Menjelang Pemilu 2014, isu keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah perempuan dan politik ini tentu tidak lepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia. Ani Sucipto, pakar politik dari Universitas Indonesia, menyayangkan metode pemilu masih dengan suara terbanyak, padahal banyak perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka di ruang-ruang publik. Bahkan Pilkada Jabar beberapa waktu lalu, isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat di masyarakat, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan, selain itu karena masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya. Masalah ini juga dapat kita temukan di daerah lain seperti Aceh dan Papua.
Apa yang perlu disiapkan caleg-caleg perempuan? Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan, menyatakan “Gali ilmu, gali potensi kita dan belajar hal-hal yang positif dari para pendahulu seperti mantan Presiden Indonesia Megawati Sokarnoputri , atau mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Namun, soal kesiapan perempuan calon legislatif tidak bisa lepas dari partai masing-masing, yaitu banyak partai yang tidak mampu mengisi kuota perempuan. Bukan berarti tidak ada calon, melainkan tidak adanya kaderisasi pengurus perempuan, dan budaya politik patriarki di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilawan. Regulasi sudah bagus, tetapi tanpa dukungan budaya dan persepsi masyarakat, regulasi ini tidak terlalu banyak mendorong jumlah keterwakilan perempuan. Siasat partai bahkan untuk mengisi kuota ini sangat mengecewakan, yaitu dengan mengambil caleg perempuan yang sudah populer seperti artis atau perempuan pengusaha. Suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Atau perempuan yang tidak populer hanya dijadikan sebagai pemanis, tidak sungguh-sunggu menempatkan mereka di wilayah strategis. Ini terlihat dari penempatan perempuan di nomor urut sepatu (paling belakang) atau di daerah pemilihan yang “gersang” yang wilayah tersebut justru menolak kehadiran caleg perempuan. Selain itu, KPU malah membolehkan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan alasan bila tidak terpenuhi ketentuan 30% persen perempuan. Bahkan, partai politik melepas tangan caleg-caleg perempuan, dengan segala keterbatasannya harus bertarung dan berebut suara dengan caleg laki-laki dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Dari proses tersebut, kita dapat melihat hasilnya, sedikit yang duduk di parlemen, dan kalaupun ada, mereka jarang berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Ketua Bidang Otonomi Daerah Partai NasDem Siti Nurbaya, dalam sebuah wawancara menjawab tentang apa persoalan dan apa yang perlu disiapkan untuk menguatkan kapasitas perempuan di partai. Ia melakukan perbandingan dengan Argentina, Partai Peronis menyiapkan kuota perempuan butuh belasan tahun, dan dalam prosesnya mereka menyiapkan peningkatan kualitas perempuan. Di sini menurutnya terlalu instan sehingga perempuan hanya dijadikan komoditas untuk memenuhi syarat kualifikasi partai. Padahal ada kenyataan bahwa partai politik kurang membuka diri dan memberikan kesempatan. Di negara Swedia, Norwegia, Belanda dan Selandia Baru, parpol mempersiapkan kader perempuan dengan baik sehingga kuota perempuan mereka berhasil sekali. Menjawab masalah minimnya perempuan memenuhi kuota dalam partai, Siti Nurbaya mengatakan bahwa harus diiringi dengan pendidikan, pelatihan dan kesadaran politik untuk meningkatkan kualitas dan kepercayaan diri perempuan. Tentu percuma bila ini dilakukan tanpa ada kemauan parpol untuk memberikan peluang besar kepada perempuan untuk bersaing. Siti juga menjelaskan bahwa saat ini memang banyak perempuan di parlemen yang terseret kasus korupsi. Padahal kehadiran mereka dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan dasar kehidupan masyarakat yang ditopang perempuan. Bahwa terdapat data dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa kesempatan kerja perempuan masih 58% dibandingkan laki-laki 84%. SSekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, menyambung masalah ini bahwa terjadi pengabaian terhadap perempuan pekerja. Misalnya pekerjaan nelayan masih diorientasikan sebagai laki-laki, padahal banyak nelayan perempuan dan malah cenderung meningkat.
Fakta lainnya seperti yang disebut Food and Agriculture Oranization (FAO) pada tahun 2008, justru perempuan yang menghidupkan sektor perikanan di Indonesia yang mencapai 2,3 juta orang. Perempuan Indonesia banyak yang bertanggung jawab dalam produksi pangan, baik petani maupun nelayan, tetapi akses mereka masih terbatas terhadap sumber produksi seperti air, lahan, sarana produksi pertanian atau perikanan, dan sulit mengakses pasar, dan sering terlupakan dalam program bantuan dan kredit perbankan. Bukan hanya itu, Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa perempuan banyak bekerja di sektor informal yang umumnya tidak tercatat. Padahal peran mereka mencapai 70% untuk usaha mikro dan kecil. Bahkan dari sisi tenaga kerja Indonesia, 70% lebih perempuan telah mengirimkan devisa bagi Indonesia atau uang bagi kehidupan keluarganya mencapai US$5,7 miliar. Angka ini tentu menjadi menguatkan mengapa keterwakilan perempuan di politik sangat penting untuk memperhatikan masyarakat perempuan di Indonesia yang banyak memberikan kontribusi untuk negara.