Presiden Joko Widodo dilantik sebagai Presiden Indonesia ketujuh, Oktober lalu. Jokowi menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kedua tokoh ini langsung memperlihatkan keterlibatan dalam pergaulan internasional.
Setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi melakukan lawatan ke luar negeri pada November lalu. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menghadiri gelaran KTT APEC di Beijing, Tiongkok, November lalu.
Selain mengikuti pertemuan utama dalam KTT yang membahas kerja sama ekonomi tersebut, Presiden juga melakukan pertemuan bilateral dengan beberapa negara. Sosoknya ternyata membuat beberapa pemimpin dunia ingin menemuinya.
Beberapa pemimpin negara yang sudah ditemui Jokowi, yaitu Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Vietnam Truong Tan Sang, dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Ada satu hal menarik ketika Presiden Jokowi dalam pertemuan APEC tersebut. Dia langsung menawarkan peluang investasi di Indonesia. Tawaran itu pun langsung disampaikan kepada para pemimpin dan pengusaha dunia yang hadir dalam KTT APEC.
Diplomasi 'straight to the point' yang dilakukan Jokowi dalam panggung dunia tentunya sangat berbeda dengan pemerintahan terdahulu. Tak pelak, upaya Jokowi untuk menawarkan investasi menimbulkan tanggapan beragam.
Beberapa ada yang memuji upaya Jokowi untuk menawarkan kerja sama untuk meraih investasi besar di Indonesia. Namun ada pula yang menyebut mantan Wali Kota Solo itu tengah menjual negara ke asing.
Salah satu sorotan utama yang ditawarkan oleh Jokowi di dunia internasional adalah kebijakan poros maritim. Dalam kebijakan ini, Jokowi membuka peluang sebesar-besarnya dengan negara asing dalam bekerja sama di bidang kelautan. Selain juga membuka peluang investasi dalam infrastruktur maritim di Indonesia.
Di bulan yang sama, Presiden Jokowi juga mendekatkan diri dengan negara-negara di Asia Tenggara. Melalui KTT ASEAN, Jokowi melanjutkan bagaimana peran aktif Indonesia menjelang pembentukan Komunitas ASEAN 2015.
Pada KTT ASEAN, Jokowi juga blak-blakan menyuarakan keinginan melakukan kerja sama dengan negara ASEAN lainnya untuk menjaga keamanan di kawasan. Selain pula memperkuat kerja sama ekonomi yang sudah berjalan sejak lama.
Diplomasi blak-blakan Jokowi pun dilanjutkan di KTT G20 di Australia. KTT ini sangat penting, karena status Australia sebagai tetangga dari Indonesia. Terlebih kedua negara sempat mengalami pasang surut dalam hubungan mereka.
Selama di Australia, Presiden Jokowi tampak sangat dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Bahkan dalam pengaturan, Jokowi dekat dengan Abbott, Presiden AS Barack Obama dan Perdana Menteri Inggris David Cameron.
Di KTT G20, banyak kepala negara yang menyatakan ketertarikan mereka terhadap kebijakan poros maritim Jokowi. Mereka pun ingin mendengar secara detail kebijakan tersebut dan mengutarakan keinginan mereka untuk bekerja sama.
Bentuk diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo sangat jauh berbeda dengan mantan Presiden SBY. Namun tak dapat dipungkiri, selama 10 tahun pemerintahannya, SBY berhasi mengangkat citra Indonesia di dunia internasional.
Salah satu kebijakan luar negeri dari SBY yang mencolok adalah ungkapan 'Thousand friends, zero enemy'. SBY mementingkan diskusi dan negosiasi dalam penyelesaian suatu konflik di dunia.
Selama kepemimpinannya, Indonesia masuk dalam keanggotaan G20. Selain itu, Indonesia juga makin aktif dalam misi perdamaian dengan mengirim pasukan untuk bergabung dengan pasukan perdamaian PBB.
Sementara dalam aktivitas kawasan Asia Tenggara dan Asia, SBY terlibat aktif dalam penyelesaian berbagai konflik, terutama sengketa wilayah. Sengketa Laut China Selatan yang diklaim oleh beberapa negara anggota ASEAN dengan Tiongkok menjadi contoh konkrit.
Ketika sempat terjadi kemandekan dalam dialog pembahasan isu ini, mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang tergabung dalam kabinet SBY melakukan 'shuttle diplomacy' untuk mendorong pembahasan kembali berjalan. Alhasil, langkah keras yang dilakukan Marty membuahkan hasil positif dan pembahasan atas declaration of conduct (Doc) dan code of conduct (CoC) Laut China Selatan pun kembali berjalan.
Sebagai seorang pemimpin negara, SBY ingin politik luar negeri bebas aktif Indonesia berjalan dengan baik. SBY ingin Indonesia menjadi bagian dari solusi, bukan hanya retorika.
Meskipun diplomasi yang diusung oleh Presiden Joko Widodo dan SBY sangat jauh berbeda. Ada satu hal dari mereka yang tetap sama dan tidak berubah.
Kedua pemimpin ini sama-sama menegaskan dukungan mereka untuk kemerdekaan Palestina. Presiden Jokowi bahkan menyebut kemerdekaan Palestina menjadi prioritas politik luar negeri Indonesia.
Untuk 2015, Presiden Jokowi akan lebih aktif melakukan kegiatan diplomasi. Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan menjadi cobaan terbesar dari diplomasi Jokowi.
Selain itu, 2015 akan menjadi ajang dari kebijakan poros maritim Jokowi lebih berperan aktif. Diharapkan apa yang diinginkan bisa terwujud dan kekuatan maritim Indonesia pun bisa lebih kuat dengan kerja sama internasional yang tertata.
Aktifnya Indonesia dalam pergaulan internasional akan memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa. Presiden Jokowi harus mengambil kesempatan ini agar tujuan dari kebijakan luar negeri pemerintahannya bisa berjalan dengan lancar.
Masalah perlindungan warga negara Indonesia (WNI) masih akan menghiasi kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan upaya keras dari perwakilan Indonesia di luar negeri dan peran aktif yang dilakukan, diharapkan tidak ada lagi WNI yang menjadi korban penyiksaan.
Keinginan Presiden Jokowi agar para Dubes Indonesia bertindak layaknya sebagai marketing perusahaan, diharapkan bisa membuahkan kerja sama yang menguntungkan Indonesia. Selain itu anjuran Menlu Retno Marsudi agar para dubes melakukan blusukan, bisa segera dilaksanakan dan tentunya ditunggu hasil positif dari blusukan para dubes.
Sumber : http://internasional.metrotvnews.com/read/2014/12/26/336904/kaleidoskop-2014-dinamika-diplomasi-jokowi-dan-sby