Jumat, 03 Agustus 2012

KONFERENSI BANDUNG : KANCAH PERJUANGAN BESAR BUNG KARNO

KONFERENSI BANDUNG : KANCAH PERJUANGAN BESAR BUNG KARNO

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (3)

Kalau kita berbicara tentang sejarah perjuangan Bung Karno, kiranya akan merupakan kekurangan yang amat besar, kalau tidak menyinggung Konferensi A-A yang diselenggarakan di Bandung dalam tahun 1955. Sebab, bagaimana pun juga, penyelenggaraan Konferensi Bandung yang bersejarah itu tidak bisa dipisahkan dari nama Soekarno, karena justru di belakang dan di dalam peristiwa yang bersejarah itulah jiwa dan semangat Bung Karno berkiprah. Konferensi Bandung adalah salah satu di antara berbagai kancah perjuangan besarnya, bagi bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya. Patutlah disayangkan, bahwa sekarang ini, soal yang demikian besar dalam sejarah bangsa kita itu, tidak banyak diketahui secara baik oleh rakyat kita, terutama oleh generasi muda kita.

Padahal, buku-buku sejarah modern (kontemporer) yang ditulis oleh para sejarawan di seluruh dunia, selalu menghubungkan Konferensi Bandung itu dengan Soekarno. Tidak bisa lain. Sebab, peran Bung Karno adalah amat besar dalam penyelenggaraan peristiwa besar internasional ini. Konferensi Bandung adalah penggerak penting dalam perobahan-perobahan besar di Asia-Afrika, sesudah selesainya Perang Dunia ke-II, dan pendobrak utama sehingga di Afrika terjadi perobahan-perobahan besar.

Tidak salahlah kiranya kalau ada orang yang mengatakan bahwa Konferensi Bandung adalah pengejawantahan salah satu di antara aspirasi perjuangan Bung Karno sejak muda. Konferensi Bandung juga merupakan realisasi gagasan politiknya setelah ia menjadi kepala negara. Hal ini kelihatan, kalau kita membaca kembali koleksi pidatonya “Di Bawah Bendera Revolusi”, yang menunjukkan dengan jelas gagasan-gagasannya tentang internasionalisme dalam melawan imperialsime dan kolonialisme pada zaman itu.

Kalau kita telusuri dengan cermat perjalanan sejarah perjuangan Bung Karno maka akan nampak terpancangnya sejumlah tonggak-tonggak megah yang menonjol. Dan, jelaslah bahwa Konferensi Bandung adalah salah satu di antara tonggak megah sejarah perjuangannya. Oleh karena itu, dari segi ini juga bisa dilihat betapa besarnya kejahatan (atau dosa) para pendiri Orde Baru terhadap Bung Karno. Orde Baru telah secara sistematis dan selama puluhan tahun, menghilangkan peran dan jasa Bung Karno dalam banyak hal penting yang berkaitan dengan perjuangan bangsa, termasuk terselenggaranya Konferensi Bandung.

LATAR-BELAKANG YANG PANAS

Ada baiknya diketahui sekarang ini, walaupun peristiwa ini terjadi 45 tahun yang lalu, bahwa Konferensi Bandung adalah sumbangan besar kepada ummat manusia . Bagi banyak pemimpin bangsa dan tokoh angkatan tua gerakan progresif berbagai negeri Asia-Afrika, Bandung dan Sukarno adalah dua nama yang tetap, sampai sekarang (!), tertanam secara terhormat dalam ingatan mereka.

Di antara berbagai faktor, yang bisa membantu kita untuk mengingat kembali sebagian latar-belakang peristiwa bersejarah itu adalah sebagai berikut. Setelah Perang Dunia ke-II selesai, negeri-negeri kolonialis Barat (terutama Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Perancis, Itali – dan Jerman) mengalami kesulitan-kesulitan besar untuk mempertahankan daerah-daerah jajahan mereka, yang sebagian sudah mereka duduki selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Dengan berbagai cara perjuangan, akhirnya sebagian rakyat negeri-negeri itu memperoleh kemerdekaan nasional mereka. Antara lain ; Filipina dalam tahun 1945, India dan Pakistan tahun 1947, Birma dan Srilangka tahun 1948, Indonesia tahun 1945 (tetapi pengukuhan secara internasional baru dalam tahun 1949). Negeri-negeri Indo-Cina terpecah-belah dalam tahun 1954, dan Malaya (waktu itu) mendapatkan otonomi secara luas.

Di Afrika, banyak negeri masih dalam status jajahan atau setengah jajahan. Di negeri-negeri Arab atau Timur Tengah, gerakan pembebasan nasional juga berkembang. Perang Dingin makin bergejolak antara Blok Barat (AS beserta sekutu-sekutunya) dan Blok Timur ( yang didominasi oleh Soviet Uni). Lahirnya RRT dalam tahun 1949 telah mengobah peta geo-politik Asia secara fundamental. Kekuatan Kuomintang yang dikepalai Chiang Kai-sek terpaksa melarikan diri ke Taiwan.

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, AS menaruh perhatian yang amat besar kepada benua Asia, dan berusaha “membendung” perkembangan komunisme. Untuk itu, AS terlibat secara besar-besaran dalam Perang Korea (sampai 1953) dan Armada ke-7 dikerahkan untuk melindungi Taiwan dan “menjaga” negeri-negeri lain. Pangkalan militer telah dibangun di berbagai tempat. Pakta militer ANZUS (terdiri dari Australia, Selandia Baru, dan AS) untuk menjaga “keamanan” Pasifik telah didirikan (1 September 1951). Lambang kolonialisme Perancis di Vietnam telah ambruk, dengan jatuhnya benteng Dien Bien Phu (1954). Tanggal 17 Agustus 1954, Presiden Eisenhower menyatakan tegas-tegas bahwa AS melindungi pemerintahan Chiang Kai-sek, dan 3 September 1954 meriam-meriam RRT mulai menembaki pulau Quemoy. AS juga membentuk SEATO (Organisasi Perjanjian Asia Tenggara) dalam pertemuan dengan perwakilan sejumlah negara di Manila (September 1954).

Dari sejumlah peristiwa dan tanggal-tanggal tersebut di atas saja sudah kelihatan sekali betapa panasnya pergolakan-pergolakan politik dan “diplomasi” di bidang internasional (baik secara terbuka maupun tertutup) waktu itu di kawasan Asia. Di tambah lagi dengan adanya pergolakan besar di berbagai negeri Arab melawan politik Inggris dan Perancis (antara lain : masalah Israel, munculnya Gamal Abdul Nasser, mulainya bangkitnya perjuangan di Aljazair terhadap Perancis dll). Tidak salahlah kiranya kalau dikatakan bahwa walaupun peserta Konferensi Bandung terdiri dari dari negara-negara yang menganut politik “campur aduk”, namun, suasana anti-Barat adalah yang berdominasi waktu itu.

NAMA BUNG KARNO MASIH TERUS BERKUMANDANG

Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan mulai tanggal 18 sampai 25 April 1955. Sejak beberapa bulan sebelum dibuka, rakyat Indonesia sudah mengikuti (lewat pers dan RRI) persiapan-persiapan yang mendahuluinya. Antara lain, adanya Konferensi Kolombo (April tahun 1954) yang dihadiri oleh Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Birma, Mohamad Ali dari Pakistan, John Kotelawala dari Srilangka (Ceylon, waktu itu), dan Ali Sastroamidjoyo yang mewakili Bung Karno. Kemudian, hasil konferensi Colombo dilanjutkan dengan Konferensi Panca Negara di Bogor (Desember 1954) untuk menetapkan acara konferensi Asia-Afrika di Bandung (yang akan diadakan 5 bulan kemudian), merumuskan tujuannya dan juga negara-negara yang diundang.

Dalam mempersiapkan dan menyelenggarakan Konferensi Bandung, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengambil peran yang aktif. Sebagai sahabat terdekat Bung Karno dan juga pejuang lama anti-kolonialisme (ingat : perjuangannya lewat Perhimpunan Indonesia di Nederland, bersama-sama Moh. Hatta, Abdulmadjid Djoyoadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak dll) ia bertindak sebagai penyalur gagasan-gagasan Bung Karno.

Negara-negara peserta Konferensi Bandung (seluruhnya berjumlah 29) adalah, dari Asia : Afganistan, Birma, Jepang, Filipina, India, Indonesia, Irak, Iran, Saudi Arabia, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Libanon, Muangthai, Nepal, Pakistan, Republik Rakyat Tiongkok, Siria, Srilangka, Turki, Yaman, Yordania. Sedangkan dari Afrika : Ethiopia, Ghana, Liberia, Libia, Mesir, Sudan. Dari komposisi peserta ini nampak bahwa negara-negara Asia merupakan bagian terpenting.

Di benua Afrika, pada waktu itu masih banyak negara yang dalam status jajahan dan semi jajahan, dan karenanya tidak bisa atau belum bisa mengirimkan peserta secara resmi. Justru dari segi ini pulalah Konferensi Bandung memberikan sumbangan besar kepada berbagai rakyat Afrika, karena mereka kemudian mendapat dorongan untuk mempercepat dan mengembangkan perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan nasional. Itulah sebabnya, sampai sekarang, maka nama Bandung dan Soekarno tetap sangat terkenal di Afrika. Konferensi Bandung dimasukkan sebagai bagian penting dalam buku-buku pelajaran sejarah. (Sekarang ini, dalam tahun 2001, para diplomat Indonesia yang bertugas di berbagai negara di Afrika, pastilah bisa menceritakan betapa nama Soekarno dan Bandung masih terus berkumandang).

Bagi para pemimpin perjuangan rakyat berbagai negeri di Afrika (waktu itu) nama Bung Karno (atau nama Bandung, atau nama Indonesia) adalah nama yang amat terhormat. Entah berapa kali saja Gamal Abdul Nasser (Mesir), Anwar Sadat (Mesir), Ahmad Ben Bella (Aljazair), L. Sedar Senghor (Senegal), Modibo Keita (Mali), Sekou Touré (Guinea), Dr. Kwame Nkrumah (Ghana), Patrice Lumumba (Conggo), Mugabe (Zambia), Julius Nyerere (Tanganyika, yang kemudian menjadi Tanzania), Salim Ahmad Salim (Zanzibar, yang kemudian menjadi Sekjen OAU – Organisasi) Persatuan Afrika), dan Nelson Mandela (Afrika Selatan) menyebut-nyebut nama Soekarno dan Bandung dalam pidato-pidato atau tulisan mereka.

DASA SILA BANDUNG YANG BERSEJARAH

Konferensi Bandung telah menghasilkan sejumlah keputusan bersama yang penting untuk menghadapi situasi internasional pada waktu itu, dan yang kemudian juga terus menjadi dasar hubungan antar-negara. Di antara keputusan-keputusan itu, yang amat menonjol adalah “Dasa Sila Bandung”. Dokumen penting ini, yang rumusan-rumusan di dalamnya kelihatan “lunak” adalah merupakan “kompromi” antara sikap negara-negara yang waktu itu “memihak” kepada Blok Barat (antara lain : Vietnam Selatan, Filipina, Turki, Jepang, Liberia) dan negara-negara yang kritis atau bahkan menentang politik Blok Barat. Tetapi, dari isi pidato-pidato para peserta konferensi (termasuk pidato Bung Karno), maka nyatalah bahwa dibalik dokumen “lunak” yang bernama “Dasa Sila Bandung” itu, sebenarnya, ada sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang kuat sekali.

Teks “Dasa Sila Bandung berbunyi sebagai berikut :

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.

2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil.

4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam-negeri negara lain.

5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara endirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.

6. a) Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus salah satu negara besar.
b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.


7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.

8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian secara hukum atau cara damai lainnya menurut pilihan fihak-fihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.

9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.

10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Kalau kita ingat kembali situasi internasional waktu itu, yaitu 10 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II, dan ketika kubu Barat (terutama negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Belgia dan Spanyol) sedang berusaha untuk meneruskan politik penjajahan - antara lain dengan cara-cara neo-kolonialisme - maka kita bisa mengerti mengapa pers Barat waktu itu (terutama: the Economist, London) marah sekali dengan terjadinya Konferensi Bandung. Suratkabar ini mencap Konferensi Bandung sebagai anti-Barat, bahkan juga anti kulit-putih dll dll.

Banyak orang melihat bahwa Konferensi Bandung merupakan kesempatan yang sangat menguntungkan Republik Rakyat Tiongkok untuk menampilkan diri, untuk pertama kalinya secara besar-besaran, dalam panggung internasional. Perdana Menteri Chou En-lai, yang dikenal secara internasional sebagai diplomat ulung, telah menjadi bintang selama Konferensi. Salah satu di antara berbagai latar-belakang penting Konferensi AA adalah permusuhan (waktu itu) yang tajam sekali antara RRT dan Amerika Serikat. Sementara itu, Republik Indonesia pun mulai diancam oleh berbagai bahaya (antara lain : sisa-sisa akibat pembubaran RIS, pembrontakan RMS, Andi Azis dan Kahar Muzakkar, kemudian terjadinya peristiwa “Tiga Selatan” dll).

Sekarang ini, makin banyak dokumen sejarah yang mulai diangkat oleh berbagai sejarawan asing, bahwa Bung Karno dan Republik Indonesia sudah menjadi “diincer” oleh kubu Barat, sejak tahun 1950, dan kemudian makin meningkat menjelang dan sesudah terjadinya Konferensi Bandung (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

MENYATUKAN PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DENGAN YANG LAIN

Konferensi Bandung telah menampilkan orang-orang besar pada zamannya (waktu itu). Mereka itu adalah orang-orang besar bagi bangsa mereka masing-masing. Bahwa mereka menyatukan sikap terhadap musuh bersama waktu itu (yaitu imperialisme dan kolonialisme) dalam Konferensi Bandung adalah satu peristiwa yang bersejarah. Sekali lagi, dari segi inilah kita patut menilai politik Bung Karno. Ia telah mengangkat perjuangan bangsa Indonesia sebagai bagian dari perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika (bahkan juga rakyat benua-benua lainnya).

Dengan kaca-mata inilah kita bisa mengerti bahwa Konferensi Bandung atau politiknya yang bebas-aktif, dan yang “non-blok”, bukanlah berarti “netral” terhadap imperialisme dan kolonialisme. Dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi” kita bisa melihat bahwa hal inilah yang selalu dikatakannya berkali-kali sebagai kepala negara. Bahkan, sejak jauh ke belakang, ketika ia masih muda belia.

Bung Karno melihat bahwa imperialisme dan kolonialisme, yang sudah sejak lama menjajah berbagai rakyat di dunia, haruslah dilawan secara bersama-sama, secara nasional maupun secara internasional pula. Oleh karena itu, baginya, solidaritas internasional perlulah dibangun bersama-sama perjuangan rakyat berbagai negeri. Ini pulalah sebabnya mengapa nama Bung Karno, waktu itu, menjadi menonjol sekali di gelanggang internasional. Juga, itu pulalah sebabnya, mengapa nama Bung Karno masih tetap menjadi kenang-kenangan bagi banyak orang.

Mengingat itu semua, patutlah kiranya bagi kita semua sekarang ini, untuk menyadari akan pentingnya - dan juga akan urgensinya (!!!) untuk menampilkan kembali Bung Karno pada tempatnya yang semestinya, pada ketinggian yang selayaknya. Adalah kewajiban bersama kita semua untuk memberikan kehormatan yang selayaknya kepadanya. Bangsa kita perlu secara baik mengenal kepahlawanannya, keagungan gagasan-gagasannya, dan kebesaran jasa-jasanya. Untuk itu, perlu sekalilah agaknya dengan segera diusahakan berbagai langkah, umpamanya :

Mengkoreksi, melengkapi atau menyempurnakan buku-buku pelajaran sejarah bagi pelajar-pelajar SMP dan SMA, yang selama lebih dari 32 tahun telah dipakai sebagai bahan pendidikan. Sebab, bagi mereka yang mengamati dengan baik, maka akan jelaslah bahwa buku-buku pelajaran sejarah itu pada umumnya tidak menampilkan Bung Karno seperti yang selayaknya, bahkan juga tidak pada tempatnya! Di antara berbagai buku itu, antara lain (sebagai contoh) adalah PSPB 1987 (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) karangan Drs. C.S.T. Kansil SH dan buku PSPB “Patriotisme” karangan Agus Setiawan BA dan Drs Asep Suyono untuk pelajar-elajar SMA. Setelah membalik-balik halaman buku-buku itu, maka akan nyatalah bahwa nama dan peran Bung Karno “dikerdilkan”, atau bahkan “dikucilkan”. Sebaliknya, nama Suharto disanjung-sanjung secara berlebih-lebihan, yang sekarang ternyata bertentangan sama sekali dengan kenyataan yang sebenarnya.

Kiranya, dalam rangka Peringatan 100 Tahun Bung Karno, dan juga dalam rangka perjuangan untuk reformasi, perlulah masalah pengkoreksian buku-buku pelajaran sejarah bagi SD, SMP dan SMA (bahkan juga universitas) dijadikan sebagai salah satu di antara berbagai acara kegiatan. Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa Indonesia, seperti halnya Kemal Ataturk bagi bangsa Turki, Nehru bagi bangsa India, atau Gamal Abdul Nasser bagi bangsa Mesir, atau Mao Tse-tung dan Chou En-lai bagi bangsa Tiongkok. Dan, generasi muda kita perlu tahu dengan jelas bahwa bangsa Indonesia pernah bangga mempunyai pemimpin seperti Bung Karno, dan bahwa Bung Karno sama sekali bukanlah seperti yang ditampilkan selama periode Orde Baru. Tegasnya, dan juga jelasnya, bahwa Bung Karno sama sekali bukanlah seorang “pemimpin” sekaliber Suharto.

* * *

Paris, 5 April 2001