Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) adalah sebuah organisasi yang bercita-cita memanifestasikan sosialisme yang bersumber dari ide-ide pemikiran Sukarno. Sosialisme tersebut dikenal dengan nama marhaenisme yang mempunyai tiga kerangka pemikiran yaitu : sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah hampir satu abad kelahiran marhaenisme, sejarah membuktikan bahwamarhaenisme ternyata masih mampu menjadi satu ideologi yang survive, walaupun tiga dekade sempat diberangus rejim tiran militeristik. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab GMNI sebagai salah satu kekuatan yang masih meyakini dan memegang teguh cita-cita marhaenisme, untuk kembali melanjutkan jalannya revolusi demi pemanifestasian nilai-nilai marhaenisme tersebut dalam sendi-sendi kehidupan rakyat.
Untuk itu pula, maka GMNI merasa perlu menegaskan dan menajamkan kembali pemikiran Sukarno dalam sebuah MANIFESTO yang akan menjadi paradigma baru dalam gerakan di tubuh GMNI. Penegasan-penegasan dan penajaman-penajaman tersebut antara lain :
1. Penajaman tentang "teori budi nurani"
Budi nurani adalah inti dasar pemikiran (term ad quo) Sukarno tentang marhaenisme. Pemikiran Sukarno ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa kehidupan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan zonder exploitation de l’homme par l’homme adalah sebuah kehidupan ideal yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita kehidupan ideal itu pada dasarnya adalah inti dari hakekat hidup manusia karena bersumber dari budi nurani manusia.
Pijakan pemikiran Sukarno ini didasarkan pada filsafat idealisme, seperti teori idealisme absolut George Fredrich Hegel. Sebab untuk menganalisa teori budi nurani ini, Sukarno memakai hal-hal yang bersifat irrasional (metafisik) dalam analisa berpikirnya, karena menyangkut hakekat, keyakinan dan kepercayaan manusia akan sesuatu hal yang tidak bisa dirasakan secara inderawiah (transenden).
Dengan pendekatan filsafat idealisme tersebut, tesis Ludwig Feurbach tentang "kritik agama" yang disempurnakan Karl Marx, secara otomatis menjadi gugur dalam pemikiran Sukarno. Sebab Sukarno ternyata lebih sepakat dengan pemikiran Hegel yang tetap percaya bahwa hakekat hidup manusia yang telah tertuang dalam nilai-nilai agama adalah murni dari roh semesta alam (bahasa Hegel menyebut Tuhan), jadi bukan semata-mata hasil rekayasa manusia sebagaimana pemikiran Feurbach. Apalagi Sukarno tidak pernah mengkritik nilai-nilai agama. Sebaliknya Sukarno justru mengharapkannya sebagai alat nation n' caracter building. Yang dikritik Sukarno hanyalah budaya-budaya feodalisme yang dianggap telah mengotori dan membiaskan nilai-nilai agama. Oleh karena itu Sukarno selalu menyerukan agar dalam memanifestasikan agama, yang diambil adalah apinya, bukan abunya.
Dari beberapa pokok analisa di atas, terbukti bahwa stigma-stigma yang selama ini menganggap marhaenisme identik dengan atheisme adalah tidak benar, sebaliknya, marhaenisme adalah sebuah nilai yang sarat akan cinta kasih, persaudaraan, kekeluargaan, kegotong-royongan dan kemanusiaan sebagaimana yang tertuang dalam ajaran agama selama ini. Oleh karena itu pula, kenapa kemudian GMNI tidak pernah menolak jika sosialisme Indonesia is sosialis religius.
2. Penajaman tentang "teori pauverishing"
Pauverishing oleh Sukarno diartikan sebagai satu proses pemiskinan oleh sistem. Teori ini bertitik tolak dari realitas sosial atas kemiskinan dan ketertindasan yang dialami rakyat Indonesia. Dan "Pak Marhaen" adalah seorang petani miskin yang dijadikan tesis Sukarno dalam menganalisa kemiskinan dan ketertindasan tersebut.
Metode berpikir Sukarno menggunakan pendekatan filsafat materialisme seperti Marx. Dengan pisau analisis materialisme sejarah, Sukarno menjelaskan bahwa para petani yang memiliki tanah, cangkul serta alat produksi lainnya, dan mampu berproduksi secara mandiri, namun tetap terlilit kemelaratan adalah akibat dari sistem kapitalisme dan feodalisme yang berkembang di Indonesia.
Realitas sosial saat itu memang menunjukkan bahwa tanah-tanah pertanian banyak dikuasai oleh para tuan-tanah (landlord) yang bergerak di bidang perkebunan (onderneming) dengan hak onderneming dan erpacht yang dilindungi Agrarische Wet produk imperium Belanda. Sehingga banyak rakyat Indonesia yang tidak kebagian lahan garapan dan hanya mampu menjadi petani kecil dan buruh tani. Landlords tersebut sebagian besar adalah orang-orang Belanda dan kaum-kaum priyayi Indonesia.
Analisa Sukarno juga menyatakan bahwa sifat-sifat tidak percaya diri (minder), pasrah, dan nrimo, adalah budaya-budaya feodalisme yang membuat para petani tidak memiliki kesadaran untuk bangkit dari ketertindasannya. Berangkat dari pemikiran di atas, maka sudah jelas bahwa musuh marhaenisme adalah tesis kapitalisme dan feodalisme.
3. Penegasan "teori gotong royong" dan "revolusi"
Gotong royong adalah cara perjuangan kaum marhaenis dalam mewujudkan sosialisme Indonesia. Teori ini memang bertolak belakang dengan teori Marx. Jika Marx memilih perjuangan kelas (klassentrij), Sukarno memilih gotong royong. Dasar pemikiran Marx memilih perjuangan kelas, selain atas dasar runtutan teorinya tentang keterasingan (alienasi), nilai lebih (meewaarde) dan teori perkembangan masyarakat (verelendung), juga didasarkan atas teori kontradiksi modal dan kerja sebagai sebuah konflik yang tak terdamaikan. Sehingga Marx berpikiran bahwa satu-satunya jalan menyelesaikan konflik adalah klassentrij.
Sementara dasar pemikiran Sukarno memilih gotong royong adalah atas runtutan teorinya tentang "budi nurani". Dengan budi nurani yang dimiliki, semua manusia pada hakekatnya menginginkan kesempurnaan dan tidak ingin menindas dan tertindas. Oleh karena itu Sukarno tidak menggunakan perjuangan kelas, tetapi perjuangan gotong royong, dimana semua kelas sosial harus bersatu untuk bersama-sama menuju kesejahteraan dan kemakmuran tanpa penghisapan.
Gotong royong menuntut kesadaran dari seluruh manusia Indonesia. Untuk itu butuh satu revolusi yang bersifat merubah pemikiran, merubah pandangan hidup, merubah sikap, merubah moral-etika, merubah kebiasaan, merubah sosial-ekonomi-politik-budaya Indonesia, dan merubah seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia, yang kesemuanya mempunyai satu tujuan yaitu mengembalikan manusia Indonesia kepada budi nuraninya. Di atas budi nurani itulah bangsa Indonesia menjalankan hidup kebangsaannya.
Sifat revolusi Indonesia adalah pantharei seperti yang dikutip Sukarno dari Heraclitus. Sifat revolusi yang tidak akan pernah mampu terprediksi oleh waktu. Sifat revolusi yang tidak mengenal titik, melainkan akan terus mengalir dan berjalan mengikuti perkembangan jaman. Biar sejarahlah yang nanti akan menguji dan menilainya.
4. Penegasan tentang sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan bentuk ungkapan istilah lain dari cita-cita marhaenisme. Sosio-nasionalisme adalah satu asas kehidupan rakyat Indonesia yang berdasarkan nasionalisme Indonesia. Pemikiran Sukarno tentang nasionalisme Indonesia, harus diakui memang banyak diinspirasi beberapa tokoh dunia seperti Ernest Renan, Otto Bauer (Austromarxis) dan Gandhi. Misalnya tentang salah satu pandangan Sukarno yang sepaham dengan pemikiran Otto Bauer, bahwa munculnya sebuah bangsa pada dasarnya bukan karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, ataupun agama, melainkan karena semata-mata hanya karena adanya kesamaan sejarah (riwayat). Oleh karena itulah, kenapa kemudian Sukarno menginginkan nasionalisme Indonesia dapat tumbuh dan berkembang melalui kesadaran sejarah atas penindasan dan penghisapan yang melanda kehidupan rakyat Indonesia.
Sukarno juga sepemahaman dengan Gandhi bahwa nasionalisme juga harus dilandasi oleh rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, ras maupun agama, sehingga nasionalisme Indonesia tidak akan pernah bersifat chauvis, melainkan humanis.
Itulah nasionalisme Indonesia, satu nasionalisme yang teruji dan dibesarkan oleh sejarah, yang cinta kepada manusia dan kemanusiaan, yang zonder exploitation de lhomme par lhomme, zonder exploitation de nation par nation, dan bersifat melindungi serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Sosio demokrasi adalah satu asas kehidupan rakyat yang berdemokrasi gotong royong, yaitu satu demokrasi yang bersumber dari kepribadian rakyat Indonesia. Jadi bukan demokrasi jegal-jegalan (bahasa Sukarno), dan juga bukan demokrasi mayoritas menindas minoritas, melainkan demokrasi yang memberikan keselamatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Sosio demokrasi oleh Sukarno diartikan pula sebagai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ala Indonesia.
Dan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pondasi dari dua asas di atas (sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi), sebagai unsur spiritualitas guna membimbing kedua sosio tersebut menuju hakekat dan budi nurani manusia Indonesia.
Dari pokok-pokok pikiran tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti yang sama dengan Pancasila maupun cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga perdebatan tentang Marhaenisme is Pancasila ataukah Pancasila is Marhaenisme tidak perlu diperdebatkan lagi.
5. Penegasan tentang tantangan dan musuh GMNI
Infiltrasi Budaya Kapitalis terhadap Moralitas Bangsa
Tantangan terberat marhaenisme adalah budaya bangsa yang telah tercemar budaya-budaya kapitalis (hedonis, konsumeris, pragmatis, individualis dan westernis). Pola kehidupan kapitalis tersebut merupakan penghalang pokok terwujudnya sosialisme Indonesia. Dan kita ketahui, kapitalisme adalah sistem yang mengutamakan sifat keserakahan, ketamakan dan sifat egois manusia yang mengingkari hakekat kemanusiaannya. Padahal masyarakat marhaenisme menginginkan terciptanya satu susunan masyarakat sosialisme Indonesia yang kontra-kapitalis, yaitu gotong royong, tolong menolong, tenggang rasa dan bentuk-bentuk ideal manusia lainnya.
Disfungsionalisasi Peran Agama
Nilai-nilai agama di Indonesia masih tercemari budaya-budaya feodalisme dan belum bisa dibersihkan dari kepentingan politik golongan. Nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan kebajikan yang menjadi nafas dari agama itu sendiri, nyaris hilang tergantikan oleh perasaan-perasaan kemunafikan, keserakahan dan egoisme manusia. Simbolisasi pertarungan elite dengan justifikasi agama, adalah salah satu contoh ironis bagaimana agama telah menjadi alat politik dalam perebutan kekuasaan elite. Feodalisme para ulama dan kyai juga akan menjadi refleksi dan proyeksi tersendiri bagi kader GMNI dalam mengkritisi peran agama agar kembali efektif, karena memang nilai-nilai agama adalah sebuah alat perjuangan yang signifikan dalam upaya nation and caracter building rakyat Indonesia.
Neo Kapitalisme dan Neo Imperialisme
Realitas sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa kapitalisme telah kembali menghisap kehidupan rakyat Indonesia. Memang penghisapan itu sudah tidak dilakukan secara fisik (pendudukan) lagi, namun dengan cara penggelontoran barang, modal dan tenaga kerja asing ke dalam negeri. Bentuk-bentuk penghisapan tersebut antara lain :
F Ketergantungan akan modal dan tanggungan hutang luar negeri sebesar US$ 140 milyar akibat kebijakan pemerintah selama Orde Baru yang tidak mau menerapkan ekonomi berdikari;
F Ketergantungan akan teknologi dan ilmu pengetahuan asing akibat sistem pendidikan yang kooptatif dan represif;
F Aset-aset sumber daya alam yang menyangkut khalayak hidup rakyat banyak (pertambangan, kehutanan, perkebunan dll) dikuasai kaum kapitalis asing dan pribumi akibat kebijakan penanaman modal asing dan dalam negeri;
F Usaha-usaha ekonomi yang menyangkut khalayak hidup rakyat banyak (listrik, air, semen, dll) dikuasai oleh kaum kapitalis asing dan pribumi akibat kebijakan privatisasi BUMN;
F Tingginya disparitas (kesenjangan) sosial dan terbentuknya segelintir kaum kapitalis pribumi sebagai partner kaum kapitalis asing yang menindas kelas marhaen sebagai kelas mayoritas;
F Budaya konsumeris, hedonis, pragmatis dan westernis yang menjangkiti kehidupan rakyat Indonesia akibat kampanye dan propaganda negara-negara kapitalis bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui media-media globalisasi.
Terjadinya penghisapan-penghisapan tersebut di atas diakibatkan oleh korupnya pemerintah Indonesia karena telah rela menjadi antek borjuis kapitalis negara maju hanya demi kepentingan pragmatisnya. Akibatnya pemerintah Indonesia menjadi tidak berdaulat di bidang politik, tidak berdikari di bidang ekonomi dan tidak berkepribadian di bidang kebudayaan. Rakyat Indonesia menjadi kuli di negaranya sendiri.
Selama menjadi antek kapitalis, pemerintah Indonesia (khususnya Orba) ternyata masih mencoba mengaburkan bentuk-bentuk penindasan yang dilakukannya dengan cara mengikuti konsep "negara kemakmuran" yang dikembangkan Amerika Serikat sejak pemerintahan Franklin D. Roosevelt (1933). Beberapa pengaburan itu antara lain :
F Memberikan subsidi BBM dan 9 bahan pokok agar terjangkau daya beli rakyat. Namun di sisi lain pemerintah mengkorupsi hutang luar negeri dan sebagian lagi diberikan kepada kroni-kroninya (kapitalis pribumi) melalui kolusi dan nepotisme dan selalu menjadi kredit macet.
F Memajukan pembangunan-pembangunan fisik di daerah-daerah. Namun sebagai kompensasinya, pemerintah "menjual" sumber daya alam Indonesia untuk dieksploitasi kapitalis asing dan pribumi melalui kebijakan investasi modal.
F Memberikan legitimasi hubungan hukum antara buruh dan majikan melalui lembaga arbitrase (bipartit dan tripartit); pelembagaan penyelesaian perselesihan perburuhan melalui P4D dan P4P; penetapan UMR; pemberian tunjangan sosial; pemberian cuti, penetapan peraturan jamsostek dan asuransi. Namun disisi lain pemerintah bertindak kontradiktif dengan melarang buruh mogok, melarang buruh berserikat (penunggalan wadah FSPSI), mensahkan PHK, tidak memberikan wewenang untuk ikut menentukan upah, dan lain-lain.
F Membentuk wadah-wadah koperasi pertanian; mengefektifkan penyuluhan pertanian; pemberian dana KUT untuk modal petani; mengadakan irigasi, dll. Namun di sisi lain, pemerintah membiarkan harga biaya produksi pertanian dipermainkan dan dimonopoli kelompok kapitalis. Pemerintah juga membiarkan tanah-tanah petani digusur dan digantikan HGU dan HGB kaum kapitalis.
F Pemberian besiswa untuk membantu keluarga-keluarga yang tidak mampu agar mendapat pendidikan yang layak. Namun di sisi lain, pemerintah sengaja membuat sistem pendidikan yang kooptatif dan represif sehingga berimplikasi tumpulnya daya kritis dan inovasi generasi muda, sehingga perkembangan IPTEK dalam negeri stagnan dan tetap tergantung pada negara maju.
6. Penegasan tentang asas perjuangan dan sikap GMNI terhadap kekuasaan
Untuk memanifestasikan cita-cita marhaenisme, maka GMNI membutuhkan satu asas perjuangan. Asas perjuangan itu masih tetap memakai kerangka pemikiran Sukarno yaitu : non-kooperatif, machtvorming dan massa aksi.
Non kooperatif, dilakukan dengan cara mempengaruhi kebijakan melalui agitasi dan propaganda terhadap kekuasaan (political will) dari tingkat pusat sampai daerah agar mau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan nilai dan visi marhaenisme. Syarat dari cara perjuangan ini adalah dengan menguatkan nilai bargain position GMNI terhadap kekuasaan. Salah satu caranya adalah dimunculkannya konsep-konsep dan ide-ide pemikiran alternatif GMNI yang mampu diterima dan diterjemahkan oleh opini publik, tanpa harus disimbolisasi oleh slogan-slogan khas GMNI, untuk memudahkan kampanye dan propaganda.
GMNI juga bertanggung jawab mengkonsolidasi seluruh kekuatan kader-kader marhaenis yang duduk sebagai politisi, birokrat, akademisi, pers, teknokrat, militer/kepolisian dan aspek-aspek sosial lainnya, untuk percepatan revolusi menuju masyarakat marhaenistik. Friksi dan konflik yang tidak substantif yang selama ini masih menjadi penyakit kaum marhaen dan marhaenis, harus segera dihilangkan dengan cara membuka ruang-ruang komunikasi dengan seluruh kader marhaenis yang bersifat cair dan tidak formalistik.
Dalam upaya non-kooperatif pula, GMNI juga harus mampu mengontrol jalannya kebijakan kekuasaan secara langsung dengan cara massa aksi, melalui aksi protes dan penolakan kebijakan yang tidak sesuai dengan visi marhaenisme secara tegas maupun radikal dengan melibatkan partisipasi rakyat secara langsung (massa aksi). Untuk itu GMNI harus terus menyusun kekuatan massa (machtvorming). Dan penguatan massa dilakukan dengan cara advokasi dan pengorganisiran rakyat yang bersifat holistik-integratif, dan menyatu (leave in) dalam kehidupan rakyat. Advokasi tidak lagi diartikan dan dilakukan secara kelembagaan dan formal/ceremony, melainkan personal oleh seluruh kader-kader GMNI. Sehingga sifat-sifat gerakan yang masih bergerombol akan dirombak dengan cara menuntut kemandirian dan tanggung jawab kader dalam gerakan yang bersifat menyebar, dimana setiap kader dibebani tugas memegang simpul-simpul kekuatan di masyarakat tanpa harus memakai dan menggunakan nama institusi, namun tetap terkontrol oleh GMNI.
Dengan asas perjuangan di atas maka dapat ditegaskan bahwa sikap GMNI terhadap kekuasaan (pemerintah), secara institusional, akan tetap berposisi sebagai "oposisi permanen" yang akan selalu mengontrol jalannya kekuasaan. Alasan pengambilan posisi tersebut adalah demi obyektifitas gerakan di tubuh GMNI. Oleh karena itu, GMNI memilih untuk tetap bersikap independen dan tidak akan pernah mau terikat dan diikat oleh kekuatan manapun, kecuali rakyat Indonesia.
Sehingga dengan demikian, GMNI akan mampu melawan segala bentuk-bentuk penindasan dan penghisapan yang ada, tanpa harus memandang siapa pelakunya, tidak peduli pemerintah, militer/kepolisian ataupun kekuatan lain, semuanya akan menjadi musuh GMNI jika melakukan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam MANIFESTO GMNI yang selanjutnya akan menjadi acuan paradigma dan pedoman pokok dalam gerakan yang dilakukan GMNI.
Setelah hampir satu abad kelahiran marhaenisme, sejarah membuktikan bahwamarhaenisme ternyata masih mampu menjadi satu ideologi yang survive, walaupun tiga dekade sempat diberangus rejim tiran militeristik. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab GMNI sebagai salah satu kekuatan yang masih meyakini dan memegang teguh cita-cita marhaenisme, untuk kembali melanjutkan jalannya revolusi demi pemanifestasian nilai-nilai marhaenisme tersebut dalam sendi-sendi kehidupan rakyat.
Untuk itu pula, maka GMNI merasa perlu menegaskan dan menajamkan kembali pemikiran Sukarno dalam sebuah MANIFESTO yang akan menjadi paradigma baru dalam gerakan di tubuh GMNI. Penegasan-penegasan dan penajaman-penajaman tersebut antara lain :
1. Penajaman tentang "teori budi nurani"
Budi nurani adalah inti dasar pemikiran (term ad quo) Sukarno tentang marhaenisme. Pemikiran Sukarno ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa kehidupan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan zonder exploitation de l’homme par l’homme adalah sebuah kehidupan ideal yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita kehidupan ideal itu pada dasarnya adalah inti dari hakekat hidup manusia karena bersumber dari budi nurani manusia.
Pijakan pemikiran Sukarno ini didasarkan pada filsafat idealisme, seperti teori idealisme absolut George Fredrich Hegel. Sebab untuk menganalisa teori budi nurani ini, Sukarno memakai hal-hal yang bersifat irrasional (metafisik) dalam analisa berpikirnya, karena menyangkut hakekat, keyakinan dan kepercayaan manusia akan sesuatu hal yang tidak bisa dirasakan secara inderawiah (transenden).
Dengan pendekatan filsafat idealisme tersebut, tesis Ludwig Feurbach tentang "kritik agama" yang disempurnakan Karl Marx, secara otomatis menjadi gugur dalam pemikiran Sukarno. Sebab Sukarno ternyata lebih sepakat dengan pemikiran Hegel yang tetap percaya bahwa hakekat hidup manusia yang telah tertuang dalam nilai-nilai agama adalah murni dari roh semesta alam (bahasa Hegel menyebut Tuhan), jadi bukan semata-mata hasil rekayasa manusia sebagaimana pemikiran Feurbach. Apalagi Sukarno tidak pernah mengkritik nilai-nilai agama. Sebaliknya Sukarno justru mengharapkannya sebagai alat nation n' caracter building. Yang dikritik Sukarno hanyalah budaya-budaya feodalisme yang dianggap telah mengotori dan membiaskan nilai-nilai agama. Oleh karena itu Sukarno selalu menyerukan agar dalam memanifestasikan agama, yang diambil adalah apinya, bukan abunya.
Dari beberapa pokok analisa di atas, terbukti bahwa stigma-stigma yang selama ini menganggap marhaenisme identik dengan atheisme adalah tidak benar, sebaliknya, marhaenisme adalah sebuah nilai yang sarat akan cinta kasih, persaudaraan, kekeluargaan, kegotong-royongan dan kemanusiaan sebagaimana yang tertuang dalam ajaran agama selama ini. Oleh karena itu pula, kenapa kemudian GMNI tidak pernah menolak jika sosialisme Indonesia is sosialis religius.
2. Penajaman tentang "teori pauverishing"
Pauverishing oleh Sukarno diartikan sebagai satu proses pemiskinan oleh sistem. Teori ini bertitik tolak dari realitas sosial atas kemiskinan dan ketertindasan yang dialami rakyat Indonesia. Dan "Pak Marhaen" adalah seorang petani miskin yang dijadikan tesis Sukarno dalam menganalisa kemiskinan dan ketertindasan tersebut.
Metode berpikir Sukarno menggunakan pendekatan filsafat materialisme seperti Marx. Dengan pisau analisis materialisme sejarah, Sukarno menjelaskan bahwa para petani yang memiliki tanah, cangkul serta alat produksi lainnya, dan mampu berproduksi secara mandiri, namun tetap terlilit kemelaratan adalah akibat dari sistem kapitalisme dan feodalisme yang berkembang di Indonesia.
Realitas sosial saat itu memang menunjukkan bahwa tanah-tanah pertanian banyak dikuasai oleh para tuan-tanah (landlord) yang bergerak di bidang perkebunan (onderneming) dengan hak onderneming dan erpacht yang dilindungi Agrarische Wet produk imperium Belanda. Sehingga banyak rakyat Indonesia yang tidak kebagian lahan garapan dan hanya mampu menjadi petani kecil dan buruh tani. Landlords tersebut sebagian besar adalah orang-orang Belanda dan kaum-kaum priyayi Indonesia.
Analisa Sukarno juga menyatakan bahwa sifat-sifat tidak percaya diri (minder), pasrah, dan nrimo, adalah budaya-budaya feodalisme yang membuat para petani tidak memiliki kesadaran untuk bangkit dari ketertindasannya. Berangkat dari pemikiran di atas, maka sudah jelas bahwa musuh marhaenisme adalah tesis kapitalisme dan feodalisme.
3. Penegasan "teori gotong royong" dan "revolusi"
Gotong royong adalah cara perjuangan kaum marhaenis dalam mewujudkan sosialisme Indonesia. Teori ini memang bertolak belakang dengan teori Marx. Jika Marx memilih perjuangan kelas (klassentrij), Sukarno memilih gotong royong. Dasar pemikiran Marx memilih perjuangan kelas, selain atas dasar runtutan teorinya tentang keterasingan (alienasi), nilai lebih (meewaarde) dan teori perkembangan masyarakat (verelendung), juga didasarkan atas teori kontradiksi modal dan kerja sebagai sebuah konflik yang tak terdamaikan. Sehingga Marx berpikiran bahwa satu-satunya jalan menyelesaikan konflik adalah klassentrij.
Sementara dasar pemikiran Sukarno memilih gotong royong adalah atas runtutan teorinya tentang "budi nurani". Dengan budi nurani yang dimiliki, semua manusia pada hakekatnya menginginkan kesempurnaan dan tidak ingin menindas dan tertindas. Oleh karena itu Sukarno tidak menggunakan perjuangan kelas, tetapi perjuangan gotong royong, dimana semua kelas sosial harus bersatu untuk bersama-sama menuju kesejahteraan dan kemakmuran tanpa penghisapan.
Gotong royong menuntut kesadaran dari seluruh manusia Indonesia. Untuk itu butuh satu revolusi yang bersifat merubah pemikiran, merubah pandangan hidup, merubah sikap, merubah moral-etika, merubah kebiasaan, merubah sosial-ekonomi-politik-budaya Indonesia, dan merubah seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia, yang kesemuanya mempunyai satu tujuan yaitu mengembalikan manusia Indonesia kepada budi nuraninya. Di atas budi nurani itulah bangsa Indonesia menjalankan hidup kebangsaannya.
Sifat revolusi Indonesia adalah pantharei seperti yang dikutip Sukarno dari Heraclitus. Sifat revolusi yang tidak akan pernah mampu terprediksi oleh waktu. Sifat revolusi yang tidak mengenal titik, melainkan akan terus mengalir dan berjalan mengikuti perkembangan jaman. Biar sejarahlah yang nanti akan menguji dan menilainya.
4. Penegasan tentang sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan bentuk ungkapan istilah lain dari cita-cita marhaenisme. Sosio-nasionalisme adalah satu asas kehidupan rakyat Indonesia yang berdasarkan nasionalisme Indonesia. Pemikiran Sukarno tentang nasionalisme Indonesia, harus diakui memang banyak diinspirasi beberapa tokoh dunia seperti Ernest Renan, Otto Bauer (Austromarxis) dan Gandhi. Misalnya tentang salah satu pandangan Sukarno yang sepaham dengan pemikiran Otto Bauer, bahwa munculnya sebuah bangsa pada dasarnya bukan karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, ataupun agama, melainkan karena semata-mata hanya karena adanya kesamaan sejarah (riwayat). Oleh karena itulah, kenapa kemudian Sukarno menginginkan nasionalisme Indonesia dapat tumbuh dan berkembang melalui kesadaran sejarah atas penindasan dan penghisapan yang melanda kehidupan rakyat Indonesia.
Sukarno juga sepemahaman dengan Gandhi bahwa nasionalisme juga harus dilandasi oleh rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, ras maupun agama, sehingga nasionalisme Indonesia tidak akan pernah bersifat chauvis, melainkan humanis.
Itulah nasionalisme Indonesia, satu nasionalisme yang teruji dan dibesarkan oleh sejarah, yang cinta kepada manusia dan kemanusiaan, yang zonder exploitation de lhomme par lhomme, zonder exploitation de nation par nation, dan bersifat melindungi serta menyelamatkan kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Sosio demokrasi adalah satu asas kehidupan rakyat yang berdemokrasi gotong royong, yaitu satu demokrasi yang bersumber dari kepribadian rakyat Indonesia. Jadi bukan demokrasi jegal-jegalan (bahasa Sukarno), dan juga bukan demokrasi mayoritas menindas minoritas, melainkan demokrasi yang memberikan keselamatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Sosio demokrasi oleh Sukarno diartikan pula sebagai demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ala Indonesia.
Dan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pondasi dari dua asas di atas (sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi), sebagai unsur spiritualitas guna membimbing kedua sosio tersebut menuju hakekat dan budi nurani manusia Indonesia.
Dari pokok-pokok pikiran tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti yang sama dengan Pancasila maupun cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga perdebatan tentang Marhaenisme is Pancasila ataukah Pancasila is Marhaenisme tidak perlu diperdebatkan lagi.
5. Penegasan tentang tantangan dan musuh GMNI
Infiltrasi Budaya Kapitalis terhadap Moralitas Bangsa
Tantangan terberat marhaenisme adalah budaya bangsa yang telah tercemar budaya-budaya kapitalis (hedonis, konsumeris, pragmatis, individualis dan westernis). Pola kehidupan kapitalis tersebut merupakan penghalang pokok terwujudnya sosialisme Indonesia. Dan kita ketahui, kapitalisme adalah sistem yang mengutamakan sifat keserakahan, ketamakan dan sifat egois manusia yang mengingkari hakekat kemanusiaannya. Padahal masyarakat marhaenisme menginginkan terciptanya satu susunan masyarakat sosialisme Indonesia yang kontra-kapitalis, yaitu gotong royong, tolong menolong, tenggang rasa dan bentuk-bentuk ideal manusia lainnya.
Disfungsionalisasi Peran Agama
Nilai-nilai agama di Indonesia masih tercemari budaya-budaya feodalisme dan belum bisa dibersihkan dari kepentingan politik golongan. Nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan kebajikan yang menjadi nafas dari agama itu sendiri, nyaris hilang tergantikan oleh perasaan-perasaan kemunafikan, keserakahan dan egoisme manusia. Simbolisasi pertarungan elite dengan justifikasi agama, adalah salah satu contoh ironis bagaimana agama telah menjadi alat politik dalam perebutan kekuasaan elite. Feodalisme para ulama dan kyai juga akan menjadi refleksi dan proyeksi tersendiri bagi kader GMNI dalam mengkritisi peran agama agar kembali efektif, karena memang nilai-nilai agama adalah sebuah alat perjuangan yang signifikan dalam upaya nation and caracter building rakyat Indonesia.
Neo Kapitalisme dan Neo Imperialisme
Realitas sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa kapitalisme telah kembali menghisap kehidupan rakyat Indonesia. Memang penghisapan itu sudah tidak dilakukan secara fisik (pendudukan) lagi, namun dengan cara penggelontoran barang, modal dan tenaga kerja asing ke dalam negeri. Bentuk-bentuk penghisapan tersebut antara lain :
F Ketergantungan akan modal dan tanggungan hutang luar negeri sebesar US$ 140 milyar akibat kebijakan pemerintah selama Orde Baru yang tidak mau menerapkan ekonomi berdikari;
F Ketergantungan akan teknologi dan ilmu pengetahuan asing akibat sistem pendidikan yang kooptatif dan represif;
F Aset-aset sumber daya alam yang menyangkut khalayak hidup rakyat banyak (pertambangan, kehutanan, perkebunan dll) dikuasai kaum kapitalis asing dan pribumi akibat kebijakan penanaman modal asing dan dalam negeri;
F Usaha-usaha ekonomi yang menyangkut khalayak hidup rakyat banyak (listrik, air, semen, dll) dikuasai oleh kaum kapitalis asing dan pribumi akibat kebijakan privatisasi BUMN;
F Tingginya disparitas (kesenjangan) sosial dan terbentuknya segelintir kaum kapitalis pribumi sebagai partner kaum kapitalis asing yang menindas kelas marhaen sebagai kelas mayoritas;
F Budaya konsumeris, hedonis, pragmatis dan westernis yang menjangkiti kehidupan rakyat Indonesia akibat kampanye dan propaganda negara-negara kapitalis bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui media-media globalisasi.
Terjadinya penghisapan-penghisapan tersebut di atas diakibatkan oleh korupnya pemerintah Indonesia karena telah rela menjadi antek borjuis kapitalis negara maju hanya demi kepentingan pragmatisnya. Akibatnya pemerintah Indonesia menjadi tidak berdaulat di bidang politik, tidak berdikari di bidang ekonomi dan tidak berkepribadian di bidang kebudayaan. Rakyat Indonesia menjadi kuli di negaranya sendiri.
Selama menjadi antek kapitalis, pemerintah Indonesia (khususnya Orba) ternyata masih mencoba mengaburkan bentuk-bentuk penindasan yang dilakukannya dengan cara mengikuti konsep "negara kemakmuran" yang dikembangkan Amerika Serikat sejak pemerintahan Franklin D. Roosevelt (1933). Beberapa pengaburan itu antara lain :
F Memberikan subsidi BBM dan 9 bahan pokok agar terjangkau daya beli rakyat. Namun di sisi lain pemerintah mengkorupsi hutang luar negeri dan sebagian lagi diberikan kepada kroni-kroninya (kapitalis pribumi) melalui kolusi dan nepotisme dan selalu menjadi kredit macet.
F Memajukan pembangunan-pembangunan fisik di daerah-daerah. Namun sebagai kompensasinya, pemerintah "menjual" sumber daya alam Indonesia untuk dieksploitasi kapitalis asing dan pribumi melalui kebijakan investasi modal.
F Memberikan legitimasi hubungan hukum antara buruh dan majikan melalui lembaga arbitrase (bipartit dan tripartit); pelembagaan penyelesaian perselesihan perburuhan melalui P4D dan P4P; penetapan UMR; pemberian tunjangan sosial; pemberian cuti, penetapan peraturan jamsostek dan asuransi. Namun disisi lain pemerintah bertindak kontradiktif dengan melarang buruh mogok, melarang buruh berserikat (penunggalan wadah FSPSI), mensahkan PHK, tidak memberikan wewenang untuk ikut menentukan upah, dan lain-lain.
F Membentuk wadah-wadah koperasi pertanian; mengefektifkan penyuluhan pertanian; pemberian dana KUT untuk modal petani; mengadakan irigasi, dll. Namun di sisi lain, pemerintah membiarkan harga biaya produksi pertanian dipermainkan dan dimonopoli kelompok kapitalis. Pemerintah juga membiarkan tanah-tanah petani digusur dan digantikan HGU dan HGB kaum kapitalis.
F Pemberian besiswa untuk membantu keluarga-keluarga yang tidak mampu agar mendapat pendidikan yang layak. Namun di sisi lain, pemerintah sengaja membuat sistem pendidikan yang kooptatif dan represif sehingga berimplikasi tumpulnya daya kritis dan inovasi generasi muda, sehingga perkembangan IPTEK dalam negeri stagnan dan tetap tergantung pada negara maju.
6. Penegasan tentang asas perjuangan dan sikap GMNI terhadap kekuasaan
Untuk memanifestasikan cita-cita marhaenisme, maka GMNI membutuhkan satu asas perjuangan. Asas perjuangan itu masih tetap memakai kerangka pemikiran Sukarno yaitu : non-kooperatif, machtvorming dan massa aksi.
Non kooperatif, dilakukan dengan cara mempengaruhi kebijakan melalui agitasi dan propaganda terhadap kekuasaan (political will) dari tingkat pusat sampai daerah agar mau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan nilai dan visi marhaenisme. Syarat dari cara perjuangan ini adalah dengan menguatkan nilai bargain position GMNI terhadap kekuasaan. Salah satu caranya adalah dimunculkannya konsep-konsep dan ide-ide pemikiran alternatif GMNI yang mampu diterima dan diterjemahkan oleh opini publik, tanpa harus disimbolisasi oleh slogan-slogan khas GMNI, untuk memudahkan kampanye dan propaganda.
GMNI juga bertanggung jawab mengkonsolidasi seluruh kekuatan kader-kader marhaenis yang duduk sebagai politisi, birokrat, akademisi, pers, teknokrat, militer/kepolisian dan aspek-aspek sosial lainnya, untuk percepatan revolusi menuju masyarakat marhaenistik. Friksi dan konflik yang tidak substantif yang selama ini masih menjadi penyakit kaum marhaen dan marhaenis, harus segera dihilangkan dengan cara membuka ruang-ruang komunikasi dengan seluruh kader marhaenis yang bersifat cair dan tidak formalistik.
Dalam upaya non-kooperatif pula, GMNI juga harus mampu mengontrol jalannya kebijakan kekuasaan secara langsung dengan cara massa aksi, melalui aksi protes dan penolakan kebijakan yang tidak sesuai dengan visi marhaenisme secara tegas maupun radikal dengan melibatkan partisipasi rakyat secara langsung (massa aksi). Untuk itu GMNI harus terus menyusun kekuatan massa (machtvorming). Dan penguatan massa dilakukan dengan cara advokasi dan pengorganisiran rakyat yang bersifat holistik-integratif, dan menyatu (leave in) dalam kehidupan rakyat. Advokasi tidak lagi diartikan dan dilakukan secara kelembagaan dan formal/ceremony, melainkan personal oleh seluruh kader-kader GMNI. Sehingga sifat-sifat gerakan yang masih bergerombol akan dirombak dengan cara menuntut kemandirian dan tanggung jawab kader dalam gerakan yang bersifat menyebar, dimana setiap kader dibebani tugas memegang simpul-simpul kekuatan di masyarakat tanpa harus memakai dan menggunakan nama institusi, namun tetap terkontrol oleh GMNI.
Dengan asas perjuangan di atas maka dapat ditegaskan bahwa sikap GMNI terhadap kekuasaan (pemerintah), secara institusional, akan tetap berposisi sebagai "oposisi permanen" yang akan selalu mengontrol jalannya kekuasaan. Alasan pengambilan posisi tersebut adalah demi obyektifitas gerakan di tubuh GMNI. Oleh karena itu, GMNI memilih untuk tetap bersikap independen dan tidak akan pernah mau terikat dan diikat oleh kekuatan manapun, kecuali rakyat Indonesia.
Sehingga dengan demikian, GMNI akan mampu melawan segala bentuk-bentuk penindasan dan penghisapan yang ada, tanpa harus memandang siapa pelakunya, tidak peduli pemerintah, militer/kepolisian ataupun kekuatan lain, semuanya akan menjadi musuh GMNI jika melakukan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam MANIFESTO GMNI yang selanjutnya akan menjadi acuan paradigma dan pedoman pokok dalam gerakan yang dilakukan GMNI.