Siang hari yang terik, angin sepoi-sepoi menerpa wajah yang berkeringat, sekian menit berlalu namun tak jua keringkan dan hapuskan lelah; wajah bersahaja seorang petani yang menikmati hidup di alam Indonesia di mana dia telah terlahir, ayah ibunya terlahir, kerabat-kerabatnya terlahir, sahabat-sahabatnya terlahir, anak cucunya terlahir, bahkan tak pernah ia bermimpi untuk menutup mata di negeri lain selain “INDONESIA’’. Dia paham betul bagaimana Indonesia tentang perjuangannya, tentang darah dan pengorbanan pahlawan-pahlawannya, tentang budaya luhur dan simbol-simbol kebenaran, tentang kebanggaan dwi warna, tentang indah negeri “Nyiur Melambai”. Pikirannya melayang akan sesuatu, akan perubahan-perubahan jaman, akan perubahan-perubahan yang berbalik arah, tentang semangat reformasi yang dijadikan tameng kebebasan; lamunannya tercurah bagai air terjun yang begitu derasnya:
1. Pikiran petani itu tentang bait-bait nasionalisme
Andai kata berjuta-juta roh pahlawan dapat didengar suaranya, mungkin di jaman republik yang luluh lantak oleh slogan-slogan nasionalisme anak negerinya roh pahlawan itu akan menangis sejadi-jadinya, meraung, meratap sesal, sebab sesuatu yang telah berubah nilai. Sesak dada petani itu, batinya teriris-iris ketika nyanyian “INDONESIA RAYA’’ Sudah tak lagi khidmat, tak mampu membuat bulu kuduk merinding, tak mampu membangkitkan semangat, bahkan sebagian generasi muda memilih lari dari upacara meninggalkan nyanyian dan membiarkan sang dwi warna naik dengan sendirinya...”duhai pahlawanku, mampu apa aku atas semua itu??”...”biarlah saja aku akan mengajari anak-anakku, anak-anak desaku untuk menjunjung tinggi nama Indonesia,menghargai jasa-jasa pahlawannya, agar kelak mereka paham bahwa Indonesia ini berdiri bukan karena belas kasihan kaum penjajah, tapi karena darah dan perjuangan yang suci”.
2. Pikirannya tentang arti kesatuan yang damai dan tenteram
Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa; terngiang dalam batinnya ikrar pemuda 28 Oktober 1928, duh indahnya..Petani itu sedih bukan karena pecahnya negara tercinta, namun dia sedih karena begitu kuat putaran jaman merubah arti dan nilai-nilai kesatuan bangsa, beragam pertanyaan yang muncul dalam benaknya: di mana letak persatuan itu, ketika ibu pertiwi menggigil oleh perbedaan-perbedaan politik anak-anak bangsa?, benarkah kita telah bersatu, tapi hanya diukur dari ikrar manis bibir saja?, sadarkah kita telah terpecah belah dan terkotak-kotak oleh sistem yang diajarkan dan telah mengakar?
Sederhana saja petani itu berpikir, bila seluruh rakyat Indonesia paham akan bahasa persatuan, arti penting kebersamaan, konsep perubahan yang baik untuk negeri tercinta dia mengajak duduk bersila, mengelilingi lambang negara burung garuda dan sang saka merah putih, lalu sejenak melupakan perbedaan, melepaskan dendam dan amarah, menghentikan ocehan-ocehan provokatif, dan sejenak menikmati secangkir kopi nusantara, dan memulai bicara dengan senyum dan dari hati nurani.
3. Pikirannya tentang kesejahteraan yang adil dan beradab
Dia tersenyum lalu bergumam dalam hati: “aku yakin akan terjadi perbedaan antara pikiranku dan para petinggi negara, sebab kesejahteraan menurutku adalah rakyat, rakyatlah sebagai tolak ukur kesejahteraan itu, cukup bagiku aku dan keluargaku dapat makan, minum dan berteduh di sebuah rumah kecil dan mungil, sebidang sawah tempat aku bermain dengan pacul dan bibit-bibit padiku setiap hari. Aku tak menuntut apa-apa dari para petinggi negara, tak perlu ada BLT, tak perlu ada dana kompensasi yang akhirnya akan memperkeruh kemuliaan tujuan, menjadi kebijakan yang harus dituding dan dikritik habis-habisan, sebab aku telah diajarkan oleh nenek moyangku untuk tidak hanya sekedar “Menadahkan tangan” untuk sesuatu yang sesungguhnya aku mampu dari tenaga dan pikiranku.
Pernahkah petinggi-petinggi negara berpikir, agar seluruh rakyat Indonesia dapat berpikir seperti aku? Seorang petani yang selalu bangga atas kemampuan sendiri, seorang petani yang berdiri di atas kakinya sendiri (BERDIKARI).
Bukan maksud petani itu menolak konsep dan kebijakan tentang kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan, petani itu hanya berkeinginan adanya pemerataan yang benar-benar rata dan adil, dia pun paham begitu sulit mengatasi hal itu, apalagi yang berhubungan dengan perut rakyat. Dan petani itu tersenyum dalam hatinya berkata : “besok aku harus lebih giat lagi bertani, mencangkul lahan, siapa tahu hasil panen kali ini berlimpah, amin!!!”
4. Pikirannya tentang penegakan hukum yang katanya Indonesia adalah Negara Hukum
Dia tak mengerti apa tentang hukum, tentang aturan-aturan hukum tapi sedikitnya dia tahu bahwa hukum itu ada karena rakyat menginginkan ketertiban dan kepastian hukum.
Kenapa begitu sulit menegakkan hukum di negara Indonesia yang menjunjung tinggi moralitas hukum, bukankah kita telah punya segala aturan-aturan hukum dengan segala hierarkisnya, telah ada aparatur yang menegakkannya, telah ada lembaga peradilan yang menyelesaikannya.
Apa yang tidak beres di negeri ini? Aturan hukumnyakah? Atau aparatur penegak hukumnya?
Selayang pandang petani itu berkhayal, bila aku jadi hakim,maka aku akan menjadi hakim yang adil, yang salah kuputuskan salah, yang benar kukatakan benar;dan bila aku menjadi jaksa maka aku akan menjadi seorang jaksa yang menjunjung kebenaran dan rasa keadilan tak perlu bagiku memanipulasi kasus,memeras orang-orang yang dalam sengketa, apalagi memperjualbelikan dokumen dan barang bukti, bila aku jadi pengacara dan penasihat hukum, maka aku akan menjadi pengacara yang selalu mengedepankan kebenaran, bukan kebenaran yang diskenariokan lalu bagi-bagi upeti, atau dana keringanan hukuman, bila aku jadi polisi,maka aku akan menjadi tauladan dan mengayomi rakyat; semua itu aku lakukan bukan hanya ada dan melekat pada lencana, sumpah jabatan dan sederet tanda penghargaan yang menempel indah dan memenuhi baju kebesaranku.
Begitu sederhana pikiran dan khayalan petani itu, antara mungkin dan sangat mengarah pada “tidak mungkin”, tapi setidaknya petani itu menggugah kesadaran, tak terasa air matanya menetes tepat di ujung paculnya yang berkilau tajam, dalam hatinya berkata : “bukankah setiap perbuatanku, sejengkal langkahku, sedetik waktuku, sepotong kata-kataku harus aku pertanggungjawabkan kehadapan Allah,SWT,raja sekalian alam,hakim agung yang sesungguhnya agung??”
5. Pikirannya tentang Demokrasi Rakyat atau Rakyat Berdemokrasi
Dalam pikirannya demokrasi itu salah satunya adalah PEMILU (Pemilihan Umum) yang memilih wakil rakyat yang nantinya akan dipercaya mengemban amanat rakyat, penyambung lidah rakyat, pembela rakyat, benteng pertahanan rakyat, tidur bersama-sama dengan penderitaan rakyat, maka seharusnya wakil rakyat juga tahu mencangkul seperti aku (petani itu tertawa dalam hati).
Rampai ingatannya akan cerita-cerita jaman dulu, jaman kerajaan-kerajaan termasyhur nusantara, ketika diadakan pemilihan pangeran perang, maka terpilih adalah kesatria gagah pemberani, seorang kesatria yang pantas dipilih karena keahlian perangnya, yang dicintai rakyat dan prajurit-prajuritnya, yang loyal dan siap berkorban jiwa dan raga demi panji-panji kerajaannya, maka pangeran perang itu terpilih secara aklamasi meskipun ada beberapa kandidat masa itu; begitu damai pemilihan itu sehingga kandidat yang kalah pun merasakan kemenangan bersama.
Lalu petani itu berpikir, apakah pemilihan pangeran perang masa itu melalui kampanye-kampanye yang menyudutkan dan membakar semangat perpecahan?, apakah pemilihan masa itu melalui tekanan politik atau intimidasi kepentingan?, apakah rakyat dan prajurit-prajurit yang memilih, tergiur karena janji-janji politik perangnya? Kesatria itu berhasil karena rakyat, dan tanpa mengeluarkan sepeser pun upeti!!!
Petani itu tersenyum berbeda makna,ketika dengan cermat mengikuti perkembangan hasil pemilu yang sekarang; betapa tidak, dalam satu minggu atau satu bulan terakhir sebelum Pemilihan Umum, miliaran rupiah bahkan trilyunan rupiah telah tertumpah ruah di bumi Indonesia, beredar ke seluruh pelosok negeri melalui kantong-kantong kedermawanan para calon legislatif (katanya seperti itu,dan siapa bilang orang Indonesia miskin??,red) yang berusaha membeli kepercayaan rakyat melalui cara yang super instan “politik uang”.
Lalu petani itu lagi-lagi tersenyum, lalu berkata dalam hatinya, apakah kepercayaan rakyat itu harus dibeli dengan rupiah?, siapa yang memulai politik seperti ini? Rakyatkah yang menuntut atau pemimpinnya yang kehilangan rasa kepercayaan rakyat?, mengapa rakyat Indonesia (konstituen) mau menerima uang sogokan yang mengatasnamakan kedermawanan itu?, bagaimana rupa wajah parlemen bila wakil rakyat melakukan politik seperti itu?, apa yang mereka mampu perbuat untuk rakyat?,wajarlah banyak yang stres dan gila karenanya!!!
Kembali petani itu menitikkan air mata, namun kali ini air mata itu kering dan dengan mudah diseka oleh raut wajahnya yang getir. “Ini harus di ubah”,”cara ini salah dan benar-benar gila”.
Pernahkah para petinggi negara, ahli pikir negara, tokoh panutan negara, tokoh masyarakat dan tokoh agama memikirkan dan melakukan tindakan “bagaimana mengajari rakyat berpolitik secara santun, jujur dan sesuai dengan hati nurani?”.
Bila Money politik itu salah, katakan salah,katakan perang terhadap unsur-unsur Money politik bagaimanapun bentuknya, katakan haram dan buat fatwa kebenaran, buat aturan yang tegas, dan tegakkan setegak-tegaknya.
Duhai rakyatku senasib sepenanggungan , ubahlah cara berpikir kita tentang pemimpin, jangan mau ditipu oleh lembaran-lembaran rupiah yang secara sengaja atau tidak sengaja telah kita belanjakan untuk makan dan minum anak istri kita, kita berdosa karena itu, kita zalimi hidup kita, kita titipkan suatu dosa yang besar untuk anak cucu kita, untuk negeri kita tercinta INDONESIA (akhir kalimat dan bahasa hati petani, yang telah tertidur lelap di alam mimpi panen yang berlimpah).
M E R D E K A !!!!