Hanya cinta yang sanggup menahan serangan kantuk seorang ibu untuk tetap setia terjaga di keheningan malam, bila suatu waktu anaknya menangis minta disodorkan puting susu. Cinta jualah yang dapt membebaskan burung-burung membelah langit—kemudian mengirimkan kicauan merdunya di kala pagi dan senja hari. Namun cinta pula yang menghanguskan sekian banyak atap dan jendela rumah, tanpa menyisakan sedikitpun harta benda—walau sekadar buat menyambung hidup untuk sehari saja.
Akbar tertidur di pojok ruang penampungan setelah jemu berperang melawan lelah dan lapar. Terlantar di antara kerumunan orang-orang yang bernasib serupa. Tak peduli apakah mereka itu masih lagi bocah, atau manusia dewasa—bahkan, tua renta sekalipun!
Penyakit, demam, dan udara dingin yang senantiasa mengirimkan tusukan nyeri—serta asap tebal dari hutan-hutan terbakar telah ikut pula merusak segalanya. Tambah lagi jiwa yang tercabik-cabik oleh kesedihan lantaran hilangnya sanak-saudara. Tak ada obat. Tak ada selimut tebal yang dapat melindungi mereka dari gigitan nyamuk. Tak ada satupun yang dapat lagi dikunyah, selain suara-suara yang tak kalah cemasnya dari suara hati mereka sendiri.
“Sabar, sabarlah,” ucap sekelompok relawan. “Kita sedang menanti bantuan dari pemerintah dan uluran tangan para dermawan.” Bujuk mereka mencoba kembali menenangkan.
“Sabarlah sedikit! Niscaya Tuhan mengasihi orang-orang yang senantiasa bersabar.” (Tapi, sampai kapan?)
Ledakan tangis perempuan di sampingnya membuyarkan lamunan tentang segelas susu hangat dan sepotong roti yang dilapisi coklat kental. Ditariknya napas dalam-dalam—seakan menyesali kepergian itu—lalu membatinkan cemas:
(Mengapa hanya kematian yang setia menjaga kami di sini—dan sampai kapan harus terus berdiam diri di tangah dera kesabaran dan siksa penantian?)
Seorang lelaki berpakaian necis mendekati orang tua di depannya. Membagi senyum kepada setiap orang, lantas bertanya ramah, “Belum tidur, pak?”
“Mengapa tidak anda tanyakan sekalian—apakah keluargaku masih genap dan utuh?” Jawab Pak tua dengan balik bertanya dengan nada kesal.
Sepertinya orang-orang telah kehilangan akal sehat untuk dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Bayangan penyiksaan telah membunuh kepolosan mereka. Tapi, tak seorangpun memahami keadaan itu, atau memang secara diam-diam, sengaja tidak ambil pusing tentang sekelilingnya.
“Mereka telah memenggal kepala anaknya,” seru Akbar mencoba memberikan keterangan, “dan mencincang bagian tubuhnya yang masih tesisa.”
“Itu karena anaknya melakukan penyerangan terhadap sekelompok orang-orang mereka,” Kilah laki-laki itu mantap.
“Tapi, Muhammad bukan orang jahat!” Akbar merasakan urat-beruratnya dialiri cairan panas. “Dia hanya melindungi ibunya yang dibantai terlebih dahulu!”
Kegeraman menikam bola matanya, yang sesaat kemudian menjelma menjadi sorotan tajam. Lelaki berpakaian necis itu memandangnya dengan kilatan cemas.
“Apa sesungguhnya salah kami, Pak? Mengapa kami terus saja diburu bagai binatang hutan? Padahal, kami tidak tahu apa-apa tentang perselisihan itu.”
“Kita semua korban, Nak. Kita semua korban!” Jawabnya sambil menepuk-nepuk pundak Akbar, “Camkan itu!”
“Siapa sesungguhnya mereka—dan siapa pula sebetulnya diri kami? Bukankah mereka dan kami semua adalah kesatuan yang mendiami tanah ini?”
“Sudahlah. Ini sudah larut. Tidurlah!”
Susah payah Akbar mencoba untuk memejamkan mata—tapi, bayangan kematian ayah, ibu, serta keempat saudaranya mencabik-cabik hati. Beberapa butiran hangat mengalir di kelopak matanya. Menyirami wajahnya yang beku oleh salu kepedihan. (Tuhan, kenapa kau hadirkan kami ke dunia hanya untuk menyaksikan kegilaan berdarah ini?)
Akbar teringat percakapannya beberapa waktu yang lalu—bersama Aisyah—teman sekelasnya yang selalu menghadirkan debaran-debaran kecil di jiwa kelelakiannya.
"Orang-orang itu ketakutan, Akbar.” Bibir Aisyah bergetar hebat. “Demi melenyapkan rasa takut itulah mereka bertindak.”
“Tapi, mengapa sasaran dari penyerangan itu justru ditujukan kepada kami yang tak mempunyai andil sedikitpun?”
“Rasa takut itu telah membuang jauh-jauh pikiran waras mereka.” Timpal Aisyah. “Dan ingat, sengketa ini sudah berabad-abad lamanya.”
Aisyah memalingkan wajahnya. Menjauhi tatapan Akbar yang menyiratkan segudang bantahan. Bibir pemuda itu ikut bergetar ketika berkata:
“Demi Allah, Aisyah! Semua orang di kampung kita tahu, kalau aku dilahirkan di gubuk reot, mirip kandang sapi itu! Dan bukan aku saja, Ahmad, Mislan, Masytah, bahkan ibu-bapak kami juga! Kau dan mereka sama pahamnya akan hal itu. Kampung ini bukan hanya milik mereka, tapi juga kepunyaan kami. Mengapa selalu saja itu yang dipertentangkan?”
Aisyah menjadi serba salah.
“Kau memandangnya dari sudut yang lain, Akbar!”
“Kalau memang begitu, katakan padaku sekarang, dari sudut sebelah mana mereka perhatikan itu?” Tantang Akbar kepada gadisnya, Aisyah. “Mereka telah banyak menggapai bintang, kenapa masih saja rakus menelan bulan seorang diri?” Keluhnya bertubi-tubi.
Percakapan mereka terhenti ketika Jamal, adiknya yang paling kecil, merengek minta pulang. Itulah kali terakhir bagi Akbar mendekap tubuh saudaranya dan merasakan denyut nafas Jamal yang tak beraturan lantaran paru-paru basahnya. Dan itu pula kali terakhir ditatapnya wajah Aisyah, kekasihnya. Sengketa telah merenggut paksa tubuh mereka dan melontarkannya ke sisi jurang yang berbeda. Kemudian ia melihat dunianya terbakar bersama cintanya yang mekar tersembunyi.
Suara-suara bising segera terdengar ketika seorang relawan mengumumkan bahwa bantuan telah tiba. Namun, rasa lapar telah hilang. Digantikan oleh kantuk yang semakin memberat. Akbar kembali mendekap mimpinya tentang segelas susu hangat dan sepotong roti dilapisi coklat kental.
Tiga hari berikutnya, seorang wartawati mendatangi Akbar. Wajahnya mirip betul dengan Aisyah. Hampir saja ia melonjak kegirangan dan melupakan kesedihannya— sekiranya saja wartawati itu tidak terlampau usil—bertanya tentang asal-usulnya.
“Jadi, hanya adik seorangkah yang selamat?”
Hatinya bagai diiris besi tumpul. Tanpa suara Akbar mengangguk perlahan.
“Bagaimana caranya adik bisa selamat dari peristiwa pembantaian itu?”
“Kenapa? Anda merasa heran?” Terbayang olehnya peristiwa keji yang menimpa keluarganya. “Saya juga tidak begitu ingat, bagaimana bisa terhindar dari petaka itu. Hanya Tuhan saja yang tahu rahasia sejati-Nya?”
Jawaban itu seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Kemudian sepasang bibirnya saling memangsa dalam geraman kata-katanya. “Mengapa semua itu menjadi begitu penting artinya dari berpuluh-puluh persoalan lain yang kami hadapi kini? Mengapa tidak terpikirkan oleh kalian tentang kelanjutan hidup kami?” Serangnya bertubi-tubi.
Wartawati yang baru saja mendapat tugas wawancara di hari pertamanya itu menyimak penuh perhatian. Terkesima mendengar penuturan yang jauh lebih mirip hujan api kemarahan. Agaknya, ia dapat memahami kedukaan yang menyayat dalam diri pemuda tersebut.
“...atau, itu tidak termasuk dalam daftar pertanyaan kalian?”
Gadis yang serupa betul dengan Aisyah itu mencoba memaklumi keadaan sekelilingnya. Sengketa ini telah menyeret begitu banyak orang yang tak berdosa ke dalam lembah nestapa.
“Lihat perempuan di ujung sana!” Perintah pemuda itu kepadanya. “Baginya hidup ini tak lagi bertanda. Dia tidak hanya kehilangan suami, tapi juga anaknya yang baru berusia tiga bulan.”
Sesaat Akbar menarik napas dalam. Mengatasi sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Di sini jangankan harapan, napas kamipun tak lagi berasa. Anda lihat sendiri, bukan—bagaimana kematian mendekap kami sangat erat?”
“Adik tentu paham, saat ini, pemerintah kekurangan dana untuk sekian ribu nyawa.” Bujuknya mencoba menenangkan Akbar.
“Tapi, siapa sebetulnya pemerintah?” Jawab Akbar menantang. ”Bukankah banyak di antara mereka yang menghambur-hamburkan uang negara untuk sesuatu yang tidak perlu?!”
“Maksud, adik?”
“Berapa banyak simpanan uang mereka di bank? Apa salahnya berbagi sedikit kepada kami untuk dijadikan sesuatu agar dapat kami kunyah pengganjal rasa lapar!?!”
“Pahamilah, dik..., semua..., menaruh simpati kepada...,”
“Kami tidak butuh ucapan belasungkawa...!” Potong Akbar semakin kesal. “Yang kami butuhkan lebih dari rasa simpati. Banyak di antara kami yang jatuh sakit, kemudian mati. Tahu kenapa? Karena tangan-tangan penolong itu, tidak akan pernah sampai kemari. Kami sudah bosan karena terlampau sering disuguhi janji basi. Di hadapan kami mereka menawarkan janji-janji manis—sementara di belakang, mereka terus saja asik mencemooh kami secara diam-diam. Apakah itu yang disebut simpati? Apakah itu yang diajarkan oleh para leluhur?”
Rasa kehilangan yang menyayat. Bau kematian yang busuk dan begitu akrab. Menjadikan dirinya sebagai sosok yang berbeda. Kesinisan meracuni pikirannya. Senjata yang diselipkan Ahmad di pinggangnya—sewaktu sahabat karibnya itu meregang nyawa—masih terus ia genggam. Tapi, senjata seakan memberinya rasa percaya diri yang salah. Ia tak lagi tahu tentang dirinya. Ia merasa sedih—tapi, sekaligus marah.
(Namun, yang pasti—ia masih terus merindukan kampung kelahirannya. Tanah tumpah darahnya!)
Yophie Tiara/ Yufita—Pontianak, 11 Januari 2000
Dimuat di Mimbar Untan, Februari 2000