PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah satu bangsa modern yang berdiri dari kesatuan-kesatuan kecil kerajaan-kerajaan dan suku-suku yang tersebar di wilayah nusantara dari sabang sampai merauke. Dalam konsep wawasan nusantara, Indonesia merupakan sekumpulan masyarakat adat yang memegang teguh norma agama, adat dan kesusilaan.
Tiap suku bangsa dan komunitas agama memiliki serangkaian aturan atau hukum dalam mengatur baik hubungan secara pribadi maupun kepentingan umum. Dalam bahasa modern hukum adat maupun aturan keagamaan atau keyakinan telah mengatur hubungan private dan public. Dunia Hukum Nasional mengenalnya perdata atau pidana.
Dalam pokok bahasan tulisan ini, pidana maupun perdata, perlindungan terhadap keluarga (komunitas paling kecil dalam strata sosial) sangat diperhatikan. Dewasa ini hubungan antara suami dan istri juga telah diatur. Bahkan status anak yang lahir dalam hubungan tersebut diberikan perlindungan dan keadilan hukum.
Seiring perkembangan zaman, ketiga norma yang disebut diatas membaur dan menjadi kabur. Batasan wilayah, modernisasi dan westernisasi lingkungan, serta garis keagamaan menjadi luntur di masyarakat perkotaan. Penyelewengan perilaku individu sudah dianggap lazim dan perlahan menghancurkan aturan-aturan yang dipegang teguh dari nenek moyang. Salah satu perilaku yang dianggap lazim adalah adanya Kaum Laki-laki yang hidup ala perempuan maupun perempuan yang menolak kodratnya sehingga menjadi kaum laki-laki. (Waria, gay, banci dan lain-lain).
Salah satu perilaku menyimpang yang terjadi belakangan ini adalah perilaku seks bebas (free sex). Seks bebas yang dimaksud adalah hubungan seks/bersetubuh/bersenggama diluar dari ikatan perkawinan. Lebih lanjut, hubungan seks diluar dari ikatan perkawinan bisa saja dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis dan salah satunya tidak terikat pada satu perkawinan, atau hubungan tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak yang salah satunya telah terikat perkawinan. Pilihan yang terakhir biasa disebut sebagai hubungan perzinahan atau perselingkuhan.
Selain memiliki resiko akan penyakit menular, hubungan seks diluar lembaga pernikahan juga memiliki akibat terhadap Kehamilan Yang Tidak Diinginkan. Bentuk dari kehamilan ini menyebabkan solusi yang biasa ditempuh adalah Abortus (pengguguran kandungan), tapi ada juga yang memilih untuk tetap melakukan proses kelahiran walaupun dengan segala resiko yang suka tidak suka harus ditempuhnya. Pengguguran kandungan secara illegal dapat menyebabkan resiko kematian pada sang ibu atau pihak perempuan, abortus atau aborsi dewasa ini dikelompokkan sebagai extra ordinary killing.
Jika pihak perempuan yang hamil diluar lembaga perkawinan tersebut mempertahankan janin yang dikandungnya tentu tidak akan menjadi persoalan jika si penanam benih bertanggung jawab baik secara moral, adat, agama dan hukum. Tapi bagaimana si laki-laki ini ingkar dan lari dari tanggung jawab yang seharusnya ia emban. Maka persoalan akan timbul sejak si janin ada, lahir, hidup dan dewasa.
Aib, itu yang akan dikatakan oleh lingkungan atau lingkaran individu yang mengelilingi si wanita yang mengandung anak tanpa memilik bapak. Sebagian masyarakat adat malah lebih kejam dengan menyebut si anak dengan gelaran anak kampang atau anak haram. Upaya untuk menutupi akan membesarnya perut pun dilakukan, mulai dari pengasingan diri atau pindah ke kota lain demi menyembunyikan ‘kondisi’ terakhir. Upaya lain yang juga mungkin ditempuh oleh pihak keluarga wanita adalah membayar laki-laki untuk menikahi wanita tersebut. Soal uang tidak jadi masalah bagi orang tua tersebut, dan bagi laki-laki yang mau menikahi wanita yang tidak dihamilinya selain karena factor kasihan atau iba, bisa saja yang penting Bapak Puas. Upaya tersebut hanyalah bersifat temporer. Hanya demi nama baik dan Integritas Keluarga Besar.
Pasca kelahiran sang anak, maka orang tua diwajibkan untuk membuat Akte Lahir atau Surat Kenal Lahir. Disinilah sengkarut status anak yang lahir di luar lembaga perkawinan untuk memperoleh kedudukan hukum yang adil dan tidak memihak akan muncul ke permukaan. Di beberapa kasus, begitu kelahiran terjadi, family atau sanak keluarga yang terdekat akan dengan begitu cepat mengangkat si jabang bayi menjadi anggota keluarga yang bersangkutan. Hanya ikatan bathin si Ibu yang dengan susah payah membawa kandungan 9 bulan kemana-mana, namun hanya bisa menahan rasa perih ketika darah dagingnya di adopsi oleh orang lain, walaupun yang mengadopsi tersebut bisa saja masih ada ikatan keluarga. Tapi banyak juga Ibu yang begitu tega untuk menyerahkan si Jabang Bayi ke panti asuhan, dan tidak sedikit yang langsung membunuh si jabang bayi dengan membuangnya ke Tong Sampah.
Pembebasan atau pengingkaran atas perbuatan yang dilakukan tersebut semakin tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sehingga tanpa kita sadari, banyak disekeliling kita keberadaan anak yang lahir diluar perkawinan. Makin bertambahnya usia si anak maka olah pikir dan daya tangkap otak pun semakin bekerja dengan baik. Si anak pun dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Pergaulan dilingkungan juga mendorong si anak untuk mengetahui jati diri dan asal-usul yang sebenarnya. Walaupun rahasia tersebut sangat rapat ditutupi, kebenaran yang hakiki akan timbul seiring waktu. Ketika si anak mengetahui, bahwa dia bukanlah anak kandung dari bapak yang selama ini membesarkanya, maka proses pencarian itu akan dimulai.
Disinilah peran Hukum akan muncul, ketika keadilan dicari maka jalan kebenaran pun akan dibuka. Kebenaran tersebut merupakan hal yang tak terbantahkan. Walaupun pahit yang akan dirasakan.
“APAKAH NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MAMPU UNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN HUKUM???” (STUDI KASUS DI ATAS)
Sebelum membahas nilai-nilai kearifan lokal, maka sudah sepatutnya untuk dipahami bersama-sama terkait konsep dan pengertian anak luar nikah dari berbagai pendapat. Adapun yang dimaksud dengan anak Luar Nikah dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu :
1. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh bapak dan ibunya, tetapi orang tua tersebut tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, padahal diketahui masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang lain. (Kasus ini seperti anak hasil Kumpul Kebo). Nilai-nilai lokal praktek seperti ini sangat pantang dilakukan, bahkan ada masyarakat yang mengusir keberadaan pasangan ini. Namun Kearifan lokal tidak akan mampu berperan banyak, jika keberadaan pasangan ini dirumah-rumah kost yang mana Pemilik Kost membolehkan mereka tinggal. Dalam status anak tersebut dimata masyakarat merupakan anak kampang atau anak haram.
2. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh bapak dan ibunya, tetapi orang tua tersebut tidak dalam ikatan perkawinan, sementara itu salah satu pihak diketahui terikat dengan perkawinan lainnya (biasanya : laki-laki telah menikah dengan perempuan lain). Maka anak yang lahir dalam hubungan ini bisa saja diadopsi oleh sang bapak, namun dibeberapa tempat, kearifan lokal justru mendorong si Lelaki untuk membayar ala kadarnya atas anak tersebut. Anak tersebut dalam kedudukan hukum adat hanya dapat menerima pemberian tanpa bisa menuntut hak lebih kepada ayahnya.
3. Anak yang dilahirkan, t tidak dikehendaki oleh Ibunya, sementara bapaknya tidak diketahui, seperti kasus pemerkosaan beramai-ramai, atau bisa juga pelacuran. Kearifan lokal sangat jelas menentang akan hadirnya anak tersebut, maka biasanya begitu lahir langsung diserahkan kepada Keluarga terdekat atau panti asuhan.
4. Anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang masih dalam Idah setelah perceraiannya, kehamilan ini merupakan hasil hubungan dengan lelaki yang bukan suaminya, maka kearifan lokal umumnya mendorong lelaki yang menghamilinya untuk menikahi wanita tersebut, agar anak dapat memiliki perlindungan yang adil dan pasti.
5. Anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang masih dalam proses perceraian, kehamilan ini merupakan hasil hubungan dengan lelaki yang bukan suaminya, maka jalan keluar yang ditempuh adalah menikahkan ibu tersebut dengan lelaki yg menghamilinya. Anak tersebut diakui didepan masyarakat adalah anak dari suami yang baru.
6. Anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang masih berstatus sebagai istri seseorang, namun telah ditinggalkan oleh suaminya selama lebih dari 300 hari, anak tersebut dapat diangkat oleh keluarga atau diserahkan ke Panti Asuhan selama sang Ibu menginginkannya seperti itu. Berbeda jika Suami ibu tersebut lapang dada dan ikhlas untuk mengakui sang anak. Biasanya ini dialami oleh Istri para awak kapal maupun Istri para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
7. Anak yang dilahirkan. Diketahui dan dikehendaki oleh Ibu maupun Bapaknya, sementara kedua belah pihak tidak terikat dalam lembaga perkawinan, dan kedua-duanya tidak terikat dengan lembaga perkawinan lain. Namun dikarenakan aturan Agama yang tidak dapat mereka tinggalkan (tidak satu akidah), maka biasanya anak tersebut diangkat oleh Saudara terdekat.
8. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menikah di luar negeri dengan seseorang yang mana pernikahan tersebut tidak diakuin sebagai pernikahan resmi, maka anaknya lebih dikenal dengan anak Ibu. Kearifan lokal biasanya memandang pernikahan ini sebagai pernikahan bangsa Timur Asing (Tionghoa). Pernikahan ini umumnya dikenal dengan pernikahan Tamasya.
9. Anak yang ditemukan, tidak diketahui keberadaan orang tuanya. Biasanya Status Anak ini diadopsi oleh pihak-pihak yang akan bertanggung jawab. Namun harus dengan izin pemuka masyarakat atau pihak yang berwajib terlebih dahulu.
10. Perkawinan secara adat, melahirkan anak di luar lembaga perkawinan resmi. Masyarakat Lokal menganggap hal ini biasa saja, namun bagi Negara. Anak tersebut merupakan anak luar kawin dari pasangan tersebut.
Diatas merupakan uraian dari berbagai contoh Anak yang lahir di luar lembaga pernikahan/perkawinan. Kearifan lokal masih mau mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa kasus, justru Kearifan lokal memberikan Kepastian Hukum yang cepat dan murah, adil dan tidak memberatkan. Walaupun dalam kenyataan dilapangan, masih banyak kesulitan untuk memutuskan apakah seseorang tersebut layak atau tidak memperoleh kearifan lokal.
BAGAIMANA CARANYA MENCAPAI CITA NEGARA HUKUM REPUBLIK INDONESIA?? (Berlandaskan Pada Kasus Di Luar Lembaga Perkawinan)
Pemerintah baru mengeluarkan Peraturan Resmi tentang Perkawinan Pada tahun 1974, dengan UU No. 1 tahun 1974 tersebut, maka Seluruh kegiatan Pernikahan, baik yang diselenggarakan oleh hukum adat maupun yang diselenggarakan oleh Kelompok Agama (Masjid, Gereja, Pura dan sebagainya) harus mendapatkan legalisasi oleh Kantor Catatan Sipil setempat.
Dengan adanya peraturan tentang perkawinan ini, maka Akibat yang ditimbulkan oleh Suatu lembaga perkawinan juga telah mendapat pengawalan nomenklatur yang jelas. Bahkan Perlindungan terhadap pasangan atas kekerasan rumah tangga juga mendapatkan perhatian yang khusus dari Pemerintah. Begitu juga dengan Status Anak yang lahir dari perut sang Ibu, Negara juga mengatur kehidupan yang layak untuk anak hidup di masa depannya. Lalu bagaimana dengan status anak yang lahir di luar lembaga pernikahan??
Sampai hari ini, Negara masih saja kurang tegas memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mengangkat serta mengakui anak tersebut sebagai anak kandung sepanjang sepengetahuan Ibu dari anak yang diangkat. Keberadaan hukum ini sangat berkaitan dengan aturan adat yang membolehkan Ibu untuk menikahi laki-laki yang menghamilinya. Selama dalam koridor keagamaan diperbolehkan, maka hukum juga tidak melarang pengakuan atas anak tersebut. Namun disisi lain, Negara membuka peluang sebesar-besarnya untuk anak yang dilahirkan di luar lembaga pernikahan tersebut agar bisa memperoleh status hukum atas darah yang mengalir ditubuhnya.
Untuk memperoleh status hukum tersebut, seorang anak yang sudah cakap hukum dapat menempuh jalur penelitian dan mendaftarkannya ke Pengadilan lewat sebuah prosedur Permohonan. Mekanisme akan menjadi panjang tatkala salah satu pihak tidak mengakui keberadaan sang anak, karena jika pengakuan itu tidak keluar maka Pengadilan dapat membatalkan permohonan tersebut. Langkah selanjutnya yang dapat ditempuh adalah menggugat pihak-pihak yang membuat pembatalan permohonan tersebut dengan membuktikan secara medis, bahwa si Anak memang terbukti sebagai keturunan dari pasangan itu.
Jika permohonan pertama lancar, maka dapat dipastikan pengadilan akan mengabulkan permohonan si Anak dengan dalil-dalil yang dirancang agar dapat menjadi kekuatan hukum tetap. Di balik itu hak waris anak terhadap bapak kandungnya juga akan didapatkan begitu keputusan tersebut dikeluarkan.
Namun jika Gugatan yang dilakukan, maka sang Anak dapat mencantumkan kerugian materiil dan immaterial atas Ketidakpedulian Bapak Kandungnya dalam bertanggung jawab secara moral dan sosial. Hal seperti ini sangat jarang terjadi, Karena dengan melakukan proses ini dapat membuka Aib seseorang/beberapa orang yang mungkin sudah berlangsung puluhan tahun.
Demi menjaga dan mempertahankan prinsip Equality Before Of The Law, maka Negara haruslah benar-benar melindungi hak-hak asasi seseorang, baik hak ekonomi maupun hak sosial. Perlindungan ini telah dituangkan dalam Setiap aturan Negara. Dengan menjaga prinsip-prinsip dasar hak asasi, maka diharapkan Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam rangka meminimalisir kehadiran Anak Luar Nikah. Dengan mendorong partisipasi positif maka proses untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dapat berlangsung secara adil dan merata.
Dalam mewujudkan cita Negara Hukum Indonesia, Anak yang Lahir dengan Status di Luar Lembaga Pernikahan dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, maka Seorang Ibu dapat membuat Perjanjian dengan Ayah Biologis sang Anak, sebelum anak tersebut lahir. Adapun latar belakang dari Perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Alasan Religius, Laki-laki dan perempuan yang telah “bekerja” dalam memproduksi Bayi tersebut berbeda keyakinan, dan kedua belah pihak tidak ada yang bersedia untuk meninggalkan keyakinan. (Hukum di Indonesia belum menerima pernikahan beda Agama, khususnya agama tertentu).
2. Alasan Pekerjaan atau Karir, Salah satu pihak (umumnya laki-laki, tapi tidak tertutup kemungkinan, salah satu kasus bisa saja dialami oleh perempuan) telah menikah dan tidak diizinkan untuk menikah secara resmi dengan pasangan yang memproduksi bayi tersebut, biasanya pihak Laki-laki membayar perempuan dengan harga yang “pantas”. (Cenderung dialami oleh wanita idaman lain yang dijadikan istri kedua dalam pernikahan agama/adat oleh Seorang Laki-laki yang sudah beristri).
3. Alasan belum cukup umur, di dalam Pasal 7 angka (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang Perempuan yang hamil diluar lembaga pernikahan, sementara perempuan tersebut dan laki-laki yang membuatnya menjadi hamil dengan dasar suka sama suka dapat membuat Surat Perjanjian yang mana disaksikan oleh Keluarga yang telah cakap hukum di depan pejabat berwenang.
4. Alasan Kekerasan (Pemerkosaan baik yang dilakukan sendiri atau beramai-ramai), jika dalam alasan ini tidak ada yang bertanggung jawab, maka pihak perempuan yang menjadi korban dapat menuntut si pelaku yang sudah di vonis pengadilan untuk membuat surat perjanjian, sepanjang hal tersebut dapat dibicarakan.
Alasan dibuatnya perjanjian sebagaimana diuraikan diatas, wajiblah untuk memperhatikan alasan-alasan yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian ini dibuat untuk mendorong adanya partisipasi aktif dari para pelaku Pernikahan Di Luar Lembaga resmi. Perjanjian tersebut dibuat untuk menghindari Pembayaran Ganti Rugi secara sepihak, contohnya : Ketika terjadi kehamilan di Luar Lembaga Pernikahan, maka pihak laki-laki membayar uang “alakadarnya” untuk membantu proses kelahiran dan membesarkan. Dan Pembayaran ini dilakukan hanya sekali. Walaupun Pihak Perempuan dapat menerima uang tersebut, namun urusan ini tidak selesai begitu saja. Karena jika dikemudian Hari Bayi yang dilahirkan tersebut menjadi Subyek dewasa yang cakap hukum dan menuntut secara keperdataan tanggung jawab Bapak Biologisnya, maka akan dipastikan pertarungan tersebut akan sangat seru untuk disaksikan.
Gugatan Keperdataan Anak tersebut mendapat dukungan pengesahan dari Negara dengan landasan Pasal 7 Ayat (1) yang menyebutkan : “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Dengan landasan tersebut, maka seorang anak dapat saja menggugat keberadaan dirinya secara hukum.
Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Dengan sejarah budayanya yang cukup panjang dan multi bangsa, maka banyak sekali dijumpai hukum-hukum adat, norma-norma masyarakat dan kebijakan Kesusilaan yang berbeda-beda satu sama lain. Di beberapa masyarakat adat, suatu tindakan kesusilaan yang berakibat pada kehamilan hanya diselesaikan lewat adat, dan setelah itu dianggap tuntas. Lagi-lagi ketidakadilan bagi si Korban, tapi dianggap adil oleh Pemangku Adat. Berangkat dari pemikiran tersebutlah, maka seharusnya Pemerintah lebih memperhatikan Nasib Para Perempuan yang menjadi korban dari Perilaku menyimpang Seksual. Karena Akibat dari Perilaku tersebut, maka Jumlah Korban tidak lagi satu melainkan dua. Mengutip Injil Matius : 19 (6) : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Berangkat dari filosofi ini, maka ketika seorang laki-laki ingin memberikan ganti rugi yang wajar, hendaklah memperhatikan kalimat diatas, hal ini dikarenakan, umumnya si Lelaki hanya memberikan Uang untuk sang Ibu, tapi tidak untuk memperhatikan Bayi (anak) tersebut.