kepada penerbit.
(2) Aturan ini tidak berlaku jika pelaku pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.
Pasal 62
(1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila dalam barang cetakkan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh pencetak.
(2) Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakkan terbit, tidak dapat dituntut sudah menetap di luar Indonesia.
BUKU 1 BAB 4
BAB IV
PERCOBAAN
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
BUKU 1 BAB 3
BAB III
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MENGURANGI ATAU MEMBERATKAN PIDANA
Pasal 44
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena daya akalnya (zijner verstandelijke vermogens) cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Pasal 45
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 47
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
Pasal 48
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht), tidak dipidana.
Pasal 49
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.
Pasal 51
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal 52
Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Pasal 52a
Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.
HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN, MENGURANGI ATAU MEMBERATKAN PIDANA
Pasal 44
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena daya akalnya (zijner verstandelijke vermogens) cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Pasal 45
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 47
(tidak berlaku lagi menurut UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak)
(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
Pasal 48
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht), tidak dipidana.
Pasal 49
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.
Pasal 51
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Pasal 52
Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya , atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Pasal 52a
Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.
BUKU 1 BAB 2
BAB II
PIDANA
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. � pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. � pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Pasal 11
Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Pasal 12
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Pasal 13
Para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan.
Pasal 14
Terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29.
Pasal 14a
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
Pasal 14b
(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
(2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal 14c
(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3)� Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal 14d
(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan putusan.
(2) Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
(3)� Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.
Pasal 14e
Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal 14f
(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka ats usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberika peringatan itu.
(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang memnjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.
Pasal 15
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pasal 15a
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan undang-undang.
Pasal 18
(1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.
(2)� Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.
(3) Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Pasal 19
(1) Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29.
(2) Ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang dijatuhi pidana penjara.
Pasal 20
(1) Hakim yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu bulan, boleh menetapkan bahwa jaksa dapat mengizinkan terpidana bergerak dengan bebas di luar penjara sehabis waktu kerja.
(2) Jika terpidana yang mendapat kebebasan itu mendapat kebebasan itu tidak datang pada waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk menjalani pekerjaan yang dibebankan kepadanya, maka ia harus menjalani pidananya seperti biasa kecuali kalau tidak datangnya itu bukan karena kehendak sendiri.
(3) Ketentuan dalam ayat 1 tidak diterapkan kepada terpidana karena terpidana jika pada waktu melakukan tindak pidana belum ada dua tahun sejak ia habis menjalani pidana penjara atau pidana kurungan.
Pasal 21
Pidana kurungan harus dijalani dalam daerah dimana si terpidana berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau jika tidak punya tempat kediaman, di dalam daerah dimana ia berada, kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaannya terpidana membolehkan menjalani pidananya di daerah lain.
Pasal 22
(1) Terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di suatu tempat yang digunakan untuk menjalani pidana penjara, atau pidana kurungan, atau kedua-duanya, segera sehabis pidana habis hilang kemerdekaan itu selesai, kalau diminta, boleh menjalani kurungan di tempat itu juga.
(2) Pidana kurungan karena sebab di atas dijalani di tempat yang khusus untuk menjalani pidana penjara, tidak berubah sifatnya oleh karena itu.
Pasal 23
Orang yang dijatuhi pidana kurungan, dengan biaya sendiri boleh sekedar meringankan nasibnya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 24
Orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja di dalam atau di luar tembok tempat orang-orang terpidana.
Pasal 25
Yang tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok tempat tersebut ialah :
1. Orang-orang yang di jatuhi pidana penjara seumur hidup;
2. Para wanita;
3. Orang-orang yang menurut pemeriksaan dokter tidak boleh menjalankan pekerjaan demikian.
Pasal 26
Jikalau mengingat keadaan diri atau masyarakat terpidana, hakim menimbang ada alasan, maka dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja di luar tembok tempat orang-orang terpidana.
Pasal 27
Lamanya pidana penjara untuk waktu tertentu dan pidana kurungan dalam putusan hakim dinyatakan dengan hari, minggu, bulan, dan tahun; tidak boleh dengan pecahan.
Pasal 28
Pidana penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat asal saja terpisah.
Pasal 29
(1) Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau kedua-duanya, begitu juga hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu, hal membedakan orang terpidana dalam golongan-golongan, hal mengatur pemberian pengajaran, penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan, dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang ini.
(2) Jika perlu, Menteri Kehakiman menetepkan aturan rumah tangga untuk tempat-tempat orang terpidana.
Pasal 30
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 31
(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.
(2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya.
(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Pasal 32
(1) Pidana penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di dalam tahanan sementara, pada hari ketika putusan hakim menjadi tetap, dan bagi terpidana lainnya pada hari ketika putusan hakim mulai dijalankan.
(2) jika dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan atas beberapa perbuatan pidana, dan kemudian putusan itu bagi kedua pidana tadi menjadi tetap pada waktu yang sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara karena kedua atau salah satu perbuatan pidana itu, maka pidana penjara mulai berlaku pada saat ketika putusan hakim menjadi tetap, dan pidana kurungan mulai berlaku setelah pidana penjara habis.
Pasal 33
(1) Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada dalam tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian di potong dari pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang dijatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda dengan memakai ukuran menurut pasal 31 ayat 3.
(2) Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika pemotongan itu dinyatakan khusus dalam putusan hakim.
(3) Ketentuan pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut bareng karena melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara.
Pasal 33a
Jika orang yang ditahan sementara di jatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 34
Jika terpidana selama menjalani pidana melarikan diri, maka waktu selama di luar tempat menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 35
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :
1. � hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. � hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3. � hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. � hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. � hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6. � hak menjalankan mata pencarian tertentu.
(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Pasal 36
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dan hak memasuki Angkatan Bersenjata, kecuali dalam hal yang diterangkan dalam Buku Kedua, dapat di cabut dalam hal pemidanaan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus sesuatu jabatan, atau karena memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan pada terpidana karena jabatannya.
Pasal 37
(1) Kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:
1. � orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya;
2. � orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan, yang tersebut dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.
(2) Pencabutan tersebut dalam ayat 1 tidak boleh dilakukan oleh hakim pidana terhadap orang-orang yang baginya diterapkan undang-undang hukum perdata tentang pencabutan kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dan kekuasaan pengampu.
Pasal 38
(1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1. � dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;
2. � dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. � dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
(2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.
Pasal 39
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 40
Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut barang-barang denga melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.
Pasal 41
(1) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar.
(2) Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut : tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(4) Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
(5) Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di hapus.
Pasal 42
Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.
Pasal 43
Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.
PIDANA
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. � pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. � pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Pasal 11
Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Pasal 12
(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
Pasal 13
Para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan.
Pasal 14
Terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29.
Pasal 14a
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudianhari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
Pasal 14b
(1) Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
(2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
Pasal 14c
(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3)� Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.
Pasal 14d
(1) Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk menjalankan putusan.
(2) Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
(3)� Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan bantuan itu, diatur dengan undang-undang.
Pasal 14e
Atas usul pejabat dalam pasal ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain daripada orang yang diperintahkan semula, supaya memberi bantuan kepada terpidana dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat diterapkan untuk masa percobaan.
Pasal 14f
(1) Tanpa mengurangi ketentuan pasal diatas, maka ats usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberika peringatan itu.
(2) Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanan yang memnjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.
Pasal 15
(1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
(2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pasal 15a
(1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
(2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
(4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana.
(5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
(6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru.
Pasal 15b
(1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
(2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya.
(3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16
(1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.
(3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Pasal 17
Contoh surat pas dan peraturan pelaksanaan pasal-pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan undang-undang.
Pasal 18
(1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.
(2)� Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.
(3) Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Pasal 19
(1) Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29.
(2) Ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang dijatuhi pidana penjara.
Pasal 20
(1) Hakim yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu bulan, boleh menetapkan bahwa jaksa dapat mengizinkan terpidana bergerak dengan bebas di luar penjara sehabis waktu kerja.
(2) Jika terpidana yang mendapat kebebasan itu mendapat kebebasan itu tidak datang pada waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk menjalani pekerjaan yang dibebankan kepadanya, maka ia harus menjalani pidananya seperti biasa kecuali kalau tidak datangnya itu bukan karena kehendak sendiri.
(3) Ketentuan dalam ayat 1 tidak diterapkan kepada terpidana karena terpidana jika pada waktu melakukan tindak pidana belum ada dua tahun sejak ia habis menjalani pidana penjara atau pidana kurungan.
Pasal 21
Pidana kurungan harus dijalani dalam daerah dimana si terpidana berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau jika tidak punya tempat kediaman, di dalam daerah dimana ia berada, kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaannya terpidana membolehkan menjalani pidananya di daerah lain.
Pasal 22
(1) Terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di suatu tempat yang digunakan untuk menjalani pidana penjara, atau pidana kurungan, atau kedua-duanya, segera sehabis pidana habis hilang kemerdekaan itu selesai, kalau diminta, boleh menjalani kurungan di tempat itu juga.
(2) Pidana kurungan karena sebab di atas dijalani di tempat yang khusus untuk menjalani pidana penjara, tidak berubah sifatnya oleh karena itu.
Pasal 23
Orang yang dijatuhi pidana kurungan, dengan biaya sendiri boleh sekedar meringankan nasibnya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 24
Orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja di dalam atau di luar tembok tempat orang-orang terpidana.
Pasal 25
Yang tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok tempat tersebut ialah :
1. Orang-orang yang di jatuhi pidana penjara seumur hidup;
2. Para wanita;
3. Orang-orang yang menurut pemeriksaan dokter tidak boleh menjalankan pekerjaan demikian.
Pasal 26
Jikalau mengingat keadaan diri atau masyarakat terpidana, hakim menimbang ada alasan, maka dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan bekerja di luar tembok tempat orang-orang terpidana.
Pasal 27
Lamanya pidana penjara untuk waktu tertentu dan pidana kurungan dalam putusan hakim dinyatakan dengan hari, minggu, bulan, dan tahun; tidak boleh dengan pecahan.
Pasal 28
Pidana penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat asal saja terpisah.
Pasal 29
(1) Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau kedua-duanya, begitu juga hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu, hal membedakan orang terpidana dalam golongan-golongan, hal mengatur pemberian pengajaran, penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan, dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang ini.
(2) Jika perlu, Menteri Kehakiman menetepkan aturan rumah tangga untuk tempat-tempat orang terpidana.
Pasal 30
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 31
(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.
(2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya.
(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Pasal 32
(1) Pidana penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di dalam tahanan sementara, pada hari ketika putusan hakim menjadi tetap, dan bagi terpidana lainnya pada hari ketika putusan hakim mulai dijalankan.
(2) jika dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan atas beberapa perbuatan pidana, dan kemudian putusan itu bagi kedua pidana tadi menjadi tetap pada waktu yang sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara karena kedua atau salah satu perbuatan pidana itu, maka pidana penjara mulai berlaku pada saat ketika putusan hakim menjadi tetap, dan pidana kurungan mulai berlaku setelah pidana penjara habis.
Pasal 33
(1) Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada dalam tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian di potong dari pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang dijatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda dengan memakai ukuran menurut pasal 31 ayat 3.
(2) Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika pemotongan itu dinyatakan khusus dalam putusan hakim.
(3) Ketentuan pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut bareng karena melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara.
Pasal 33a
Jika orang yang ditahan sementara di jatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 34
Jika terpidana selama menjalani pidana melarikan diri, maka waktu selama di luar tempat menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Pasal 35
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :
1. � hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. � hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3. � hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. � hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. � hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6. � hak menjalankan mata pencarian tertentu.
(2) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Pasal 36
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dan hak memasuki Angkatan Bersenjata, kecuali dalam hal yang diterangkan dalam Buku Kedua, dapat di cabut dalam hal pemidanaan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus sesuatu jabatan, atau karena memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan pada terpidana karena jabatannya.
Pasal 37
(1) Kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:
1. � orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya;
2. � orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan, yang tersebut dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.
(2) Pencabutan tersebut dalam ayat 1 tidak boleh dilakukan oleh hakim pidana terhadap orang-orang yang baginya diterapkan undang-undang hukum perdata tentang pencabutan kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dan kekuasaan pengampu.
Pasal 38
(1) Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1. � dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;
2. � dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. � dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
(2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan.
Pasal 39
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 40
Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut barang-barang denga melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.
Pasal 41
(1) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar.
(2) Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut : tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(4) Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
(5) Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di hapus.
Pasal 42
Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.
Pasal 43
Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.
BUKU 1 BAB 1
BAB I
BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 1
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Pasal 2
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1. � salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131.
2. � suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
3. � pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
4. � salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 5
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterspksn bsgi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
1. � salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
2. � salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal 6
Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab XXVIII Buku Kedua
Pasal 8
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan BAb IX Buku ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Pasal 9
Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 1
(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Pasal 2
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1. � salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131.
2. � suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
3. � pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
4. � salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Pasal 5
(1) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterspksn bsgi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
1. � salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
2. � salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Pasal 6
Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab XXVIII Buku Kedua
Pasal 8
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan BAb IX Buku ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Pasal 9
Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(WETBOEK VAN STRAFRECHT)
BUKU KESATU: ATURAN UMUM
I Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
II Pidana
III Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
IV Percobaan
V Penyertaan Dalam Tindak Pidana
VI Perbarengan Tindak Pidana
VII Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
VIII Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
IX Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang (Ps. 86-102)
Aturan Penutup (Ps. 103)
BUKU KEDUA : KEJAHATAN
I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Ps. 104-129)
II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
VI Perkelahian Tanding
VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
XI Pemalsuan Meterai dan Merek
XII Pemalsuan Surat
XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Ps. 281-303 bis)
XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Ps. 304-309)
XVI Penghinaan (Ps. 310-321)
XVII Membuka Rahasia (Ps. 322-323)
XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang (Ps. 324-337)
XIX Kejahatan Terhadap Nyawa (Ps. 338-350)
XX Penganiayaan (Ps. 351-358)
XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Ps. 359-361)
XXII Pencurian (Ps. 362-367)
XXIII Pemerasan dan Pengancaman (Ps. 368-371)
XXIV Penggelapan (Ps. 372-377)
XXV Perbuatan Curang (Ps. 378-395)
XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Ps. 396-405)
XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang (Ps. 406-412)
XXVIII Kejahatan Jabatan (Ps. 413-437)
XXIX Kejahatan Pelayaran (Ps. 438-479)
XXIXA
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Ps. 479a-479r)
XXX Pemudahan (Penadahan, Pencetak dan Penerbit) (Ps. 480-485)
XXXI
Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan yang Bersangkutan dengan Berbagai Bab (Ps. 486-488)
BUKU KETIGA: PELANGGARAN
I Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Ps. 489-502)
II Pelanggaran Ketertiban Umum
III Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
IV Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
V Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Ps. 531)
VI Pelanggaran Kesusilaan
VII Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
VIII Pelanggaran Jabatan
IX Pelanggaran Pelayaran
(WETBOEK VAN STRAFRECHT)
BUKU KESATU: ATURAN UMUM
I Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
II Pidana
III Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
IV Percobaan
V Penyertaan Dalam Tindak Pidana
VI Perbarengan Tindak Pidana
VII Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
VIII Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
IX Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang (Ps. 86-102)
Aturan Penutup (Ps. 103)
BUKU KEDUA : KEJAHATAN
I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Ps. 104-129)
II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
VI Perkelahian Tanding
VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
XI Pemalsuan Meterai dan Merek
XII Pemalsuan Surat
XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Ps. 281-303 bis)
XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Ps. 304-309)
XVI Penghinaan (Ps. 310-321)
XVII Membuka Rahasia (Ps. 322-323)
XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang (Ps. 324-337)
XIX Kejahatan Terhadap Nyawa (Ps. 338-350)
XX Penganiayaan (Ps. 351-358)
XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Ps. 359-361)
XXII Pencurian (Ps. 362-367)
XXIII Pemerasan dan Pengancaman (Ps. 368-371)
XXIV Penggelapan (Ps. 372-377)
XXV Perbuatan Curang (Ps. 378-395)
XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Ps. 396-405)
XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang (Ps. 406-412)
XXVIII Kejahatan Jabatan (Ps. 413-437)
XXIX Kejahatan Pelayaran (Ps. 438-479)
XXIXA
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Ps. 479a-479r)
XXX Pemudahan (Penadahan, Pencetak dan Penerbit) (Ps. 480-485)
XXXI
Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan yang Bersangkutan dengan Berbagai Bab (Ps. 486-488)
BUKU KETIGA: PELANGGARAN
I Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Ps. 489-502)
II Pelanggaran Ketertiban Umum
III Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
IV Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
V Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Ps. 531)
VI Pelanggaran Kesusilaan
VII Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
VIII Pelanggaran Jabatan
IX Pelanggaran Pelayaran