Dari beragam foto yang sering terpublikasi, ada tiga model penampilan kepala Bung Karno. Yang pertama adalah mengenakan sejenis blangkon, penutup kepala khas Jawa. Yang kedua, polos alias tidak mengenakan apa pun, dengan potongan rambut belah sisir dan sedikit berjambul. Yang ketiga, mengenakan kopiah.
Ketiga model itu juga mewakili zamannya. Ia mengenakan busana paduan Jawa-Eropa saat bersekolah di sekolah Belanda: ELS di Mojokerto dan HBS di Surabaya. Blangkon di kepalanya juga menunjukkan status sosial tinggi. Terlebih pada saat itu, hanya anak-anak keturunan Raja atau kaum bangsawan (ningrat) yang boleh bersekolah bersama siswa-siswa Belanda. Jika bukan dari golongan ningrat, dia tentulah putra ambtenaar atau pegawai pemerintahan Hindia Belanda untuk jenjang yang tergolong tinggi.
Ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang guru senior. Nama Raden di depan namanya, menunjukkan bahwa ia berdarah biru. Sedangkan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai adalah keturunan bangsawan Singaraja, yang itu artinya dia juga berdarah biru. Karena itu pula Sukarno bisa bersekolah di sekolah Belanda.
Ketiga model itu juga mewakili zamannya. Ia mengenakan busana paduan Jawa-Eropa saat bersekolah di sekolah Belanda: ELS di Mojokerto dan HBS di Surabaya. Blangkon di kepalanya juga menunjukkan status sosial tinggi. Terlebih pada saat itu, hanya anak-anak keturunan Raja atau kaum bangsawan (ningrat) yang boleh bersekolah bersama siswa-siswa Belanda. Jika bukan dari golongan ningrat, dia tentulah putra ambtenaar atau pegawai pemerintahan Hindia Belanda untuk jenjang yang tergolong tinggi.
Ayah Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang guru senior. Nama Raden di depan namanya, menunjukkan bahwa ia berdarah biru. Sedangkan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai adalah keturunan bangsawan Singaraja, yang itu artinya dia juga berdarah biru. Karena itu pula Sukarno bisa bersekolah di sekolah Belanda.
Kemudian setamat HBS, ia melanjutkan ke THS (Technische Hoge School) -yang kemudian menjadi ITB. Pada saat itulah ia melepas blangkon dan membiarkan kepala dan rambutnya terbuka, dengan sisiran yang rapih. Untuk busana formal ia sama sekali tidak meniru gaya Belanda yang bergaya kolonial tropikal - stelan safari putih, celana pendek, kaus kaki tinggi dan topi gabus. Bung Karno justru lebih memilih stelan pantalon-jas-dasi putih dan kopiah hitam.
Nah, kapan kopiah mulai bertengger di atas kepala Bung Karno. Pendek cerita, sejarah itu dimulai saat Bung Karno membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI), 4 Juli 1927. Di situlah ia mengusulkan agar setiap kader dan pengurus PNI wajib mengenakan kopiah sebagai identitas. Atas usul itu, Ali Sastroamidjojo, salah satu dedengkot PNI menolak. Tapi suara Ali kalah dengan suara floor. Akhirnya, kopiah pun menjadi penutup kepala resmi PNI.
Dalam perkembangannya, kopiah bukan hanya monopoli kader partai dan pengurus PNI, melainkan juga menjadi identitas kaum pergerakan. Hampir semua aktivis pergerakan mengenakan kopiah. Dan sejarah pun kemudian mencatat, kopiah dipopulerkan Bung Karno sebagai identitas bangsa Indonesia. Hingga hari ini.
Tahukah Anda, popularitas kopiah tak lepas dari sosok Bung Karno yang memang sangat dikagumi dan dicintai rakyat? Terlebih dalam setiap penampilan, utamanya saat berpidato di depan lautan massa, ia senantias mengenakan kopiah. Nah, juru foto di studio foto langganannya, begitu kreatif dengan memajang foto-foto Bung Karno di etalase studionya di Bandung.
Tak jarang, para pejalan kaki di depan studio foto itu berhenti dan berdiri lama menatap foto pemuda gagah berkopiah yang sedang berpidato berapi-api. Dialah Sukarno. Yang paling gemar mengamati foto-foto supermodel amatir Bung Karno itu utamanya adalah para siswi sekolah MULO yang letaknya di Jl. Sunda, Bandung. Suasananya barangkali mirip dengan gadis-gadis remaja yang mentap foto model pujaannya di etalase-etalase studio foto.
Sumber : http://papernas.org/berdikari/index.php?option=com_content&task=view&id=861&Itemid=44