KONFERENSI BANDUNG : KANCAH PERJUANGAN BESAR BUNG KARNO
Oleh :A. Umar Said
Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (3)
Kalau kita berbicara tentang sejarah perjuangan Bung Karno, kiranya akan merupakan kekurangan yang amat besar, kalau tidak menyinggung Konferensi A-A yang diselenggarakan di
Padahal, buku-buku sejarah modern (kontemporer) yang ditulis oleh para sejarawan di seluruh dunia, selalu menghubungkan Konferensi
Tidak salahlah kiranya kalau ada orang yang mengatakan bahwa Konferensi Bandung adalah pengejawantahan salah satu di antara aspirasi perjuangan Bung Karno sejak muda. Konferensi Bandung juga merupakan realisasi gagasan politiknya setelah ia menjadi kepala negara. Hal ini kelihatan, kalau kita membaca kembali koleksi pidatonya “Di Bawah Bendera Revolusi”, yang menunjukkan dengan jelas gagasan-gagasannya tentang internasionalisme dalam melawan imperialsime dan kolonialisme pada zaman itu.
Kalau kita telusuri dengan cermat perjalanan sejarah perjuangan Bung Karno maka akan nampak terpancangnya sejumlah tonggak-tonggak megah yang menonjol. Dan, jelaslah bahwa Konferensi Bandung adalah salah satu di antara tonggak megah sejarah perjuangannya. Oleh karena itu, dari segi ini juga bisa dilihat betapa besarnya kejahatan (atau dosa) para pendiri Orde Baru terhadap Bung Karno. Orde Baru telah secara sistematis dan selama puluhan tahun, menghilangkan peran dan jasa Bung Karno dalam banyak hal penting yang berkaitan dengan perjuangan bangsa, termasuk terselenggaranya Konferensi Bandung.
LATAR-BELAKANG YANG PANAS
Ada baiknya diketahui sekarang ini, walaupun peristiwa ini terjadi 45 tahun yang lalu, bahwa Konferensi Bandung adalah sumbangan besar kepada ummat manusia . Bagi banyak pemimpin bangsa dan tokoh angkatan tua gerakan progresif berbagai negeri Asia-Afrika,
Di antara berbagai faktor, yang bisa membantu kita untuk mengingat kembali sebagian latar-belakang peristiwa bersejarah itu adalah sebagai berikut. Setelah Perang Dunia ke-II selesai, negeri-negeri kolonialis Barat (terutama Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Perancis, Itali – dan Jerman) mengalami kesulitan-kesulitan besar untuk mempertahankan daerah-daerah jajahan mereka, yang sebagian sudah mereka duduki selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Dengan berbagai cara perjuangan, akhirnya sebagian rakyat negeri-negeri itu memperoleh kemerdekaan nasional mereka. Antara lain ; Filipina dalam tahun 1945,
Di Afrika, banyak negeri masih dalam status jajahan atau setengah jajahan. Di negeri-negeri Arab atau Timur Tengah, gerakan pembebasan nasional juga berkembang. Perang Dingin makin bergejolak antara Blok Barat (AS beserta sekutu-sekutunya) dan Blok Timur ( yang didominasi oleh Soviet Uni). Lahirnya RRT dalam tahun 1949 telah mengobah peta geo-politik
Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, AS menaruh perhatian yang amat besar kepada benua
Dari sejumlah peristiwa dan tanggal-tanggal tersebut di atas saja sudah kelihatan sekali betapa panasnya pergolakan-pergolakan politik dan “diplomasi” di bidang internasional (baik secara terbuka maupun tertutup) waktu itu di kawasan
NAMA BUNG KARNO MASIH TERUS BERKUMANDANG
Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan mulai tanggal 18 sampai
Dalam mempersiapkan dan menyelenggarakan Konferensi Bandung, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengambil peran yang aktif. Sebagai sahabat terdekat Bung Karno dan juga pejuang lama anti-kolonialisme (ingat : perjuangannya lewat Perhimpunan Indonesia di Nederland, bersama-sama Moh. Hatta, Abdulmadjid Djoyoadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak dll) ia bertindak sebagai penyalur gagasan-gagasan Bung Karno.
Negara-negara peserta Konferensi Bandung (seluruhnya berjumlah 29) adalah, dari Asia : Afganistan, Birma, Jepang, Filipina, India, Indonesia, Irak, Iran, Saudi Arabia, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Libanon, Muangthai, Nepal, Pakistan, Republik Rakyat Tiongkok, Siria, Srilangka, Turki, Yaman, Yordania. Sedangkan dari Afrika :
Di benua Afrika, pada waktu itu masih banyak negara yang dalam status jajahan dan semi jajahan, dan karenanya tidak bisa atau belum bisa mengirimkan peserta secara resmi. Justru dari segi ini pulalah Konferensi
Bagi para pemimpin perjuangan rakyat berbagai negeri di Afrika (waktu itu) nama Bung Karno (atau nama
DASA SILA
Konferensi Bandung telah menghasilkan sejumlah keputusan bersama yang penting untuk menghadapi situasi internasional pada waktu itu, dan yang kemudian juga terus menjadi dasar hubungan antar-negara. Di antara keputusan-keputusan itu, yang amat menonjol adalah “Dasa Sila Bandung”. Dokumen penting ini, yang rumusan-rumusan di dalamnya kelihatan “lunak” adalah merupakan “kompromi” antara sikap negara-negara yang waktu itu “memihak” kepada Blok Barat (antara lain : Vietnam Selatan, Filipina, Turki, Jepang, Liberia) dan negara-negara yang kritis atau bahkan menentang politik Blok Barat. Tetapi, dari isi pidato-pidato para peserta konferensi (termasuk pidato Bung Karno), maka nyatalah bahwa dibalik dokumen “lunak” yang bernama “Dasa Sila Bandung” itu, sebenarnya, ada sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang kuat sekali.
Teks “Dasa Sila
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam-negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara endirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian secara hukum atau cara damai lainnya menurut pilihan fihak-fihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Kalau kita ingat kembali situasi internasional waktu itu, yaitu 10 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II, dan ketika kubu Barat (terutama negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Belgia dan Spanyol) sedang berusaha untuk meneruskan politik penjajahan - antara lain dengan cara-cara neo-kolonialisme - maka kita bisa mengerti mengapa pers Barat waktu itu (terutama: the Economist, London) marah sekali dengan terjadinya Konferensi Bandung. Suratkabar ini mencap Konferensi
Banyak orang melihat bahwa Konferensi
Sekarang ini, makin banyak dokumen sejarah yang mulai diangkat oleh berbagai sejarawan asing, bahwa Bung Karno dan Republik Indonesia sudah menjadi “diincer” oleh kubu Barat, sejak tahun 1950, dan kemudian makin meningkat menjelang dan sesudah terjadinya Konferensi Bandung (tentang soal ini ada catatan tersendiri).
MENYATUKAN PERJUANGAN BANGSA
Konferensi Bandung telah menampilkan orang-orang besar pada zamannya (waktu itu). Mereka itu adalah orang-orang besar bagi bangsa mereka masing-masing. Bahwa mereka menyatukan sikap terhadap musuh bersama waktu itu (yaitu imperialisme dan kolonialisme) dalam Konferensi Bandung adalah satu peristiwa yang bersejarah. Sekali lagi, dari segi inilah kita patut menilai politik Bung Karno. Ia telah mengangkat perjuangan bangsa
Dengan kaca-mata inilah kita bisa mengerti bahwa Konferensi Bandung atau politiknya yang bebas-aktif, dan yang “non-blok”, bukanlah berarti “netral” terhadap imperialisme dan kolonialisme. Dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi” kita bisa melihat bahwa hal inilah yang selalu dikatakannya berkali-kali sebagai kepala negara. Bahkan, sejak jauh ke belakang, ketika ia masih muda belia.
Bung Karno melihat bahwa imperialisme dan kolonialisme, yang sudah sejak lama menjajah berbagai rakyat di dunia, haruslah dilawan secara bersama-sama, secara nasional maupun secara internasional pula. Oleh karena itu, baginya, solidaritas internasional perlulah dibangun bersama-sama perjuangan rakyat berbagai negeri. Ini pulalah sebabnya mengapa nama Bung Karno, waktu itu, menjadi menonjol sekali di gelanggang internasional. Juga, itu pulalah sebabnya, mengapa nama Bung Karno masih tetap menjadi kenang-kenangan bagi banyak orang.
Mengingat itu semua, patutlah kiranya bagi kita semua sekarang ini, untuk menyadari akan pentingnya - dan juga akan urgensinya (!!!) untuk menampilkan kembali Bung Karno pada tempatnya yang semestinya, pada ketinggian yang selayaknya. Adalah kewajiban bersama kita semua untuk memberikan kehormatan yang selayaknya kepadanya. Bangsa kita perlu secara baik mengenal kepahlawanannya, keagungan gagasan-gagasannya, dan kebesaran jasa-jasanya. Untuk itu, perlu sekalilah agaknya dengan segera diusahakan berbagai langkah, umpamanya :
Mengkoreksi, melengkapi atau menyempurnakan buku-buku pelajaran sejarah bagi pelajar-pelajar SMP dan SMA, yang selama lebih dari 32 tahun telah dipakai sebagai bahan pendidikan. Sebab, bagi mereka yang mengamati dengan baik, maka akan jelaslah bahwa buku-buku pelajaran sejarah itu pada umumnya tidak menampilkan Bung Karno seperti yang selayaknya, bahkan juga tidak pada tempatnya! Di antara berbagai buku itu, antara lain (sebagai contoh) adalah PSPB 1987 (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) karangan Drs. C.S.T. Kansil SH dan buku PSPB “Patriotisme” karangan Agus Setiawan BA dan Drs Asep Suyono untuk pelajar-elajar SMA. Setelah membalik-balik halaman buku-buku itu, maka akan nyatalah bahwa nama dan peran Bung Karno “dikerdilkan”, atau bahkan “dikucilkan”. Sebaliknya, nama Suharto disanjung-sanjung secara berlebih-lebihan, yang sekarang ternyata bertentangan sama sekali dengan kenyataan yang sebenarnya.
Kiranya, dalam rangka Peringatan 100 Tahun Bung Karno, dan juga dalam rangka perjuangan untuk reformasi, perlulah masalah pengkoreksian buku-buku pelajaran sejarah bagi SD, SMP dan SMA (bahkan juga universitas) dijadikan sebagai salah satu di antara berbagai acara kegiatan. Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa Indonesia, seperti halnya Kemal Ataturk bagi bangsa Turki, Nehru bagi bangsa India, atau Gamal Abdul Nasser bagi bangsa Mesir, atau Mao Tse-tung dan Chou En-lai bagi bangsa Tiongkok. Dan, generasi muda kita perlu tahu dengan jelas bahwa bangsa Indonesia pernah bangga mempunyai pemimpin seperti Bung Karno, dan bahwa Bung Karno sama sekali bukanlah seperti yang ditampilkan selama periode Orde Baru. Tegasnya, dan juga jelasnya, bahwa Bung Karno sama sekali bukanlah seorang “pemimpin” sekaliber Suharto.
* * *