KOMPAS.com, Senin, 22 November 2010
Perempuan paruh baya  asal Jawa itu agak terkaget-kaget ketika datang pertama kalinya di Kota  Pontianak, saat ingin berbelanja sayuran.
Ia terkaget tidak hanya  karena harga sayuran yang mahal harganya dibanding di daerah asalnya di  Jawa Tengah, tetapi pedagang sayuran di pinggir jalan itu ternyata  seorang Tionghoa, sebuah pemandangan yang jarang ditemui di daerahnya.
Belum  lagi, saat ia menawar terlalu rendah, laki-laki penjual itu malah  berbicara kepada perempuan Tionghoa di sampingnya, yang kemungkinan  isterinya, dengan bahasa yang tak dimengertinya.
Sekilas  didengarnya, seperti bahasa di film-film Mandarin.  Namun setelah  diberitahu, ternyata mereka menggunakan bahasa tutur asli dari kalangan  mereka, yakni bahasa Khek.
"Kalau di daerah saya, pada umumnya  mereka (warga Tionghoa) berbicara sesamanya, menggunakan bahasa  Indonesia yang bercampur  Jawa dengan dialek Jawa yang "medok" (kental).   Jadi kita juga tahu. Tapi di sini, bahasa di antara mereka familiar  juga dan cukup kental," kata Anisya, warga Magelang, Jateng.
Di  Pontianak atau Kalbar secara umum, warga Tionghoa memang fasih berbicara  dengan bahasa ibu mereka sendiri, yang disebut sebagai bahasa Khek.  Walaupun di antara warga Tionghoa ada juga minoritas yang menggunakan  bahasa Hoklo (Tewcu).
Di antara mereka, kalau bertemu sesamanya  menggunakan bahasa Khek, seperti halnya orang Melayu atau Jawa, bertemu  sesamanya menggunakan bahasa etnis mereka.
Bahasa Khek pada  dasarnya memang bahasa dari daratan China, namun ia berbeda dengan  bahasa Mandarin, yang menjadi salah satu bahasa internasional, walau  terdapat kosa kata yang mirip-mirip.
Menurut tokoh masyarakat  Tionghoa Pontianak, Andreas Acui Simanjaya, bahasa Khek memang menjadi  bahasa pergaulan di keluarga-keluarga Tionghoa di Kalbar ini.
Walau  yang tersebar bahasa Khek pasaran daripada bahasa Khek halus, kata Acui  yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pontianak,  menjadikan bahasa orang Hakka itu terjaga sebagai bahasa komunikasi  warga Tionghoa. Tidak hanya di wilayah Pontianak, tetapi warga Tionghoa  di daerah lain, seperti  Singkawang, Sekadau, Sanggau, Sambas, Sintang,  dan Ketapang, juga membiasakan berbahasa Khek dengan keluarga atau  sesame etnis.
Bahkan untuk keluarga campuran, seperti keluarga dari pasangan warga Tionghoa dan Dayak, bahasa Khek tetap kental diajarkan.
Seorang  peneliti asal Universiti Kebangsaan Malaysia, Chong Shin, dalam  makalahnya (2005) tentang "Masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat:  Tinjauan Pemilihan Bahasa di Kota Sekadau"  terungkap bahwa warga  Tionghoa dalam perkawinan campuran tetap berusaha mengajarkan bahasa  Khek ke anaknya, walau bahasa lain juga diajarkan.
Seperti  halnya, tulis Chongsin, yang mendapat cerita berasal dari informannya,  seorang pria Tionghoa Khekmenikahi perempuan Dayak Kerabat, maka anaknya  tetap diajari berbahasa Khek dengan bapaknya dan berbahasa Kerabat  dengan ibunya.
Sama halnya, dengan saudara di pihak bapak (yang  bersuku Tionghoa Khek), anak dari pernikahan campuran itu berbahasa  Khek, namun saat  dengan saudara dari pihak ibunya yang bersuku Dayak  Kerabat, dia berbahasa Dayak Kerabat.
Chongsin juga menemukan, di  dalam keluargan kawin campur, antara warga Tionghoa Hoklo (bapak)- Khek  (ibu), bahasa sehari-hari di keluarganya adalah bahasa Khek.
Tetapi  pada hari-hari, dimana isterinya berangkat ke Pontianak, pertukaran  bahasa berlaku.  Bapak di rumah itu mulai berbahasa Hoklo dengan  anak-anaknya, dan anaknya membalas dan bertutur bahasa Hoklo dengan  bapaknya.
Sekembali ibunya ( penutur  bahasa Khek) ke rumah lagi,  dengan sendirinya bahasa harian diubah balik ke bahasa Khek, ungkap  Chongs Shin.
Bagian dari Multikulturisme
Bahasa Khek  sendiri asal-muasalnya dari para leluhurnya, orang Hakka, yang merupakan  bagian dari suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi  Guangdong, Fujian dan Guangxi di China sebelah utara.
Mereka  beremigrasi ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penutur bahasa Khek di  Indonesia cukup banyak, khususnya warga Tionghoa di Kalbar, Palembang,  dan Bangka-Belitung.
Menurut peneliti budaya lokal asal Kalbar  Dedy Ari Asfar MA, bahasa Khek ini memang bukan bahasa daerah, namun  bahasa ini menjadi bagian multikulturisme di masyarakat provinsi ini.
Berdasarkan  pengamatannya, bahasa Khek ini berkembang pada ranah oralitas saja.  Artinya ini menjadi sekadar bahasa tutur dan pergaulan di keluarga warga  Tionghoa dan interaksi antar-Tionghoa.
Perkembangan bahasa Khek,  kata Dedy yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak itu, tidak memiliki  kedalaman dalam pelestariannya. Di sini tidak ada pengembangan  linguistiknya di segi bahasa tulis, seni sastra, atau terstruktur  diajarkan di kegiatan belajar formal atau semiformal, seperti   kursus-kursus.
Bahkan, pada keluarga Tionghoa di Kalbar,  anak-anak mereka saat ini mulai disuruh belajar bahasa Mandarin,  setidaknya melalui kursus bahasa, apabila di sekolahnya tidak  diajarkannya.
Acui mengakui, anak-anak Tionghoadi kota-kota besar  di Kalbar ada kecenderungan mulai mempelajari bahasa Mandarin secara  sistematis. Namun belajar bahasa Mandarin bukan masalah etnisitas atau  rasa keturunan China, tetapi karena kegunaannya sebagai salah satu  bahasa internasional.
"Hal ini dinilai akan baik bagi masa depan  anak-anaknya di pergaulan internasional, di mana China juga mengalami  perkembangan ekonomi terpesat di dunia saat ini," katanya.
Hal  yang sama diakui Soni Sujaya, siswa SMA Santo Petrus Pontianak yang  merupakan keturunan Tionghoa. Ia biasa berbahasa Khek dalam  berkomunikasi di keluarga dan kerabatnya. Namun ia juga disuruh belajar  bahasa Mandarin.
"Antara bahasa Khek dan Mandarin banyak  perbedaan, walau ada yang mirip. Tapi kita tetap harus belajar Mandarin  serius, karena walau sudah bisa berbahasa Khek, bukan berarti mudah  berbahasa Mandarin," katanya.
Perkembangan berbahasa Mandarin di  warga keturunan Tionghoa, dalam pengamatan Acui tidak akan menggeser  bahasa Khek, karena kebiasaan berbahasa Khek di keluarga Tionghoa sudah  kental dan menurun secara alami dari generasi ke generasi.
Di  samping itu dengan komunitas Tionghoa di Kalbar yang cukup besar, yang  diperkirakan sekitar 20-an persen, menurut Acui, bahasa Khek akan tetap  lestari, karena faktor lingkungan yang cukup besar itu bakal  mendukungnya.
Apalagi sebagian warga dari komunitas lain di  Kalbar, seperti Melayu, Dayak dan Bugis, menurut pengamatan Acui, ada  yang ikut mempelajarinya akibat adanya hubungan dagang dan sosio-ekonomi  yang intens dengan warga Tionghoa berbahasa Khek.
Popular Posts
- 
KAMUS BAHASA SAMBAS ABJAD A Acara sedekah = ngeluarkan = hol Air - aek akibatnya = rappokkannye almarhum = jannat ama-sama (mis: perg...
 - 
ABJAD A Acara sedekah = ngeluarkan = hol Air - aek akibatnya = rappokkannye almarhum = jannat ama-sama (mis: pergi bersama/jalan bersama tap...
 - 
Legal Standing Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Perusahaan) Akhir-akhir ini media cetak (online) ser...
 - 
DAFTAR NAMA ANGGOTA DPR RI, DPD RI, DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN KOTA SE PROVINSI DI YOGYAKARTA HASIL PEMILU 2014 DPR RI DAPIL DI YOGYA...
 - 
Mars GMNI Mars GMNI adalah modifikasi dari lagu "Marhaen Bersatu", dengan syair yang disesuaikan dengan identitas GMNI. Sya...
 - 
Tato memang sudah menjadi trend di dunia luar sana, jadi simbol kebebasan memodif diri dan tubuh, tapi di negara kita Indonesia tato sudah...
 
Recent Posts
Space Iklan 468 x 60