... Kekerasan terhadap perempuan oleh pasangannya merupakan salah satu kekerasan terbesar dan paling luas dibandingkan kekerasan jenis lain. Ironisnya, kekerasan jenis ini adalah kekerasan yang paling tidak mendapat perhatian. Selama ini perhatian kekerasan terhadap perempuan tercurah pada kekerasan diranah publik. Padahal data menunjukkan bahwa 1 diantara 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan, dan sebagian terbesar kekerasan itu terjadi dalam rumah tangga.
Kekerasan terhadap pasangan mencakup kekerasan terhadap perempuan maupun kekerasan terhadap laki-laki oleh pasangannya. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebesar 95% pelaku kekerasan adalah laki-laki dan hanya 5% pelaku kekerasan merupakan perempuan.1 Artinya, 95% korban kekerasan oleh pasangan dalam rumah tangga adalah perempuan. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga adalah kekerasan terhadap perempuan. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut kekerasan semacam itu adalah kekerasan berbasis gender. Seorang perempuan jatuh menjadi korban kekerasan pasangannya karena semata-mata ia merupakan perempuan yang memiki posisi lemah dalam rumah tangga.
Fakta dengan jelas menunjukkan sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkup rumah tangga atau dilakukan oleh orang dekat (intimate partner). Sebagai contoh dari 1722 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani Rifka Annisa Women Crisis Centre, 1054 (60%) kasus diantaranya adalah kasus kekerasan terhadap istri.2 Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan 1 dari 3 perempuan (34%) mengalami kekerasan emosional dari suaminya, termasuk didalamnya penghinaan, ancaman, dan ancaman fisik yang membahayakan. Kira-kira 1 dari 4 perempuan (27%) mempunyai pengalaman kekerasan fisik atau seksual dari suaminya dalam satu waktu dalam hidupnya, dimana 22% mengalami kekerasan seksual dan 11% mengalami kekerasan fisik. Satu dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Kira-kira 1 dari 3 perempuan (33%) yang teraniaya mendapat paling sedikit satu luka-luka sebagai hasil kekerasan; sebagian besar berupa memar atau lecet-lecet.3 Sekitar 80% perempuan yang mencoba bunuh diri memiliki alasan karena telah mengalami kekerasan dari pasangannya, baik suami atau kekasih.4 Diseluruh dunia 1 dari 4 perempuan hamil mengalami kekerasan oleh suaminya baik kekerasan seksual maupun kekerasan fisik. Diperkirakan 40% hingga 70% lebih pembunuhan terhadap perempuan juga dilakukan oleh pasangan intimnya dalam konteks relasi yang penuh kekerasan.5
Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan perilaku yang didesain untuk untuk mengontrol pasangan.6 Artinya kekerasan dilakukan sebagai upaya untuk menguasai, memanipulasi dan mengontrol pihak lain. Mengikuti terma ‘everything is politics’, maka kekerasan terhadap pasangan perempuan oleh laki-laki juga bernilai politis. Laki-laki yang diuntungkan dengan lemahnya posisi perempuan cenderung untuk melestarikan keuntungannya dengan melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Swainson pada tahun 2001 juga menunjukkan bahwa perkosaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan terutama dimotivasi oleh kekuasaan (power) untuk mengontrol daripada oleh seks.
Contoh tipe kekerasan :
Kekerasan fisik (menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.)
Kekerasan emosional/ verbal, Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
Ketergantungan finansial (mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll)
Isolasi sosial (mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll)
Kekerasan seksual (memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.)
Pengabaian/penolakan (mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.).
Koersi, ancaman, intimidasi (membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll)
Dampak terhadap Korban
Kekerasan laki-laki terhadap pasangan perempuannya memiliki dampak 6 kali lebih berat daripada kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki pasangannya. Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan pasangannya juga menghasilkan masalah kesehatan, stress, depresi, dan simptom psikosomatik yang jauh lebih besar daripada kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki pasangannya.9 Selain kekerasan dapat langsung berdampak pada kesehatan, juga akan meningkatkan resiko perempuan terkena penyakit dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, seperti halnya perokok atau peminum alkohol, viktimasi ini dapat dikonseptualisasikan sebagai salah satu faktor resiko bagi perempuan untuk menderita berbagai macam penyakit
Temuan penelitian yang dilakukan di Purworejo, Jawa Tengah, tahun 2000 menunjukkan bahwa banyak perempuan berpendapat dampak psikologis masalah kekerasan merupakan persoalan yang lebih serius dibanding dampak fisik. Pengalaman mengalami kekerasan mengikis harga diri dan menempatkan perempuan pada resiko yang lebih besar untuk mengalami berbagai macam masalah kesehatan mental, termasuk depresi, stres pasca trauma, bunuh diri, sampai dengan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. Perempuan yang dianiaya oleh pasangannya menderita lebih banyak depresi, kecemasan dan fobia dibanding perempuan yang tidak pernah dianiaya. Selama kehamilan perempuan tetap mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Kekerasan selama kehamilan dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan dan anaknya. Dampaknya antara lain termasuk kunjungan antenatal yang tertunda, pertambahan berat badan selama kehamilan yang tidak mencukupi, peningkatan kebiasaan merokok, penyakit menular seksual, infeksi vagina dan leher rahim, infeksi ginjal, keguguran dan aborsi, kelahiran prematur, gawat janin dan perdarahan dalam kehamilan.
Dampak kekerasan terhadap perempuan
A. Kesudahan fatal (pembunuhan, bunuh diri, kematian maternal, kematian yang ada hubungannya dengan AIDS)
B. Kesudahan tidak fatal
Kesehatan fisik (cidera, gangguan fungsional, keluhan fisik, kesehatan subjektif yang jelek, cacat permanen, obesitas berat, gangguan kronis, sindroma nyeri kronis, sindroma usus mudah meradang, gangguan pencernaan, keluhan somatik, fibromiagla)
Kesehatan Jiwa (stres pasca trauma, depresi, kecemasan, fobia/gangguan panik, gangguan makan, disfungsi seksual, rasa rendah diri, penyalahgunaan narkotika)
Perilaku Kesehatan negatif (merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat, perilaku seksual beresiko, tidak aktif secara fisik, makan berlebihan)
Kesehatan Reproduksi (kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual/AIDS, kelainan Ginekologis, abortus tidak aman, komplikasi kehamilan, keguguran/berat lahir rendah, penyakit radang panggul.
Dampak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga tidak hanya berupa dampak kesehatan fisik dan psikologis semata. Lebih jauh dampaknya juga mempengaruhi keadaan ekonomi. Sebuah penelitian di Amerika Latin menunjukkan bahwa Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sering tampak lebih sedikit pendapatannya dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan. Satu dari lima hari ketidakhadiran perempuan ditempat kerja merupakan akibat dari kekerasan rumah tangga yang dideritanya. Setiap 5 tahun seorang perempuan kehilangan kehidupannya yang sehat selama 1 tahun jika ia menderita kekerasan dalam rumah tangga.12 Pada tahun 1993, Bank Dunia mencatat sebuah diagnosa bahwa terjadinya perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab penting dalam ketidakcakapan perempuan dan kematian perempuan dalam usia yang produktif di negara-negara berkembang bahkan di negara-negara maju.
Karakteristik Pelaku kekerasan
Tidak ada profil psikologis yang benar-benar khusus untuk menggambarkan karakter pelaku kekerasan.13 Demikian juga tidak ada latar belakang khusus yang menyebabkan laki-laki cenderung untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan pasangannya. Laki-laki pelaku kekerasan berasal dari seluruh strata ekonomi dan sosial, tidak memperdulikan latar belakang pendidikan, status sosial ekonomi, suku maupun agama.14 Akan tetapi para pelaku kekerasan biasanya juga berasal dari keluarga yang mengalami kekerasan.15 Mereka secara emosional tergantung pada pasangannya, tidak bekerja atau tidak puas atas pekerjaan, dan sangat konvensional.
Menurut Gondolf ada tiga tipe pelaku kekerasan.16 Pertama, Typical Batterers, yakni mereka yang tidak memiliki riwayat gangguan mental atau catatan kriminal. Mereka tidak lebih banyak Kedua, Sosiopathic Batterers, yakni mereka yang melakukan kekerasan sebagai cara yang diterima untuk menyelesaikan masalah. Mereka kadangkala didiagnosis memiliki gangguan kepribadian. Mereka sering mengancam untuk membunuh atau melakukan kekerasan lebih lanjut. Mereka juga biasa mencari pembenaran dari kekerasan yang dilakukan melalui keyakinan agama, dan sering menggunakan kekuasan dan kontrol dalam banyak dimensi kehidupannya. Ketiga, Antisocial Batterers, yakni mereka yang biasanya didiagnosa menderita penyakit mental dan gangguan kepribadian, memiliki masalah dengan kekerasan, dan memiliki catatan kriminal. Kekerasan yang mereka lakukan lebih sering dan lebih kejam daripada tipe lainnya.
Karakteristik Korban
Perempuan korban dapat ditemui di seluruh strata sosial ekonomi, jenjang pendidikan, dan tingkatan umur. Satu-satunya karakteristik demografis umum yang ditemui adalah pendidikan yang rendah.17 Sama seperti pelaku kekerasan, tidak ada profil psikologis khusus yang bisa menggambarkan korban.18 Akan tetapi ada beberapa keadaan yang umum ditemui pada perempuan korban, yakni merasa dirinya lemah, tidak berdaya, ketidakmandirian (baik ekonomi maupun kejiwaan), ketidakmampuan untuk bersikap dan berkomunikasi secara terbuka (asertif) dan percaya pada peran-peran gender.19 Semua korban merasa memiliki pengalaman akan rasa malu yang dalam, terisolasi, dan perasaannya tertekan.20 Ada fakta yang menarik bahwa mereka yang masa kecilnya sering melihat atau mengalami korban kekerasan pada masa dewasa juga cenderung untuk jatuh sebagai korban kekerasan.21
Dasar-dasar kekerasan terhadap pasangan.
Saat ini ada dua penjelasan yang dianggap paling memadai untuk menerangkan terjadinya kekerasan terhadap pasangan, yakni perspektif teori belajar sosial dan perspektif feminis.22 Kedua perspektif itu menekankan pada kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan yang merupakan kasus terbesar dalam kekerasan oleh pasangan dalam rumah tangga.
Berdasarkan perspektif teori belajar sosial, kekerasan terhadap pasangan dipelajari melalui observasi terhadap hubungan yang penuh kekerasan sebagai cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik dan untuk mengontrol pasangan. Objek observasi bisa berupa hubungan rumah tangga orangtuanya, tetangga, teman dan saudara-saudaranya yang penuh kekerasan, bisa berupa bacaan yang menganjurkan pemakaian kekerasan, bisa berupa film yang menampilkan kekerasan dan sebagainya.
Anak-anak yang menyaksikan kekerasan ayah terhadap ibu atau sebaliknya akan cenderung menjadi pelaku kekerasan nantinya. Artinya rumah tangga yang dipenuhi oleh kekerasan berkecenderungan akan melahirkan anak-anak pelaku kekerasan. Tidak hanya sebatas itu, mereka yang saat kecil menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga orangtuanya dan juga menjadi korban kekerasan berkecenderungan menjadi korban kekerasan pada saat dewasa. Hal ini cukup merisaukan mengingat hampir setengah perempuan yang mengalami penganiayaan fisik oleh pasangan melaporkan bahwa anak-anak mereka selalu ada selama terjadi kekerasan.23 Artinya, pola kekerasan ditransfer dari generasi ke generasi. Apabila tidak ada upaya konkrit dan sungguh-sungguh untuk memutus rantai siklus kekerasan maka kekerasan akan terus langgeng.
Menurut perspektif feminis semua kekerasan laki-laki terhadap perempuan berakar dari budaya patriarkal di masyarakat. Budaya patriarkal memposisikan perempuan menjadi tergantung kepada laki-laki. Ketergantungan itu mau tidak mau membuat posisi perempuan lemah dan akhirnya mudah jatuh sebagai korban kekerasan. Dalam budaya patriarkal perempuan secara eksplisit maupun implisit ditekan. Perempuan jatuh sebagai korban kekerasan semata-mata karena posisinya sebagai perempuan yang subordinat secara ekonomi, sosial maupun hukum. Perspektif feminis ini yang paling sering digunakan untuk menganalisis kekerasan terhadap perempuan.
Secara integratif kedua perspektif penjelasan itu dapat diterangkan dengan menggunakan kerangka ekologik. Model ini digambarkan paling baik melalui 4 lingkaran yang konsentris. Lingkaran yang paling dalam adalah riwayat biologis dan personal yang dibawa oleh masing-masing individu ke dalam suatu hubungan. Lingkaran kedua merupakan area dimana kekerasan seringkali terjadi, yaitu keluarga atau kenalan dan hubungan dekat lainnya. Lingkaran ketiga adalah institusi dan struktur sosial, baik formal maupun informal, seperti pertetanggaan, rekan kerja, jaringan sosial dan kelompok kemitraan. Terakhir, lingkaran paling luar adalah lingkungan ekonomi dan sosial-budaya.
Berdasarkan perspektif ekologik, berikut adalah beberapa faktor yang ada di tiap-tiap tingkat yang memperbesar peluang laki-laki untuk menganiaya pasangannya.
Pada tingkat individual, yang termasuk adalah pernah dianiaya sewaktu masih kanak-kanak atau menyaksikan kekerasan kedua orangtuanya dirumah, ayah tidak ada di rumah atau ditolak oleh ayah, dan sering menggunakan alkohol.
Pada tingkat keluarga dan hubungan dekat, studi lintas budaya menunjukkan bahwa peran laki-laki sebagai pengontrol kekayaan dan pembuat keputusan dalam keluarga serta konflik perkawinan merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya kekerasan.
Pada level komunitas, pengisolasian perempuan dan kekurangan dukungan sosial, disamping kelompok kemitraan laki-laki yang menerima dan mensahkan kekerasan laki-laki akan menyebabkan tingginya kekerasan.
Pada tingkat kemasyarakatan, studi di seluruh dunia menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal umum terjadi di tempat-tempat dimana peran gender didefinisikan dan dilaksanakan secara kaku dan dimana konsep maskulinitas dikaitkan dengan kekuatan, kehormatan atau dominasi laki-laki. Norma budaya lain yang dihubungkan dengan kekerasan adalah toleransi terhadap hukuman fisik bagi permpuan dan anak-anak, diterimanya kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan perselisihan antar personal, dan persepsi bahwa laki-laki adalah ‘pemilik’ perempuan.
Daftar Pustaka
Anderson, I., & Swainson, V. (2001). Perceived Motivation for Rape : Gender Differences in Beliefs About Female and Male Rape. Current Research in Social Psychology, 6 (8) : 107-122.
Boero, S.C. (2002). Gambaran Umum tentang Kekerasan Terhadap Perempuan di Amerika Latin dan Karibia. Bahan Presentasi pada International Seminar : WID Seminar on Domestic Violence-IDB Japan Program, LAC Expertise to Asia and Asia Expertise to LAC, Series September 2-3 2002 in Yogyakarta, Indonesia
Clay, K.M, Olsheski, J.A., & Clay, S.W. (2000). Alcohol Use Disorders in Female Survivors of Childhood Sexual Abuse. Alcoholism Treatment Quartely, 18 (4) : 19-30
Ervita & Utami, P. (2002). Memahami Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta : Rifka Annisa Women’s Crisis Center.
Hakimi, M., Hayati, E.N., Marlinawati, U.V., Winkvist, A., & Ellsberg, M.C. (2001). Membisu Demi Harmoni : Kekerasan Terhadap Isteri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia. Yogyakarta : LPKGM-FK-UGM, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Umea University, & Women’s Health Exchange.
Hasyim, N. (2002). Penanganan Terpadu Perempuan Korban Kekerasan : Pengalaman Penanganan Perempuan Korban Kekerasan di Yogyakarta. Bahan Presentasi pada International Seminar : WID Seminar on Domestic Violence-IDB Japan Program, LAC Expertise to Asia and Asia Expertise to LAC, Series September 2-3 2002 in Yogyakarta, Indonesia.
Lawson, D.M. (2003). Incidence, Explanations, and Treatment of Partner Violence. Journal of Counseling and Development, 81 : 19-32.
Peterman, L.M., & Dixon, C.G. (2003). Domestic Violence Between Same-Sex Partners: Implications for Counseling. Journal of Counseling and Development, 81 : 40-47.
Stark, E. & Flitcraft, A. (1996). Women at Risk : Domestic Violence and Women’s Health. California : Sage Publications
Walker, L.E. (2000). Battered Woman Syndrome. New York : Spring